Epistemologi
Kerumunan
Tulus Sudarto ; Rohaniwan;
Bertugas di Paroki Sedayu, Yogyakarta
|
KOMPAS, 24 November
2016
Adalah Aristoteles, filsuf dari abad ke-4 SM, yang secara akurat
mengeksplorasi kekuatan massa sebagai variabel primer tidak saja dalam
pembentukan poros pengetahuan, tetapi juga poros nilai. Tesisnya jelas:
kuantifikasionalitas mampu mengubah apa yang normal menjadi normatif. Itulah
yang dia sebut sebagai mobs rule.
Aristoteles tak pernah peduli dengan dikotomi mayoritas-minoritas.
Jauh lebih mengusik nalarnya adalah bagaimana secara kategoris sekelompok
orang dalam kerumunan mampu mengubah apa yang merupakan repetisi harian
menjadi suatu kebiasaan yang berbuntut nilai.
Kelak, secara elegan Pierre Bourdieu mengkristalkan gagasan
Aristoteles tentang kebiasaan tersebut menjadi sebuah eksklusivisme sosial.
Dalam pengembangan Bourdieu, keberadaan kelas menengah dalam strata sosial
selalu bersifat signifikan di dalam pembentukan poros pengetahuan. Semakin
banyak kelas menengah, semakin masyarakat itu bersifat rasional.
Kontekstualitas Indonesia menempatkan tekstualitas ”massa” dalam
suatu trayektori makna yang istimewa. Secara spekulatif, masa Orde Baru
adalah orde yang terang-terangan menempatkan massa tidak lebih sebagai alat
politik untuk kepentingan penguasa. Rumusan mengenai ”massa” dalam konteks
saat itu merupakan stereotip sekelompok orang yang anonim, tak punya tujuan
jangka panjang, digerakkan oleh sentimen jangka pendek yang emosional
sekaligus primordial, dan dipakai sebagai juru ledak suatu ideologi.
Ibaratnya, kerumunan adalah ”orang-orang bayaran” yang menyokong
pengetahuan demi kelanggengan kekuasaan. Kita mafhum, politik saat itu masih
dalam taraf perut alias belum sampai taraf kepala. Tak ayal, massa hanya
peduli pada seberapa banyak uang makan yang diberikan. Sama sekali massa tak
tahu-menahu soal jatah kue pembangunan yang mandek di lingkaran kekuasaan.
Kasarnya, jangan bicara visi kalau masih berurusan soal nasi: perut yang
lapar.
Bahwa update terbaru menyangkut terminologi massa dalam konteks
perpolitikan Indonesia yang tidak lagi sebatas corong kekuasaan, itulah
kedigdayaan sekaligus fleksibilitas kultur politik Indonesia. Tekstualitas
demokrasi tidak pernah menang secara kebuku-bukuan dalam kontekstualitas Indonesia.
Selalu saja kalau tidak ada pengecualian teramat khusus, Indonesia memiliki
karakter unik dalam mempersepsi sekaligus memproses persepsi, sekaligus
konsepsi mengenai partitur demokrasi dalam khazanah keindonesiaan.
Pengetahuan
organik
Kultur otoritatif yang khas Orde Baru telah runtuh, dalam arti
masyarakat Indonesia kembali ke muasal aslinya, yaitu sebagai masyarakat
sirkular. Pengerahan massa ke jalan tak lagi bersifat sedeterminatif seperti
dahulu dalam membangun poros pengetahuan. Inilah berita buruk bagi penguasa.
Massa tak lagi bisa disetir semudah membalikkan telapak tangan. Massa sudah
menjadi independen dan memiliki rasionalitas politiknya sendiri.
Apatis menjadi sebentuk resistensi natural ketika massa
dipaksakan membentengi kepentingan-kepentingan sesaat dari sebuah ideologi.
Natural berarti apa yang digelontorkan lewat pelbagai cara massal ala
kerumunan itu telah mendapatkan antitesis bawaan seiring berkembang pesatnya
episentra pengetahuan.
Tak dinyana, kultur demokrasi Indonesia telah menjadi sangat
posmo. Dengan cara tutur lain, posmodernitas sedemikian familiar dengan
karakter sirkular masyarakat Indonesia sehingga seperti tumbu ketemu tutup
alias saling melengkapi dan bersatu padu sebagai epistemologi harian. Sekali
lagi, sirkularitas demokrasi Indonesia tidak pernah kompatibel dengan aneka
ekstremisme ideologi.
Secara obyektif, Indonesia termasuk negara dengan keterbukaan
begitu lebar menerima masuknya pelbagai macam paham dan pengetahuan. Terlebih
dengan pesatnya perkembangan teknologi yang menjadi mata rantai pengetahuan,
bahkan lapisan masyarakat bawah pun sudah melek informasi. Intinya,
pengetahuan tidak lagi bisa dimonopoli kekuasaan, baik secara struktural
maupun sistematik melalui kekuatan massa.
Ironinya, tidak hanya massa menolak sebutan sebagai sekelompok
anonim yang tanpa tujuan, tetapi massa bukan lagi bermental kerumunan
sebagaimana digambarkan Nietzsche. Kultur pengikut ala budak tidak lagi
mendominasi. Sebaliknya, garis sirkular dalam sosiologi harian masyarakat Indonesia
bertemu dengan posmodernitas yang mengangkat subyek sebagai tuan atas
pengetahuan.
Secara leksikal, makna peyoratif dari kata ”massa” diantisipasi
dengan kata ”publik”, sebagaimana salah satunya dipakai F Budi Hardiman
ketika menyoal tentang rasionalitas publik (Kompas, 12/10). Dalam dugaan
simetral, bukan lagi berjubelnya massa di jalanan yang akan bersifat
determinatif sebagai poros pengetahuan, melainkan karena nilai itu sudah
telanjur tertanam kuat di dalam pemahaman politik yang lebih rasional.
Lihatlah apa yang tersebar dalam hitungan detik dalam pelbagai
media sosial, semisal grup Whatsapp, mengenai isu-isu mutakhir dalam
masyarakat Indonesia. Bahkan, yang paling ekstrem sekalipun mampu
diterjemahkan secara santun sekaligus jenaka dalam ranah sirkularitas
kultural masyarakat kita. Inilah kewaskitaan lokal (local genius) yang selalu
luput oleh kacamata politik kekuasaan.
Sejauh ini, analisis terbaik mengenai jenis tanah epistemologi
masyarakat Indonesia yang sirkular dibuat oleh Saya Sasaki Shiraishi. Tesis
doktoralnya jelas bahwa keluarga adalah sintaksis masyarakat bangsa
Indonesia.
Bahkan ilmuwan atau sosiolog Indonesia sendiri tak pernah merasa
sah kalau tidak mengimpor teori luar negeri di dalam memotret Indonesia.
Bahwa kedaulatan epistemologi negeri sendiri mengenai sirkularitas kultural
masyarakat harian malah ditemukan oleh orang manca, ini berarti saking
seringnya bangsa ini ribut-ribut.
Ribut-ribut mengenai apa pun di negeri ini bukanlah soal
filosofi, melainkan terbatas hanya fulusofi alias kekuatan uang sebagai modal
dasar pengetahuan (fulus). Kalau bukan karena salah paham, pasti juga karena
pahamnya yang salah. Mungkin saja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar