Labirin
Demokrasi Populis
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
19 November 2016
GELOMBANG populisme politik tengah menggejala di abad kita.
Puncaknya, ketika sosok kontroversial Donald Trump secara mengejutkan justru
terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Populisme politik telah dipandang
sebagai bukan sekadar penyakit kambuhan, melainkan juga ancaman serius bagi
demokrasi. Dalam kadarnya yang rendah, populisme mengusik upaya peningkatan
kualitas demokrasi. Apabila kadarnya tinggi, ia jelas-jelas merusak hakikat
demokrasi.
Sosok terpilih dalam demokrasi elektoral, dalam konteks ini,
merupakan para pembajak demokrasi untuk tujuan-tujuan kekuasaannya. Populisme
politik terkait dengan bagaimana sang kandidat dalam kontestasi demokrasi
elektoral memainkan isu-isu kerakyatan (populis), bahkan secara ekstrem
isu-isunya 'menyerempet bahaya' (vivere pericoloso), yakni dengan
mengeksplorasi secara demonstratif aneka sentimen primordial.
Dalam kasus Donald Trump, dapat dilihat kembali bagaimana ia
melontarkan isu-isu yang melawan tidak sekadar kemapanan, tetapi juga
kelaziman-kelaziman substansial dalam arus utama demokrasi. Visi
egalitarianisme Trump tekor oleh pandangan-pandangannya yang cenderung
diskriminatif dalam isu-isu tertentu. Kajian mengenai populisme politik
tengah naik daun belakangan kendati yang banyak dijadikan contoh kasus justru
bukan di Amerika Serikat, melainkan beberapa negara di Eropa, Amerika Latin,
dan Asia.
Setidaknya ada dua tinjauan dalam hal ini. Pertama, populisme
ditinjau dalam konteks cara berkomunikasi yang dilakukan kandidat dalam
meraup dukungan seluas mungkin massa publik. Tinjauan ini lebih melihat sisi
bagaimana sang aktor memanfaatkan ragam isu dan gaya yang bertujuan untuk
meraih simpati pemilih. Ia harus mencapai level 'hero', atau dikesankan
sebagai 'juru selamat' (mesias) terhadap banyak masalah yang, tak
terselesaikan oleh pendahulu.
Ia antitesis dari pemimpin sebelumnya.
Yang paling penting dari tinjauan ini ialah keberadaan dan peran
media massa, apakah yang berjenis konvensional ataukah sosial media. Sang
sosok populis berupaya untuk menciptakan realitas baru, kendatipun
sesungguhnya semu, karena sekadar memainkan simbol-simbol dan isu-isu yang
mampu mengaduk-aduk emosi potensial pendukungnya. Ia secara sadar dituntut
mampu memegang kendali simulakra tersebut. Dalam pendekatan pemasaran politik
modern, kahadiran sosok populis semacam ini didesain sedetail mungkin
sehingga yang tampak seolah-olah, sangat alamiah dan 'tak ada kepalsuan'.
Tinjauan kedua, meletakkan fenomena populisme secara ideologis.
Ia lebih mendasar ketimbang sekadar cara berkomunikasi atau manipulasi
komunikasi politik semata-mata. Tinjauan ini kerap tidak membedakan apakah
entitas politik populis itu berhaluan kiri atau kanan. Dalam kasus-kasus
populisme politik di negara-negara Eropa, mereka bisa hadir dari spektrum
politik yang berbeda-beda, apakah ekstrem kiri atau kanan. Mereka
mengedepankan dalih-dalih ideologis dan memandang bahwa apa yang diyakininya
sebagai suatu kebenaran politik yang harus mereka perjuangkan kendatipun
harus melabrak prinsip-prinsip utama demokrasi dalam suatu masyarakat
terbuka. Jadi, pada hakikatnya populisme ideologis sangat cenderung
antidemokrasi.
Neo-fascist
Demokrasi populis, dalam pengertian mengemukanya isu-isu
populisme politik dalam kontestasi demokrasi, sesungguhnya merupakan
konsekuensi logis semata. Demokrasi, bagaimanapun, menyisakan ruang bagi
anomalinya, justru ketika prinsip 'one man, one vote, one value' sebagai
penjelmaan dari prinsip egalitarianisme politik terpraktikkan dalam
kontestasi elektoral.
Dalam konteks ini, bahkan sosok seperti Hitler pun dapat
terpilih dalam suatu mekanisme kontestasi demokrasi. Sosok-sosok populis yang
setelah terpilih dalam kontestasi demokrasi yang ternyata banyak menindas
rakyatnya sendiri, juga telah banyak ilustrasinya. Para ilmuwan politik
sepakat bahwa demokrasi masih menyisakan ruang bagi hadirnya sosok
neo-fascist. Fenomena ini dipandang sebagai kelemahan yang melakat. Manakala
daya kritis masyarakat kalah dengan perekayasaan populisme politik yang
membungkus rapi sosok yang neo-fascist, yang akan terpilih tak lain sosok
semacam itu.
Meski demikian, populisme juga tidak mesti menampilkan ilustrasi
sosok neo-fascist yang ciri-cirinya telah terasakan sejak awal kehadirannya.
Populisme bisa melontarkan sosok yang sejatinya jujur, bersahaja, egaliter,
kendatipun belum berpengalaman luas dalam kepemimpinan nasional, tiba-tiba
terpilih sebagai pemimpin justru karena popularitasnya yang optimal. Namun,
yang bisa berbahaya ialah apabila terjadi pembalikan karakter dari yang
sejatinya jujur, bersahaja, egaliter seperti itu, menjadi cepat tersinggung,
mudah panik, dan cenderung neo-fascist.
Labirin
Dalam konteks inilah, populisme politik itu seperti labirin yang
bisa menjebak siapa pun yang mencoba memanfaatkaannya terlampau dalam. Ia
akan menjauhkan dari tinjauan dan penyikapan yang objektif terhadap
masalah-masalah yang sesungguhnya sederhana dan tidak pelik. Masalahnya akan
pelik manakala objektivitas tertutupi oleh kekaburan-kekaburan akibat
pertimbangan-pertimbangan subjektif yang sesungguhnya lebih banyak bersifat
spekulatif.
Pendekatan deliberatif, dengan membuka diri bagi berbagai
kelompok untuk dialog secara imparsial, biasanya cenderung dilakukan secara
terlambat ketika masalah krusial semakin pelik. Pola-pola populisme politik
kerap kali justru tidak efektif dalam penyelesaian aneka konflik realpolitik.
Pemimpin populis, bagaimanapun, akan banyak dihadapkan pada ujian-ujian
kepemimpinan yang justru meminta jawaban dari jiwa kepemimpinannya yang
sejati.
Karena itu, kata kunci pentingnya ialah objektivikasi, justru
agar pemimpin populis tak terperosok terlampau dalam labirin yang
diciptakannya sendiri. Apabila hal itu tidak terjadi, yang segara dapat
terpotret ialah kemerosotan dalam kepemimpinan sekaligus demokrasi. Hal-hal
semacam ini bisa menjadi bahan refleksi bagi fenomena kepemimpinan politik di
Indonesia dewasa ini.
Di ranah kontestasi politik tingkat nasional maupun terutama
lokal, fenomena populisme politik tampaknya tak terelakkan lagi. Nyaris semua
kontestan berlomba-lomba memosisikan diri sebagai sosok-sosok populis,
terlepas apakah mereka menyadari manfaat dan mudaratnya bagi masa depan
kualitas kepemimpinan politik dan demokrasi. Kemenangan Trump setidaknya
membuka pintu bagi kita untuk merefleksikan masalah semacam itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar