Presiden
Kroco
AS Laksana ; Sastrawan;
Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 27 November
2016
Saat membaca berita kemenangan Donald Trump dalam pemilihan
presiden AS, saya segera teringat pada salah satu catatan Jose Saramago di
dalam kumpulan catatan hariannya yang terbit dengan judul The Notebook
(2010). Tulisan itu ringkas dan menyampaikan isi pikiran yang terang
benderang. Terjemahan bebasnya kurang lebih seperti ini.
Saya heran kenapa Amerika Serikat, negara yang amat besar dalam
segala hal, begitu seringnya memiliki presiden kroco. George W. Bush mungkin
yang paling kroco dari semuanya. Orang ini, yang kecerdasannya pas-pasan dan
teledor bukan kepalang, tak henti-henti menyampaikan omong kosong melalui
kecakapan komunikasinya yang membingungkan. Ia menampilkan diri sebagai
pembela kemanusiaan dalam lagak aneh seorang koboi yang mewarisi dunia dan
menyalahgunakannya sebagai padang penggembalaan ternak.
Kita tidak pernah tahu apa sesungguhnya yang ia pikir, kita
bahkan tidak tahu apakah ia berpikir (dalam pengertian paling luhur dari
kosakata ini), kita tidak tahu jangan-jangan ia cuma robot yang diprogram
secara buruk sehingga selalu tampak bingung dan bolak-balik mengacaukan pesan
yang dibawanya. Namun, ada juga yang bisa kita beri pujian. Ada program di
dalam robot George Bush, presiden AS, yang bekerja sempurna: berdusta.
Ia tahu ia berdusta, ia tahu bahwa kita tahu ia berdusta, tetapi
sebagai pendusta kompulsif, ia akan terus berdusta bahkan pada saat ia
jelas-jelas menyaksikan kebenaran di depan matanya. Ia akan terus berdusta
sekalipun kebenaran meledak tepat di mukanya.
Ia berdusta untuk membenarkan perangnya di Iraq, persis seperti
ia berbohong tentang masa lalunya yang semrawut dan tidak jelas, dan ia
melakukannya dalam cara yang sama-sama memalukan. Bersama Bush, dusta muncul
dari lubuk hati; ia mengaliri sekujur tubuhnya melalui darah. Sebagai
dustawan emeritus, ia adalah pendeta tertinggi dari semua pendusta lain yang
mengelilinginya, yang menyorakinya, dan melayaninya selama beberapa tahun
belakangan.
George Bush mengusir kebenaran dari muka bumi, membangun abad
dusta yang sekarang tumbuh subur di tempatnya. Masyarakat hari ini teracuni
oleh dusta, jenis terburuk dari peracunan moral, dan ia salah satu yang
paling bertanggung jawab untuk itu. Dusta beredar di mana-mana tanpa sanksi
dan telah berubah menjadi kebenaran yang lain.
Perdana menteri Portugis
–yang namanya tidak akan saya sebutkan demi kemaslahatan– beberapa waktu lalu
menyampaikan bahwa ”politik adalah seni untuk tidak menyampaikan kebenaran”.
Saat menyampaikannya, ia mungkin tidak pernah membayangkan bahwa beberapa
waktu kemudian George W. Bush akan mewujudkan ucapan mengejutkan ini dalam
trik yang naif, kampungan, dan tanpa kesadaran sama sekali tentang nilai atau
makna kata-kata.
Bagi Bush, politik hanyalah salah satu pendongkrak bisnis dan
mungkin yang terbaik dari semuanya –dusta menjadi senjata, dusta menjadi
pembuka jalan bagi tank dan meriam, dusta tentang reruntuhan, tentang
mayat-mayat, tentang bencana kemanusiaan, dan keputusasaan yang
berkepanjangan.
Kita memang tidak bisa memastikan apakah dunia saat ini lebih
aman, tetapi kita tidak mungkin ragu bahwa ia akan jauh lebih tenteram tanpa
politik imperial dan kolonial dari Presiden Amerika Serikat George Walker
Bush dan orang-orang yang telah melapangkan jalan baginya untuk memasuki
Gedung Putih. Sejarah mencatat mereka.
Jose Saramago meninggal pada 2010. Pada waktu menulis catatan
tersebut, 18 September 2008, ia mungkin tidak pernah membayangkan bahwa
Donald Trump suatu hari akan masuk ke Gedung Putih. Ia akan menjadi presiden
setelah mengalahkan Hillary Clinton, kandidat dari Partai Demokrat, dalam
pemilihan yang oleh sejumlah pengamat politik dari berbagai negara dianggap
sebagai pemilu dengan hasil akhir paling merosot mutunya.
Kita tahu Trump adalah seorang pengusaha kaya raya. Ia tetap
kaya kendati bisnis hotel dan kasinonya pernah enam kali dinyatakan bangkrut
sepanjang kurun waktu 1991–2009. Tahun 2016 ini majalah Forbes mencantumkan
namanya di urutan ke-338 orang terkaya di dunia dan ke-156 se-Amerika
Serikat. Kita tahu juga bahwa rambutnya berwarna jingga.
Yang kita belum tahu adalah apakah sebagai presiden nanti ia akan
sama kroconya dengan George W. Bush atau lebih kroco daripada pendahulunya
itu. Kita juga tidak tahu apakah Trump tahu bahwa ia lebih kroco daripada
Bush, tetapi kita tidak meragukan bahwa, bersama Trump, rasisme dan sentimen
keagamaan serta janji-janji penuh kebencian telah menjadi senjata ampuh untuk
meningkatkan popularitas dan memuluskan jalannya menuju Gedung Putih.
Trump mengumpulkan dukungan dengan janji untuk mengembalikan
kebesaran Amerika, dengan kampanye-kampanye yang terasa mengancam bagi warga
negara Amerika non-kulit putih. Itu kampanye yang membawa bayang-bayang Ku
Klux Klan, sebuah kelompok pembenci kaum kulit hitam, kampanye yang memicu
keretakan, tidak hanya di dalam masyarakat luas, tetapi juga di dalam
keluarga karena berbeda pilihan.
Dalam pidato pertamanya setelah dinyatakan sebagai pemenang,
Trump mengatakan, ”Sekarang waktunya bagi Amerika untuk merekatkan kembali
keretakan. Kita harus bersatu. Kepada semua pendukung Partai Demokrat dan
Republik maupun mereka yang independen, saya berjanji untuk menjadi presiden
bagi seluruh warga Amerika Serikat.”
Itu pidato sejuk, yang sangat berlawanan dengan
kalimat-kalimatnya di masa kampanye yang mengobarkan kebencian, tetapi banyak
orang telanjur cemas karena ia yang menang. Majalah The Economist, Inggris,
menurunkan tulisan bulan ini bahwa kemenangan Trump telah membuat para
terapis dan pedagang anjing panen rezeki.
Banyak orang merasa perlu memelihara anjing untuk menjaga
keselamatan dan mendapatkan perasaan tenteram. Sebagian yang lain berkunjung
ke terapis karena stres dan dihantui kecemasan akan nasib mereka kelak di
bawah presiden yang menyuarakan kebencian selama masa kampanyenya.
”Baru kali ini saya mengalami pemilihan yang hasilnya membuat
banyak orang merasa tertekan,” kata seorang terapis di Michigan. ”Ada pasien
saya yang mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangga
dengan suami yang mendukung seorang misoginis, seorang pembenci manusia.”
Tampaknya kita hanya bisa berharap jangan sampai perasaan
tertekan itu menjalar kian luas. Amerika adalah negara besar dan memiliki
senjata perang paling mutakhir. Saya khawatir mereka akan memerangi
negara-negara lain jika di dalam negeri orang-orangnya dilanda stres
berkepanjangan.
Di luar soal Trump, saya sengaja memuat lengkap catatan kecil
Jose Saramago karena isinya bagus. Jika Anda mau, bisa saja Anda mengganti
nama George Bush di dalam tulisan itu dengan nama yang Anda kenal, dan
mengganti Amerika Serikat dengan nama negara lain, atau nama provinsi, atau
kabupaten, atau kecamatan, dan tulisan itu akan tetap relevan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar