Moratorium
Ujian Nasional sudah Tepatkah
Anggi Afriansyah ; Peneliti
Sosiologi Pendidikan di Puslit Kependudukan LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
29 November 2016
UJIAN nasional (UN) telah menjadi momok menakutkan bagi siswa
dan orangtua siswa dalam beberapa tahun terakhir meskipun dalam dua tahun
ini, ketika Anies Baswedan menjabat Mendikbud, tensi ketegangan siswa,
orangtua siswa, maupun pihak sekolah mereda karena UN tak menjadi
satu-satunya penentu kelulusan siswa.
Saat ini pemerintah memutuskan menghentikan sementara atau
melakukan moratorium ujian nasional. Menurut Mendikbud Muhadjir Effendy,
moratorium UN akan dimulai pada 2017 dan akan diberlakukan untuk semua
jenjang pendidikan dan sekolah di seluruh Indonesia. Pemberlakuan moratorium
tersebut tinggal menunggu instruksi presiden (Media Indonesia, 26/11).
UN selalu disambut dengan dag-dig-dug oleh pemerintah daerah,
pihak sekolah, siswa, dan orangtua siswa. Ketegangan melanda semua pihak.
Maka, menjelang pelaksanaan UN, segala amunisi dan strategi disiapkan serta
dikuatkan. Dari cara-cara yang normal sampai yang ajaib. Menjelang UN
siswa-siswa akan semakin giat belajar dan berdoa. Tim sukses pun harus
dibentuk untuk meluluskan seluruh siswa yang mengikuti UN. Baik tim sukses
sesungguhnya maupun dalam arti konotatif. Tujuannya hanya satu, meluluskan
semua siswa.
Dinas Pendidikan Daerah akan memberikan pengarahan kepada
sekolah agar berjuang keras untuk meluluskan seluruh siswa. Hal tersebut
amatlah penting karena akan berefek pada rapor daerah secara umum. Sebab,
akan sangat terlihat daerah mana yang memiliki angka kelulusan yang rendah.
Ini berkaitan dengan prestise daerah.
Bagi pihak sekolah, adanya siswa yang tak lulus karena nilainya
buruk merupakan corengan yang paling memalukan. Sekolah akan dianggap tak
mampu membimbing siswa dengan baik. Kredibilitas sekolah akan diragukan. Bagi
sekolah swasta ini berkaitan dengan input siswa yang akan mendaftar di tahun
sebelumnya. Lulus UN 100% ialah nilai tambah bagi promosi sekolah ke
masyarakat.
Bagi siswa, tidak lulus UN ialah kiamat kecil. Tak jarang yang
tak lulus UN ialah siswa-siswa yang memiliki kemampuan akademik yang baik
karena tidak percaya diri, tidak mau mendapat contekan, sakit, atau hal
lainnya menyebabkan anak-anak ini tak lulus. Mereka akan diolok-olok dalam
jangka waktu yang panjang. Yang terburuk ialah kasus bunuh diri yang terjadi
akibat tak lulus UN.
Untuk orangtua siswa, jika anak mereka tak lulus, itu akan
menjadi hal yang amat memalukan. Mereka akan sangat malu berhadapan dengan
saudara dan kolega masing-masing.
Akhirnya, bukan cerita baru jika di semester akhir menjelang UN,
siswa-siswa tidak lagi belajar materi pelajaran seperti biasa seperti yang
mereka lakukan di semester sebelumnya. Mereka akan masuk ke kelas khusus, berlatih
soal-soal UN yang telah diujikan di tahun-tahun sebelumnya dan juga soal-soal
yang diprediksi akan muncul saat UN nanti.
Sekolah berupaya sekuat mungkin untuk memberikan materi tambahan
pelajaran yang diujikan di UN. Pelajaran-pelajaran yang menjadi materi UN
menjadi primadona dan diprioritaskan. Efeknya materi pelajaran non-UN
dianggap tak penting karena tak akan diujikan secara nasional. Pendidikan
sebagai proses ditinggalkan karena yang paling penting ialah kemampuan siswa
dalam menjawab setiap soal ujian.
Siswa yang memiliki kemampuan finansial yang memadai akan
memburu tempat bimbingan belajar (bimbel). Di tempat bimbel tersebut mereka
akan diberi latihan soal secara intensif dan diberikan kiat juga trik
menghadapi UN. Yang memiliki kemampuan finansial terbatas harus gigit jari.
Tak semua siswa beruntung dan mampu membayar biaya bimbel yang relatif mahal.
Tiap tahun juga soal-soal yang akan diujikan harus dikawal
kepolisian. Soal-soal yang merupakan rahasia negara ini harus aman sampai
lokasi persekolahan. Siswa seperti terdakwa yang menanti vonis, lulus atau
tidak lulus menjadi kata-kata keramat. Di ruang kelas mereka ditunggui dua
pengawas yang mewaspadai gerak-gerik selama mengerjakan soal. Ibarat
narapidana yang patut diwaspadai.
Yang menjadi masalah, sudah dibuat seketat itu, masih saja ada
bocoran soal. Bocoran-bocoran tersebut menyebar viral di sms atau pun media
lainnya. Pada masa tertentu, untuk menanggulangi kasus tersebut, Kemendikbud
kemudian membuat beberapa tipe soal. Berhasilkah? Tetap saja bocoran-bocoran
soal menyebar. Cerita tentang kecurangan-kecurangan yang terjadi ketika UN
dapat dibaca di berbagai pemberitaan di media massa.
Oleh karena itu, adanya moratorium UN 2017 nanti merupakan hal
yang patut untuk diapresiasi. Mengapa? Karena kebijakan pelakasanaan UN lebih
banyak memunculkan aspek mudarat daripada maslahatnya. Tujuan UN memetakan
kualitas pendidikan nasional tak terealisasi secara optimal. Membuat standar
penilaian yang seragam di tengah ketidakseragaman kemampuan setiap satuan
pendidikan tentu merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang tak patut
untuk dilestarikan.
Kita bisa membayangkan betapa sulitnya sekolah-sekolah di
pelosok daerah, yang infrastruktur pendidikan dan guru-gurunya masih jauh
dari memadai, harus menggunakan evaluasi yang sama dengan sekolah-sekolah di
kota-kota besar yang memiliki sarana dan prasarana yang sangat memadai.
Moratorium UN merupakan keputusan tepat. Sekarang saatnya
pemerintah lebih fokus pada perbaikan sarana dan prasarana sekolah serta
peningkatan kualitas guru dan distribusinya secara merata ke seluruh Tanah
Air. Layanan pendidikan yang berkualitas harus dirasakan secara merata dari
Sabang sampai Merauke.
Kita berharap, pendidikan tidak hanya menjadikan siswa cerdas
secara akademik saja, tetapi lebih jauh, menjadi manusia-manusia yang
merdeka. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, manusia merdeka ialah mereka
yang hidupnya, lahir dan batin, tidak bergantung kepada orang lain, tetapi
bersandar atas kekuatan sendiri (Kongres PPPKI ke I, Agustus 1928).
Pendidikan yang memerdekakan ialah kunci kemajuan bangsa.
Pendidikan yang memberikan ruang yang leluasa bagi siswa untuk mengembangkan
kreativitas dan imajinasinya. Proses pendidikan yang menghargai ragam
kecerdasan para siswa. Proses yang tak terbelenggu oleh ujian-ujian semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar