Hijrah
dan Frontier Spirit
Hasanudin Abdurakhman ; Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku
University, Jepang; Bekerja sebagai General Manager for Business Development di
sebuah perusahaan Jepang di Jakarta
|
DETIKNEWS, 28 November
2016
Ekonomi Asia Tenggara dikuasai
oleh orang-orang dari etnis Tionghoa, keturunan dari orang-orang yang
merantau dari daratan China. Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia,
punya kemiripan dalam hal itu. Kenapa bisa begitu? Apa yang istimewa pada
etnis ini sehingga mereka bisa begitu. Mungkin ada penjelasan soal itu dari
sisi antropologi. Tapi saya lebih suka melihatnya dengan cara yang berbeda.
Dalam kunjungan ke Papua, saya
banyak bertemu dengan orang Jawa. Ada yang ditugaskan oleh kantor tempat
mereka bekerja. Tapi tidak sedikit pula yang datang sendiri, bekerja di
berbagai bidang. Termasuk mereka yang bekerja di sektor informal, berjualan
di pinggir jalan. Bersama mereka ada orang Bugis dan Makassar, dalam jumlah
yang lebih besar. Mereka ini menguasai berbagai sektor ekonomi, khususnya
sektor informal.
Tidak hanya di Papua. Kita bisa
menemukan orang-orang Bugis dan Jawa bertebaran di seluruh Tanah Air. Sama
halnya dengan orang Minang yang juga merantau ke seluruh Indonesia. Demikian
pula dengan orang-orang Madura yang banyak merantau di Kalimantan.
Saya masih sering teringat
dengan kampung saya. Di tahun 60-an, ketika orang tua saya membuka lahan di
kampung baru, masih satu pulau dengan kampung asal mereka, ada juga
orang-orang yang datang dari Jawa, bersama mereka membuka lahan. Pada mulanya
hanya satu keluarga yang membuka lahan. Setelah ia berhasil, punya ladang
sederhana, dan melihat prospeknya, ia kembali ke Jawa, mengajak yang lain.
Menyusullah beberapa keluarga, melakukan hal yang sama. Kelak, lebih banyak
lagi orang yang datang, sampai mereka membentuk 2 kampung, berisi orang-orang
yang pindah dari Jawa.
Ada hal menarik soal perantau
ini. Mereka umumnya berhasil, melebihi orang-orang yang merupakan penduduk
asli di tempat yang mereka datangi. Tak jarang hal itu kemudian menimbulkan
kecemburuan. Sayangnya, kecemburuan itu merujuk pada etnis.
Adakah etnis perantau? Adakah
suku tertentu saja yang hidupnya suka merantau? Orang Minang dan orang Batak
dikenal suka merantau. Tapi tentu saja ada juga yang tidak merantau. Sama
halnya dengan orang China. Lebih banyak orang China yang tidak merantau
dibanding yang merantau.
Yang saya lihat pada akhirnya
bukan etnis, melainkan semangat. Hingga kini saya masih kagum dengan semangat
orang-orang Jawa yang membuka lahan di kampung kami itu. Kita bisa bayangkan,
di tahun 60-an, mereka perlu berhari-hari pergi dari Jawa waktu itu hanya ada
kapal laut, itupun jumlahnya tak banyak. Entah berapa hari mereka harus
menunggu sampai kapal berangkat. Setelah tiba di ibu kota provinsi, mereka
harus meneruskan perjalanan lagi, untuk tiba di kampung saya. Setidaknya perlu
1 minggu untuk seluruh perjalanan.
Perjalanan para perantau dari
China daratan yang menjadi nenek moyang etnis Tionghoa di Indonesia tentu
lebih dahsyat lagi. Pendek kata, para perantau ini adalah orang-orang yang
mau membuat langkah baru, meninggalkan ikatan-ikatan yang selama ini ada,
mengambil risiko terhadap sesuatu yang tidak pasti. Tapi tentu saja bukan
hanya itu yang mereka punya. Yang lebih penting adalah, mereka mau berjuang
sampai berhasil.
Hal-hal itu adalah komponen
yang sangat penting untuk sukses. Melepaskan diri dari zona nyaman, dan mau
mengambil risiko. Tapi tidak hanya itu. Kalau hanya itu saja, kesannya akan
seperti orang nekat tanpa perhitungan. Elemen lainnya adalah, kemauan untuk
bekerja sampai tuntas, sampai berhasil.
Dalam konteks sejarah Amerika,
semangat seperti digambarkan di atas disebut frontier spirit. Semangat itulah
yang membangun Amerika, menjadikannya negara besar. Pada dasarnya semangat
itu ada dalam setiap peradaban, dan sepanjang sejarah. Dalam khasanah sejarah
Islam kita mengenal konsep hijrah, yang menjadi momentum penting dalam
kegemilangan Islam.
Artinya, soal perantauan ini
sebenarnya bukan soal etnis. Ini adalah soal spirit tadi. Soal orang-orang
yang mau bertarung dengan segenap kemampuan sampai berhasil. Jadi, tidak ada
alasan untuk cemburu pada etnis tertentu yang lebih berhasil. Setiap orang,
etnis apapun, bisa berhasil, selama mereka mau bekerja dengan spirit tadi.
Tapi apakah setiap orang harus
hijrah dulu untuk bisa maju dan sukses? Sebenarnya tidak. Hijrah itu hanya
gejala yang terlihat. Ia bukan sebab. Orang yang berani hijrah adalah orang
yang punya spirit tadi. Jadi, hijrah itu hanya akibat. Karena itu, orang yang
tidak merantau pun banyak pula yang sukses.
Yang perlu dilakukan lebih
dahulu adalah hijrah dalam pikiran. Mengubah pola pikir, dari yang jumud ke
pikiran maju. Menjadi kreatif, mau mengambil risiko, dan mau berjuang sampai
tuntas. Termasuk dalam hal ini adalah membuang jauh-jauh rasa permusuhan saat
melihat kesuksesan orang lain, atau orang dari etnis lain. Kita bisa sukses
seperti mereka. Kita hanya perlu bekerja keras seperti mereka. Itulah pola
pikir pemenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar