The
Unknown Unknowns
Muhamad Chatib Basri ; Guru
Besar Tamu
di the Australian National
University, Canberra
|
MEDIA INDONESIA,
22 November 2016
"THERE
are known knowns. These are things we know that we know. There are known
unknowns. That is to say, there are things that we know we don't know. But
there are also unknown unknowns. There are things we don't know we don't
know." Kalimat itu disampaikan Donald
Rumsfeld, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat. Rumsfeld bicara,
"Ada hal yang kita tahu bahwa kita tahu, kita tahu bahwa kita tidak
tahu. Dan yang paling mencemaskan: kita tidak tahu bahwa kita tidak
tahu." Saya kira bagian terakhir inilah yang terjadi, berkaitan dengan
terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS.
Terpilihnya Trump sangat mengejutkan karena masyarakat AS yang
dianggap pluralis memuja demokrasi dan hak individu serta menjunjung tinggi
kebebasan justru memilih presiden yang dalam kampanyenya banyak sekali
menyiratkan sikap yang tak mendukung pluralisme. Dalam kebijakan ekonomi,
Trump memang menyebut strategi ekonominya cenderung proteksionis. Kita memang
tak memahami sepenuhnya apa yang terjadi di AS.
Kita berhadapan dengan apa yang disebut Rumsfeld sebagai the unknown unknowns. Dunia terkejut,
lalu cemas. Bagaimana kita mencermati itu semua? Dunia seperti apa yang akan
kita hadapi ke depan dan bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Pertama, saya
kira jawaban yang paling adil ialah terlalu cepat bagi kita untuk
menyimpulkannya. Kita tidak tahu persis apa yang akan terjadi. Spekulasi dan
analisis memang banyak dibuat dan umumnya memang mencemaskan. Namun, apakah
benar situasinya akan seperti itu? Jujur, saya kira terlalu pagi bagi kita
untuk menyimpulkannya. Itu sebabnya pasar keuangan dunia bergejolak,
kecemasan muncul di mana-mana. Namun, saya percaya, di negara demokrasi,
setiap presiden terpilih setelah beberapa waktu berkuasa akan menjadi
presiden yang 'normal'.
Tanda
membingungkan
'Normal' artinya ia akan berhadapan dengan realitas ekonomi yang
memaksanya untuk menjadi rasional. Sebagai contoh, pernyataan untuk menutup
perbatasan dengan Meksiko, misalnya, akan membawa dampak hilangnya jalur
tenaga kerja murah selama ini di AS. Bisa dibayangkan bahwa upah akan
meningkat. Akibatnya, biaya produksi akan naik. AS justru akan kehilangan
daya saingnya. Trump ialah seorang pebisnis yang mengerti apa artinya
kehilangan daya saing. Realitas ekonomi mungkin akan memaksanya untuk menjadi
rasional. Tentu ini semua hanya spekulasi. Seperti yang saya sampaikan,
terlalu pagi untuk menyimpulkan.
Kita melihat tanda yang masih membingungkan. Di satu sisi
terlihat Trump mulai melunak, dengan mengakomodasi Obamacare. Sikapnya juga
lebih lunak terhadap imigran. Begitu juga dengan penunjukan Reince Priebus
sebagai kandidat Kepala Staf Presiden, yang dianggap memiliki posisi yang
relatif mainstream. Ini mungkin pertanda pada akhirnya Trump akan menjadi
presiden yang 'normal'. Namun, di sisi lain, penunjukan Jeff Sessions sebagai
calon jaksa agung memang mencemaskan karena Sessions dianggap memiliki rekam
jejak yang rasialis.
Saya cenderung sepakat dengan apa yang ditulis Dani Rodrik,
dalam kolomnya di New York Times. Guru besar ekonomi dari Harvard Kennedy
School itu menyebut kekhawatiran yang utama mengenai Trump bukanlah soal
ekonomi, melainkan sisi politik, karena tema kampanyenya cenderung
menimbulkan ketegangan etnik.
Kedua, jika benar dari sisi ekonomi Trump akan menjalankan
kebijakan ekonomi yang proteksionis, apa dampaknya? Data menunjukkan tiga
negara pengimpor terbesar di dunia ialah AS, Uni Eropa, dan Tiongkok. Tiga
negara ini saja mengimpor lebih dari sepertiga total impor dunia. Kita tahu,
Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi, UE masih mengalami persoalan, apalagi
setelah terjadinya Brexit beberapa waktu lalu.
Bisa dibayangkan perdagangan dunia relatif lemah saat ini, dan
ini terlihat dari data bahwa pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan hanya
tumbuh 1,7% pada 2016. Terendah sejak krisis keuangan global pada 2009.
Bahkan, pertumbuhan perdagangan global lebih rendah daripada pertumbuhan
ekonomi global. Artinya, pangsa perdagangan terhadap total keluaran dunia
menyusut. Bisa dibayangkan bila dalam situasi seperti ini AS melakukan
kebijakan proteksionis.
Sebagian dari kita mungkin masih ingat ketika krisis keuangan
global terjadi pada 2009. AS mengalami kontraksi, maka total perdagangan
dunia mengalami pukulan dahsyat. Saat ini AS tidak mengalami krisis, tapi
kebijakan proteksionis mereka akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi
pertumbuhan perdagangan global. Jika perdagangan global menyusut, ekspor dari
Emerging Markets, termasuk Indonesia, akan terpukul. Implikasinya, Indonesia
tidak bisa mengharapkan sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor.
Defisit
anggaran
Memang sebagian ekonom menyatakan peran Asia dalam perdagangan
global sudah mulai meningkat. Namun, Cyn-Young Park dari Asian Development
Bank dalam risalahnya untuk The Pacific Trade and Development (PAFTAD)
conference di Australian National University di Canberra pekan ini
menunjukkan perdagangan di Asia terfokus pada pola perdagangan barang
intermediasi, yaitu pembeli akhirnya yang paling berpengaruh tetap AS.
Artinya jika AS melemah, permintaan terhadap barang intermediasi juga ikut
melemah sehingga perdagangan di internal Asia juga tetap akan terpengaruh.
Ketiga, Trump di dalam kampanyenya juga menyatakan rencana untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi AS melalui stimulus fiskal dengan cara memotong
pajak dan meningkatkan belanja. Ekspansi fiskal itu akan membuat defisit anggaran
di AS akan mengalami peningkatan, yang harus dibiayai utang. Pemerintah AS
harus mengeluarkan obligasi, yang implikasinya akan mendorong kenaikan suku
bunga The Fed. Kita sudah bisa melihat gejalanya bagaimana pasar merespons
ini. Imbal dari obligasi 10 tahun US Treasury sudah meningkat dari 1,8%
menjadi 2,2% pekan lalu. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa di dalam
jangka menengah tingkat bunga di AS akan meningkat. Ini akan membawa
implikasi kepada negara EM (Emerging Markets) termasuk Indonesia.
Dalam diskusi beberapa minggu lalu dengan Carmen Reinhart di
Harvard University, ia mengingatkan saya akan risiko dari over borrowing atau
pinjaman berlebihan. Guru besar di Harvard Kennedy School itu mengatakan,
dalam era bunga rendah, perusahaan-perusahaan di EM cenderung meminjam dari
luar negeri karena bunganya murah. Jika kemudian tingkat bunga di AS naik,
dan nilai tukar rupiah melemah, pembayaran utang akan meningkat sehingga
probabilitas default juga meningkat.
Keempat, lalu apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi ini?
Saya melihat bahwa sumber pertumbuhan suka tidak suka harus bertumpu pada
ekonomi domestik. Masalahnya ruang bagi stimulus fiskal amat terbatas akibat
anjloknya penerimaan pajak karena perlambatan ekonomi dan jatuhnya harga
komoditas dan energi. Memang ada gejala bahwa harga komoditas dan energi
sedikit meningkat, tapi kita tak boleh lagi menggantungkan sumber penerimaan
kita dari komoditas dan energi yang amat bergantung kepada siklus harga.
Dalam kondisi anggaran terbatas, stimulus fiskal harus diarahkan
kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi (marginal
propensity to consume) yang tinggi dan segera. Itu artinya peningkatan
pendapatan bagi kelompok menengah bawah. Seperti saya pernah sampaikan
sebelumnya, alokasikan dana dan perluas program cash transfer, cash for work.
Buat proyek padat karya jangka pendek yang bisa memberikan pendapatan segera
bagi orang, misalnya, membersihkan kali, selokan, dan membangun jalan desa.
Nilai proyeknya tak terlalu besar, tak akan mengganggu defisit transaksi
berjalan, tak akan mengganggu defisit anggaran, tapi multiplier-nya besar.
Begitu mereka menerima pendapatan, konsumsi akan meningkat.
Begitu konsumsi meningkat, dunia usaha akan terundang untuk meningkatkan
investasi. Ekonomi akan bergerak. Bagaimana dengan kebijakan moneter? Saya
tak melihat banyak ruang untuk ini. Jika The Fed pada akhirnya menaikkan
bunga, Bank Indonesia tak lagi memiliki ruang untuk menurunkan bunga.
Situasi memang tidak mudah, tetapi konsolidasi makro harus
dilakukan. Satu hal lagi yang penting ialah kestabilan politik harus dijaga.
Jika situasi eksternal tak kondusif dan ada kecenderungan arus modal akan
kembali pulang ke AS, situasi politik yang tak kondusif akan memperburuk
situasi dan akan semakin mendorong arus modal keluar. Kita memang berada
dalam situasi yang tak pasti. Rumsfeld menyebutnya the unknown unknowns. Mungkin kita tak tahu bahwa kita tidak
tahu. Namun, setidaknya dengan antisipasi ini, kita menyadari kita tahu bahwa
kita tidak tahu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar