Histeria
di Media Sosial
Agus Sudibyo ; Kepala
Program Studi Komunikasi Massa
Akademi Televisi Indonesia (ATVI)
Jakarta
|
KOMPAS, 28 November
2016
Begitu gawatkah masalah media sosial di Indonesia hingga
Presiden Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya secara terbuka?
Keprihatinan Presiden tentu merujuk pada penggunaan media sosial
untuk menyebarkan sikap antipati dan kebencian berdimensi politik dan agama
belakangan ini. Namun, ada masalah yang lebih mendasar di sini.
Ketika penggunaan media sosial sudah sedemikian masif dan
berdampak ke mana-mana, kita sesungguhnya belum selesai mendefinisikan apa
sebenarnya media sosial itu secara teoretis, etis, dan hukum. Kasus gugatan
hukum atas Buni Yani yang dianggap menyebarkan kebencian dan permusuhan SARA
melalui media sosial dapat menjadi titik tolak di sini. Satu aspek yang tidak
banyak dibahas adalah posisi Facebook dalam penyebarluasan konten digital
Buni Yani. Apakah Facebook sebagai penyedia layanan media sosial tidak
berperan di sini sehingga tidak perlu ikut bertanggung jawab?
Bagi sebagian orang, media sosial seperti Facebook dibayangkan
seperti ruang publik terbuka tempat semua orang dapat berbicara sekehendak
hatinya. Kata sosial dalam media sosial secara hegemonik membuat banyak orang
berpikir, media sosial sepenuhnya entitas sosial yang memberikan fasilitas
cuma-cuma kepada semua orang untuk berinteraksi dalam cara dan lingkup yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Karena sudah begitu baiknya kepada
masyarakat, tak seharusnya pengelola media sosial dibebani tanggung jawab
membayar pajak, mendidik penggunanya tentang etika berkomunikasi, dan
lain-lain.
Namun, sebenarnya cukup mudah mengidentifikasi media sosial
tidak sepenuhnya bermotif "sosial", alih-alih entitas bisnis yang
motif utamanya adalah komodifikasi. Media sosial merekam semua aktivitas
digital penggunanya untuk menghasilkan behavioral data. Behavioral data ini
kemudian jadi dasar aktivitas periklanan digital yang secara eksesif memasuki
ruang-ruang pribadi kita tanpa pernah permisi.
Dari monetisasi behavioral data ini, Facebook, Instagram,
Twitter meraih keuntungan ekonomi yang sangat besar. Kita juga tidak tahu
secara persis untuk urusan apa lagi behavioral data ini digunakan oleh
raksasa-raksasa digital itu. Dalam konteks inilah, berkembang tuntutan
pelembagaan right to be forgotten
di Eropa belakangan ini.
Dualitas
status
Agar tak terjerumus pada apriori atas kontribusi positif media
sosial, barangkali lebih tepat untuk meletakkan media sosial sebagai dualitas
antara institusi sosial sekaligus bisnis. Media sosial adalah institusi
sosial yang berkontribusi dalam proses demokratisasi dan deliberasi ruang
publik, tetapi juga bersikap instrumentalistik terhadap ketergantungan
masyarakat atas media sosial dengan menggunakannya sebagai obyek
komodifikasi.
Media sosial berperan besar dalam menyediakan ruang perdebatan
publik, tetapi juga mengambil keuntungan dari perdebatan itu untuk menaikkan
popularitas atau leverage-nya di mata publik dan pengiklan. Dalam konteks
ini, mestinya ada tanggung jawab yang dibebankan ke penyedia aplikasi media
sosial jika muncul kasus hukum seperti kasus Buni Yani. Patut dicatat,
kontroversi dan gugatan hukum tidak akan terjadi tanpa peran Facebook dalam
menyebarluaskan konten digital Buni Yani.
Para ahli komunikasi dan hukum media tampaknya perlu
mendiskusikan sejauh mana lingkup tanggung jawab pengelola media sosial ini
tanpa harus mengabaikan kontribusi positif media sosial untuk berbagai
bidang. Pada intinya, perlu dibedakan antara tanggung jawab pengguna media
sosial dan tanggung jawab pengelola media sosial. Penyedia layanan media
sosial juga semestinya dibebani tanggung jawab untuk mewujudkan ruang publik
digital yang beretika dan beradab.
Permasalahan kedua, media sosial merujuk pada mode komunikasi
kelompok, komunikasi publik atau komunikasi massa? Pakar-pakar komunikasi
berbeda pendapat tentang pokok persoalan ini. Adanya aktivitas periklanan
digital dan penyebaran informasi tentang isu-isu publik secara luas melalui
teknologi komunikasi membuat media sosial cenderung dikategorikan sebagai
mode komunikasi massa.
Namun, bahwa media sosial memungkinkan umpan balik dan
interaktivitas komunikator-komunikan, membuatnya cenderung dilihat sebagai
mode komunikasi kelompok.
Pengategorian media sosial sebagai mode komunikasi ini memiliki
implikasi serius. Jika media sosial merujuk pada mode komunikasi kelompok
atau mode komunikasi publik, gugatan atas Buni Yani sebagai pribadi adalah
relevan. Namun, jika media sosial adalah sebentuk mode komunikasi massa,
relevansi gugatan itu perlu diperiksa kembali. Jangan-jangan yang terjadi
adalah menimpakan masalah institusi sekaligus pribadi hanya kepada pribadi
semata.
Sebagai analogi, jika muncul gugatan hukum atas penulis surat
pembaca atau sumber berita di media massa konvensional, maka media
bersangkutan juga harus turut bertanggung jawab. Pertimbangannya, gugatan
hukum terjadi setelah surat pembaca atau kutipan pernyataan sumber berita
disebarluaskan oleh media massa tersebut.
Nihilisme baru
Masalah ini cukup mendesak untuk dikaji lebih jauh, baik dari
sisi teori komunikasi maupun dari sisi hukum dan etika media. Posisi media
sosial memang unik: menggabungkan sekaligus mode komunikasi interpersonal,
kelompok, publik, dan komunikasi massa sekaligus. Implikasinya sangat serius:
praktik berkomunikasi di media sosial menunjukkan leburnya antara yang publik
dan yang privat, yang pantas dan yang tak pantas, yang etis dan tak etis.
Nihilisme baru tercipta dan terjadi kebingungan tentang standar etika dan moralitas
mana yang harus digunakan.
Setiap tindakan komunikasi semestinya selalu mengandaikan mode
komunikasi intrapersonal, yakni kemampuan untuk berkomunikasi dengan diri
sendiri sebelum berkomunikasi dengan orang lain. Kemampuan untuk merenung
sebelum berbicara, menimbang hati nurani dan memikirkan nasib orang lain,
menakar kepantasan dan kelayakan tindakan dan ucapan.
Dimensi komunikasi intrapersonal ini yang terabaikan dalam
praktik berkomunikasi di media sosial. Kita seperti dikondisikan bertindak serba
spontan, berkata-kata secara instan tanpa memikirkan kepantasan dan
kepatutan. Begitu sering kita terlambat menyadari bahwa ujaran kita telah
tersebar luas dan berdampak kepada nasib orang lain.
Meminjam istilah Heidegger dalam Being and Times, media sosial
membuat banyak orang terperosok dalam kualifikasi Dasman. Orang-orang yang
kehilangan kesejatian atau distingsi diri, menjadi manusia rata-rata atau
manusia kebanyakan. Kualifikasi moral dan intelektual sulit dipertahankan
karena yang berkembang adalah tren perilaku yang sama: bertindak serba
spontan, apatis, acuh tak acuh.
Yang agamis, intelek, ataupun awam mudah terjerumus pada
tindakan aniaya terhadap perasaan orang lain. Dalam konteks inilah,
keprihatinan Presiden Jokowi jadi sangat relevan. Mendiskusikan media sosial
hari ini adalah mendiskusikan harkat dan martabat kita sebagai bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar