Revitalisasi
Komunikasi Sosial
Suwandi Sumartias ; Dosen
Komunikasi Politik Fikom Universitas Padjadjaran
|
KOMPAS, 23 November
2016
Setelah aksi unjuk rasa 4 November, Presiden RI secara intensif
melakukan komunikasi atau silaturahim kepada sejumlah tokoh masyarakat,
politik, dan ormas. Tentu saja tindakan komunikasi sosial sebagai kepala
negara perlu diapresiasi dan, sungguh, tak ada kata terlambat.
Pelajaran berharga, betapa komunikasi sosial lintas golongan dan
kepentingan dalam menjaga dan memelihara keutuhan NKRI di atas segalanya.
Apalagi di era globalisasi yang sarat berbagai informasi dan komunikasi yang
sangat sulit dikelola dan atau dikendalikan.
Pengaruh media massa dan sosial tak bisa dihindari lagi. Sumber
kebenaran (kejujuran)informasi dan komunikasi (penggunaan bahasa
verbal-nonverbal)dalam tataran pengelolaan kenegaraan semakin sulit dan
krusial sehingga diperlukan ketulusan komunikasi.
Komunikasi
yang tulus
Kesadaran akan pentingnya komunikasi sosial yang tulus dan
solutif tentunya menjadi harapan semua anak bangsa. Termasuk para pembantu
presiden (Kabinet Kerja), perlu melakukan tindakan komunikasi sosial yang
lebih intensif, bukan hanya ”tindak kerja”, melainkan ”tindakan komunikasi”
pun tetap menjadi penting.
Bentuk komunikasi sosial ini yang dipraktikkan di sejumlah
negara maju. Prasyarat utamanya adalah pemahaman dan kesadaran berbasis
rasional, komprehensif, dan mendasar (bukan emosional-pragmatis) terhadap
posisi dan peran setiap elite bangsa dan warga negaranya.
Namun, di tengah-tengah ujian berat tersebut, masih kita
saksikan berbagai fakta sosial dari para elite birokrasi, politisi, tokoh
masyarakat, serta warga masyarakatyang belum menyadari akan peran dan
fungsinya. Bahkan, krisis keteladanan dalam lingkup lembaga negara
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif)semakin hari semakin masif dan
transparan. Berbagai persoalan politik, ekonomi, budaya, agama, dan keamanan
seakan menjadi tanggung jawab penuh presiden. Termasuk demo 4 November,
menteri dan atau politisi (baca: parpol) seakan tak berfungsi sama sekali
dalam menyerap aspirasi warganya. Bahkan, ada anggota DPR yang ikut demo,
sungguh satu fenomena politik yang tidak konstruktif dan sehat.
Dalam situasi dilematis ini, Habermas (1967) mengingatkan,
kekuasaan sebagai salah satu rangkaian dari praksis politik yang melibatkan
rakyat banyak tak hanya sebagai ”praksis kerja”, tetapi juga ”praksis
komunikasi”. Karena itu, pergelaran aktivitas kekuasaan tak terbatas pada
pengendalian sarana teknis dan sistem reproduksi material. Tak kalah penting
upaya-upaya memanipulasi sistem-sistem reproduksi ideasional sehingga ini
mengukuhkan apa yang dikatakannya bahwa language
is also a medium of domination and power.
Pentingnya komunikasi sosial sebagai solusi juga disampaikan
Habermas, yang menggagas komunikasi sosial sebagai pengetahuan dan praksis
sosial, dan tidak dikotomis antara subyek dan obyek. Komunikasi sosial yang
egaliter, reflektif yang bersandar pada kemurnian rasio atau nalar yang sehat
dan tidak memaksakan (dominasi) kebenaran atau kehendak satu sama lain yang
sedang berkomunikasi.
Interaksi dan komunikasi sosial satu sama lain yang reflektif
dan kontemplatif, dan pada gilirannya, ketulusan dan kejujujuran sosial
semakin mengemuka dan bisa menjadi solusi karena mampu membangun tujuan
bersama yang disepakati para pelaku komunikasi. Bentuk komunikasi sosial
inilah yang saat ini perlu menjadi acuan bersama dalam komunikasi politik
elite negeri ini dengan warganya.
Dalam kondisi dan situasiyang serba cair (potensi liar) ini,
tentunya para anggota kabinet dan semua lembaga negara tak lagi bisa berdiam
diri untuk terus berupaya membuka pemahaman dan kesadaran akan fungsi
komunikasi sosial, seperti yang dilakukan Presiden. Jika saja para pelaku
media dan atau warga mampu menahan diri dari berbagai ujaran politik yang
kasar, menghasut, penuh kebencian dan arogan, berbagai fenomena dan potensi
perbedaan kepentingan golongan bisa diselesaikan melalui komunikasi sosial.
Tentu sesuai dengan level dan kapasitas yang dimiliki para elite formal dan
informal di masyarakat.
Demokrasi era
digital
Munculnya netizen dalam praksis sosial politik sedang masif
terjadi. Euforia kebebasan individu benar-benar telah melampaui nalar sehat.
Namun, sayangnya, ujaran netizen sering kali tidak disertai tangung jawab dan
atau kesadaran akan efek negatifnya. Brain McNair (2005) mengingatkan bahwa
komunikasi politik pada era transformasi sangat cepat dan dinamis. Maka, sikap,
pemikiran, dan perilaku politik para elite bangsa yang konservatif dan lambat
akan menuai kegagalan komunikasi politik dan atau akan tumbuh iklim
komunikasi politik yang tidak sehat.
Pada era digital, dengan ciri khasnya sebagai sosok demokrasi
kosmopolit, telah membawa negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tidak
bisa menolak demokrasi kosmopolitan (demokrasi internasional). Ironisnya,
negara sebagai praksis politik yang berlandaskan Pancasila seolah belum siap
untuk bersanding atau bersaing dengan demokrasi kosmopolitan.
Demokrasi era digital telah memosisikan politik kultural
Pancasila yang dibangun bersama para pendahulu negeri ini mulai kehilangan
kepercayaan. Sebab, dalam domain kemasyarakatan, ia seakan belum mampu
menjawab perkembangan dunia yang sangat kental dengan warna neolibnya.
Persaingan global semakin meluluhkannya berbagai fondasi kultural dan atau
ideologi negeri ini.
Inilah situasi ”gawat” yang sering mengemuka dalam kehidupan
sehari-hari warganya. Tawaran kebebasan sosial yang permisif dan hedonis
sering kali lebih mewarnai gaya hidup di sejumlah pelosok kota dan daerah.
Kondisi pragmatis dan konsumtif warga dan elitenya lebih sering muncul
menjadi tren baru dalam kehidupan sosial.
Di sisi lain, perlu disadari bahwa kehadiran media massa sering
kali tak mampu lagi jadi sumber informasi yang kredibel, apalagi sudah masuk
wilayah kepentingan politik praktis, yang memunculkan keberpihakan politik
media massa pada institusi politik.
Keberpihakan tersebut bisa jadi diperlihatkan lewat
cara-carapemberitaan partai politik dan kandidat capres-cawapresnya.
Era kebebasan pers dan kebebasan berpolitik praktis telah
sama-sama menempatkan domain politik dan media menjadi satu komoditas bisnis
(komodifikasi) yang (tentunya) berupaya ”menjauhkan” diri dari nilai-nilai
moralitas, norma, dan etika kekuasaan, serta telah menempatkan pers (media)
pada posisi yang semakin dilematis situasinya. Bahkan, distorsi makna tentang
politik dan media semakin jauh dari harapan, berbagai praktik pelanggaran etika
pers dan moralitas kekuasaan semakin transparan dan menggurita sedemikian
rupa. Bahkan, saat ini praktik politik telah mengalami distorsi luar biasa,
anti klimaks, buruknya reputasi dan citra politisi sedemikian parah.
Situasi yang serba cepat inilah yang telah memaksa Presiden
merasa perlu melakukan komunikasi sosial yang cepat, tepat, dan solutif.
Tidak hanya dengan para ulama, tetapi juga dengan para tokoh politik, bisnis,
ormas, dan kekuatan sosial lainnya. Dan, jangan lupa, demo 4 November merupakan
reaksi dari lambatnya dan atau pembiaran elite politik di lingkaran Istana
untuk membangun komunikasi sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar