Siapa
Bilang Agama Tak Perlu Dibela?
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi
Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja
sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 22 November
2016
Mobil itu mengerem mendadak, lima meter di sebelah kiri saya.
Saya tratapan kaget. Kagetnya sekilo, malunya sekuintal. Malu, karena merasa
tidak beradab, tidak terpelajar, dan lebih-lebih lagi karena kami membawa
visualisasi identitas kami sebagai muslim.
Siang itu saya bersama anak-istri sedang berjalan-jalan di
daerah Fremantle. Tiba di satu lampu merah, kami berhenti sebentar. Sebentar
saja, sebab meski lampu penyeberangan pejalan kali belum menyala hijau, toh
tak ada kendaraan berjalan ke arah kami. Saya pun mengajak pasukan untuk cuek
saja nyelonong, sebagaimana biasa saya lakukan. Toh orang-orang bule lokal di
Perth pun melakukannya, begitu pikir saya.
Hingga tiba-tiba mobil itu mendadak muncul entah dari mana, dan
mengerem tiba-tiba. Meski pengemudinya memasang wajah datar penuh permakluman
dan tidak membunyikan klakson panjang tanda amarah, tetap saja belasan pasang
mata menatap kami. Mereka tampak sebal campur jijik. Dasar imigran. Dasar
Asia. Dasar muslim.
Tentu saja umpatan-umpatan itu cuma imajinasi buruk saya
sendiri. Tapi ya bagaimana lagi. Toh istri saya berjilbab. Sementara sudah
pasti mereka paham bahwa perempuan berjilbab pastilah muslim.
Sejak hari itu saya kapok. Terutama jika sedang bersama istri,
ibu, atau siapa pun teman atau saudara yang berjilbab alias membawa identitas
keislaman, nggak lagi-lagi deh saya melanggar peraturan sekecil apa pun di
tanah ini. Ini perkara branding. Ini perkara membela Islam. Jangan ketawa
dulu, ini serius.
Sejak 2013 hingga insyaallah tahun depan, kami sekeluarga
tinggal sementara di Perth, Australia Barat. Selama di sini pula kami
merasakan langsung bagaimana situasi psikologis menjadi minoritas. Populasi
umat muslim di negara bagian Australia Barat cuma 1,7%, dan kami menjadi
bagian darinya.
Memang benar, ini negara aman. Secara umum tak ada diskriminasi
secara telanjang kepada minoritas. Namun suasana tegang dan sangat tidak
nyaman selalu kami rasakan tiap kali muncul kejadian-kejadian buruk yang
melibatkan umat Islam di belahan dunia mana pun.
Mau yang mana, silakan sebut saja. Mulai 911, Sydney Siege, Bom
Bali I dan II, aksi-aksi brutal Taliban di Afghanistan, dan entah mana lagi.
Semua memunculkan efek negatif hingga ke umat muslim Australia.
Efek negatif itu bermacam-macam. Mulai dari diumpati di jalan,
dilempari tomat, ditarik-paksa jilbabnya, diancam siraman air keras, hingga
diteror dengan bom. Benar, Ramadan lalu, di Masjid Thornlie sekitar 20 km
dari tempat tinggal saya, beberapa mobil dirusak, dan tulisan-tulisan bernada
kebencian kepada Islam dicoretkan. Peristiwa itu melengkapi kisah sebelumnya,
ketika sebongkah kepala babi ditaruh di toilet musala University of Western
Australia.
Itu baru aksi-aksi yang dilakukan orang tak dikenal. Belum lagi
suasana dalam kehidupan sosial. Saya ingat, betapa sangat tidak
mengenakkannya tatapan teman-teman saya sesama sopir pada suatu pagi, ketika
malam sebelumnya tersebar berita tentara Taliban membantai 132 anak sekolah
di Peshawar.
Demikianlah situasi kami di sini. Saya tahu, itu tandanya marwah
agama harus dibela. Dengan cara apa?
Logika linier gampangan akan mengatakan bahwa yang namanya
pembelaan harus ditempuh dengan hantaman balasan. Entah dengan melakukan
tindakan setimpal kepada "lawan" yang telah menghina kita, entah
dengan jalur hukum, atau bisa juga dengan sikap-sikap defensif lainnya. Tapi
"hukum pasar" yang berlaku di zaman ini membuktikan bahwa pembelaan
dengan cara demikian lebih sering kontraproduktif. Cara-cara begitu justru
kerap gagal memenuhi tujuan semula.
Maka, jangan salahkan saya jika saya terpesona kepada para
lelaki berkaus hijau yang foto mereka melintas di dinding Facebook saya.
Bapak-bapak itu adalah anggota Relawan Pembersih Masjid (RPM) At-Taqwa,
Samarinda. Mereka sedang membantu membereskan dan memperbaiki Gereja
Oikumene, pada bekas ledakan bom molotov yang menghajar gereja itu, sekaligus
memakan korban mengenaskan seorang balita mungil bernama Intan Olivia.
Setelah meniupkan segenap doa kemuliaan bagi bapak-bapak baik
hati tersebut, ingin rasanya saya mengirimkan selembar panji kepada mereka,
dengan tulisan besar-besar: Front Pembela Islam. Ya, benar. Bagi saya,
bapak-bapak di Samarinda itu jauh lebih layak menyandang predikat sebagai
pembela Islam.
Kita tahu, Islam telah dinista oleh seorang tak waras yang
membawa simbol Islam dan melakukan tindakan yang jelas-jelas dilarang dalam
Islam. Menyerang tempat ibadah, dan membunuh seorang anak kecil tak berdosa.
Ini jelas penistaan.
Malangnya, entah sindrom apa yang sedang mewabah di tengah kita.
Memang sih, ada banyak muslim menunjukkan duka mendalam atas jatuhnya korban
seorang balita tiada berdosa. Namun, menyambut ekspresi kesedihan massal
demikian, tak sedikit orang yang selama ini mencitrakan diri sebagai para
aktivis Islam malah justru menampilkan sikap-sikap defensif.
"Ini cuma pengalihan isu!"; "Ucapan duka kalian
itu sok toleran saja! Di mana kalian waktu muslim Rohingya dibantai?";
"Jangan ajari kami toleransi! Kalau kami tidak toleran, sudah sejak lama
kalian kami usir dari negeri ini!"
Saya tahu pasti, mereka cuma segelintir saja. Namun sebagaimana
hukum rimba di belantara media, yang galaklah yang menguasai panggung.
Hingga kemudian bapak-bapak berkaos hijau itu muncul. Dan saya
jadi tahu, setelah Haji Bambang yang beraksi di Kuta Legian pada momen tragis
Bom Bali I, bapak-bapak RPM At-Taqwa adalah prototype pembela Islam sejati di
era Milenium.
Langkah bapak-bapak berkaos hijau itu adalah contoh asyik bagi
siapa saja. Tak cuma muslim. Tragedi beruntun yang terjadi di Burma hari-hari
ini, pun saya kira bisa menjadi ajang pembuktian diri bagi teman-teman
Buddhis di Indonesia.
Saya tahu, problem di sana tidak sesimpel kelihatannya. Ada
problem perbatasan, ada mungkin isu ketidakloyalan kepada negara, dan
sebagainya. Namun naif pula jika melihatnya steril dari wilayah agama. Sebab
toh Ashin Wirathu, bhiksu kondang di negeri itu, jelas-jelas menyebarkan
ujaran-ujaran kebencian kepada minoritas muslim. Sampai-sampai Majalah Time
pernah membuat liputan khusus tentang dirinya, memajang wajahnya di sampul
depan, dan memberinya judul besar-besar: The Face of Buddhist Terror.
Maka inilah saatnya segenap umat Buddhis di banyak belahan dunia
lainnya, termasuk di Indonesia, membela marwah keyakinannya. Dengan apa?
Dengan pernyataan-pernyataan yang menegaskan bahwa mereka tak
sama dengan Ashin Wirathu. Dengan bersikap sebagaimana bapak-bapak Masjid
At-Taqwa membantu menata lagi Gereja Oikumene Samarinda. Dengan berbuat
layaknya Haji Bambang di Kuta Legian yang mengevakuasi mayat-mayat korban
kelakuan "saudara seiman"nya.
Dalam cara yang jauh lebih remeh, ya minimal seperti kami di
Australia yang berusaha sebisa-bisanya tampil sebagai masyarakat beradab dan
terhormat. Sebab kita membawa identitas kita, sehingga apa pun yang kita
lakukan di satu tempat, akan membawa dampak positif maupun negatif bagi
saudara-saudara kita seiman di belahan bumi lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar