Dorong
Konsumsi RT
Paul Sutaryono ; Pengamat
Perbankan; Mantan Assistant Vice
President BNI
|
KOMPAS, 24 November
2016
Laporan Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi
pada kuartal III-2016 mencapai 5,02 persen. Artinya, lebih rendah daripada
kuartal sebelumnya 5,18 persen, tetapi lebih tinggi daripada kuartal yang
sama 2015 sebesar 4,73 persen.
Pertumbuhan 5,02 persen itu di atas Malaysia (4,30), Thailand
(3,50), dan Singapura (0,60). Masalahnya, apakah pertumbuhan 5,02 persen itu
berkualitas? Menurut Bank Dunia, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen
sepatutnya dapat menyerap 500.000 tenaga kerja. Ternyata, pertumbuhan ekonomi
itu baru menyerap 200.000 tenaga kerja pada 2009-2015, sedangkan angkatan
kerja terus naik.
Nawacita Presiden Jokowi, sebagai janji kampanye yang tertuang
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, menargetkan
penciptaan lapangan kerja untuk rata-rata 2 juta orang per tahun. Dengan
demikian, selama lima tahun, diharapkan 10 juta lapangan kerja tercipta.
Sepanjang 2015, mengacu data Bappenas, penciptaan lapangan kerja
kurang dari 200.000 orang. Sementara pada 2016, jika pertumbuhan ekonomi
mencapai 5,1 persen, lapangan kerja yang tercipta bisa diasumsikan sekitar
1.020.000 (Kompas, 8/11). Dengan formula Bank Dunia, pertumbuhan 5,1 persen
itu mestinya sanggup menyerap 2.550.000 tenaga kerja.
Tantangan dan
peran
Oleh karena itu, kualitas pertumbuhan ekonomi itu wajib terus
ditingkatkan. Bagaimana kiatnya? Pemerintah harus menggenjot penciptaan
lapangan kerja berbasis padat karya sehingga dapat menyerap banyak tenaga
kerja. Alhasil, tingkat pengangguran terbuka akan tertekan rendah.
Tengok saja, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,61 persen
atau 7,56 juta orang per Agustus 2016, menurun dari 6,18 persen atau 7,03
juta orang per Agustus 2015. Sektor jasa kemasyarakatan paling banyak
menciptakan lapangan kerja, 1,52 juta orang atau tumbuh 8,47 persen. Sektor
perdagangan menyusul 1,01 juta orang atau tumbuh 3,93 persen serta sektor transportasi,
pergudangan, dan komunikasi 500.000 orang atau 9,78 persen.
Bagaimana tantangan dan peran bank dalam menyuburkan pertumbuhan
ekonomi? Pertama, bank dapat memainkan peran penting menggerakkan sektor riil
dengan menyalurkan kredit produktif, yakni kredit modal kerja dan kredit
investasi. Kredit produktif akan lebih mampu membuat roda sektor riil
bergerak lebih kencang. Sektor riil yang makin ngebut akan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Sejauh mana kontribusi kedua jenis kredit produktif itu? Kredit
modal kerja hanya tumbuh tipis 4,67 persen dari Rp 1.846,73 triliun per
Agustus 2015 menjadi Rp 1.933,06 triliun per Agustus 2016. Angka itu lebih
kecil dibandingkan dengan pertumbuhan kredit investasi yang melejit 9,38
persen dari Rp 968,78 triliun menjadi Rp 1.059,69 triliun.
Pertumbuhan yang tidak seimbang antara kredit modal kerja dan
kredit investasi itu juga tecermin pada nilai kredit yang sudah disetujui
tetapi belum dicairkan, yang tak turun tetapi justru naik 1,61 persen dari Rp
1.245,79 triliun per Juli 2016 jadi Rp 1.265,88 triliun per Agustus
2016. Sayangnya, kredit perbankan
belum tumbuh subur seperti yang diharapkan. Kredit perbankan hanya tumbuh
6,90 persen (year-on-year) dari Rp 3.732,01 triliun per Agustus 2015 menjadi
Rp 3.989,67 triliun per Agustus 2016; turun dari 7,85 persen pada bulan
sebelumnya.
Padahal, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan
sebanyak enam kali, mencapai 150 bps pada 2016. Kini suku bunga acuan BI 7
Day Reverse Repo Rate menyentuh 4,75 persen mulai 20 Oktober 2016. Penurunan
ini diharapkan dapat mendorong suku bunga kredit jadi makin terjangkau untuk
menuju era suku bunga rendah. Namun, penyaluran kredit tetap seret. Salah
satu penyebabnya karena daya beli masyarakat belum pulih benar, apalagi bank masih
enggan mengurangi premi risiko (risk premium). Maka, lahirlah dilema suku
bunga rendah.
Sebaliknya, dana pihak ketiga tumbuh lebih rendah lagi, 5,45
persen, dari Rp 4.202,01 triliun per Agustus 2015 menjadi Rp 4.431,19 triliun
per Agustus 2016, menurun dari 5,84 persen pada Juli 2016. Walhasil, loan to
deposit ratio (LDR) mendaki dari 88,81 persen jadi 90,04 persen di tengah
ambang batas 80-90 persen. Artinya, likuiditas masih ketat untuk beberapa
kelompok bank menengah ke bawah.
Mengingat kucuran kredit lesu darah, ekses likuiditas bank lari
ke surat berharga. Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan, penempatan dana
bank ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang melesat 72,67 persen dari Rp
54,81 triliun per Agustus 2015 menjadi Rp94,64 triliun per Agustus 2016,
Surat Perbendaharaan Negara (SPN) hanya naik sedikit 2,63 persen dari Rp
23,57 triliun jadi Rp24,19 triliun, obligasi meningkat 20,29 persen dari Rp
470,60 triliun menjadi Rp 566,09 triliun, dan lainnya melejit 48,03 persen
dari Rp 134,34 triliun menjadi Rp 198,86 triliun pada periode yang sama.
Kedua, bank juga dapat menggenjot kredit konstruksi dan
infrastruktur, seperti jalan tol, jalan kereta api, pelabuhan udara,
pelabuhan laut, jembatan, irigasi dan pembangkit tenaga listrik. Infrastruktur
yang baik menjadi salah satu alat penting mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 pada 21
Desember 2012 mewajibkan bank mengucurkan kredit ke segmen UMKM minimal 20
persen dari kredit produktif secara bertahap mulai 2013-2018. Rinciannya,
bank wajib menyalurkan kredit UMKM minimal 10 persen, 15 persen, dan 20
persen, masing-masing pada 2016, 2017, dan 2018.
Selain menjalankan kewajiban itu, sejatinya bank dituntut
membekali pelaku UMKM dengan pengetahuan praktis mengenai transaksi
internasional, ekspor, impor, bank garansi. Hal ini bertujuan agar pelaku
UMKM naik kelas menjadi UMKM berbasis ekspor. Kenaikan ekspor akan menekan
defisit transaksi berjalan.
Konsumsi rumah
tangga
Keempat, segera setelah serangan teroris pada 11 September 2001,
Presiden AS mengimbau rakyatnya berbelanja sebanyak mungkin untuk mendongkrak
konsumsi rumah tangga. Inilah salah satu strategi mendorong pertumbuhan
ekonomi di tengah kelesuan ekonomi saat itu.
Nah, kini ekonomi Indonesia mengalami situasi yang mirip.
Kemampuan fiskal pemerintah kurang berotot. Upaya perbaikan fiskal sudah
dilakukan melalui program pengampunan pajak.
Sekalipun periode I-30 September 2016 uang tebusan mencapai Rp
97,2 triliun atau 59 persen dari target Rp 165 triliun, atau 0,8 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB), dan deklarasi aset mencapai Rp 3.625 triliun,
itu belum maksimal. Dengan bahasa lebih bening, kemampuan pemerintah untuk
meneruskan pembangunan menjadi kurang perkasa. Karena itu, diperlukan kiat
untuk mengerek konsumsi rumah tangga untuk mencapai target pertumbuhan
ekonomi 5,1 persen pada akhir 2016.
Ketika permintaan kredit produktif masih lunglai, bank menggarap
kredit konsumsi yang bersifat individual. Katakanlah, kartu kredit/debet, kredit
pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), kredit kendaraan
bermotor (KKB), dan kredit tanpa agunan (KTA).
KTA sungguh tak pernah mati angin karena bersifat multiguna yang
dapat digunakan untuk aneka keperluan, seperti pendidikan, kesehatan,
pernikahan, dan liburan. Bagaimana dengan kartu kredit? Data BI menunjukkan
nilai transaksi kartu kredit malah menipis 2,1 persen dari Rp 22,88 triliun
per September 2015 menjadi Rp 22,38 triliun per September 2016.
Maka, rencana BI untuk memangkas batas atas suku bunga kartu
kredit patut didukung. Menurut rencana, suku bunga kartu kredit akan
dipangkas dari 2,95 persen per bulan atau 35,4 persen per tahun menjadi 2,25
persen per bulan atau 26,95 persen per tahun. Ternyata, suku bunga kartu
kredit masih begitu tinggi, bahkan lebih tinggi daripada suku bunga kredit
mikro sekitar 30 persen per tahun.
Sebagai perbandingan, bolehlah kita menengok suku bunga kartu
kredit bank-bank di Malaysia. Bank nomor wahid Malaysia, Maybank, memasang
suku bunga kartu kredit 8,88 persen per tahun atau 0,74 persen per bulan;
Ambank 7,99 persen per tahun atau 0,67 persen per bulan; dan Affinbank 9,99
persen per tahun atau 0,83 persen per bulan. Ketiga bank itu bahkan
menawarkan biaya tahunan gratis.
Perbandingan itu menyiratkan bahwa bank nasional belum mampu
bersaing dengan bank-bank Malaysia di segmen kartu kredit. Untuk itu, rencana
pemangkasan suku bunga kartu kredit dapat mendorong kenaikan nilai transaksi
kartu kredit. Akan lebih menantang sekiranya BI memiliki target suku bunga
kartu kredit 24 persen per tahun atau 2 persen per bulan pada 2017. Angka itu mendekati suku bunga kredit
koperasi sekitar 24 persen per tahun yang saat ini belum jadi lembaga
keuangan nonbank yang diperhitungkan untuk memperluas inklusi keuangan.
Padahal, koperasi sudah tersebar di seluruh pelosok di Indonesia. Inilah
tantangan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Kredit konsumsi naik 8,23 persen dari Rp 1.065,78 triliun per
Agustus 2015 menjadi Rp 1.153.54 triliun per Agustus 2016. Angka itu lebih
tinggi daripada kenaikan kredit modal kerja. Kredit konsumsi seolah menemukan
momentum untuk melaju lebih kencang. Terlebih ketika menjelang dan masa Natal
dan Tahun Baru 2017, masyarakat akan lebih banyak berbelanja. Hal itu akan meningkatkan
konsumsi rumah tangga, yang ujungnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar