Demokrasi
Kita
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 19 November
2016
Gubernur DKI non-aktif Basuki Tjahaja Purnama akhirnya
ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan penistaan agama akibat
pidatonya di Kepulauan Seribu. Suka atau tidak, hasil gelar perkara 15
November lalu semestinya dihormati dan dikawal sampai kasus ini selesai 100
persen di meja hijau.
Dengan demikian, tidak ada dalih lagi untuk mengerahkan massa
seperti yang terjadi pada aksi damai 4 November silam. Sementara beredar
kabar akan terjadi lagi demonstrasi besar alias Aksi Bela Islam ke-3, pada 25
November atau 2 Desember mendatang.
Sekiranya benar sudah dirancang akan berlangsung lagi,
demonstrasi seperti itu tak perlu kolosal. Cukup seperti unjuk rasa yang
nyaris terjadi setiap hari di sekitar Monas yang melibatkan pendemo dalam
jumlah terbatas.
Kepolisian telah bekerja secara profesional, begitu juga
tentunya pengadilan kelak ketika Basuki diajukan ke meja hijau. Kita negara
demokrasi yang menjunjung tinggi hukum, bukan mobokrasi yang mengandalkan
pengerahan massa pemaksa kehendak.
Terbukti pula Basuki tidak pernah, juga tidak akan, dilindungi
Presiden Joko Widodo ataupun oleh aparat keamanan. Bahwa Presiden Jokowi
sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendukung Basuki
sebagai cagub yang didukung PDI-P juga, itu tentu benar.
Kita akan menyelenggarakan 101 pilkada serentak pada 15 Februari
2017, termasuk DKI. Kampanye sudah dimulai dan pengerahan massa, baik sengaja
maupun tidak, telah terjadi hari-hari ini di hampir semua lokasi di Ibu Kota.
Betul, pilkada di daerah mana pun, ya, sama saja. Namun, pilgub
Jakarta menjadi istimewa karena statusnya sebagai ibu kota negara yang vital,
strategis, dan menjadi barometer republik ini. Ada tiga cagub/cawagub yang
berkompetisi, termasuk duet Basuki-Djarot Saiful Hidayat.
Duet lainnya Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies
Baswedan-Sandiaga Uno. Mereka mempertarungkan gagasan dan program melalui
kampanye yang mengandalkan kerumunan massal tanpa harus diganggu oleh perkara
penistaan agama atau isu-isu SARA lainnya.
Juga jangan sampai kampanye Pilgub DKI menjadi gerakan
"asal bukan" oleh kerumunan massal. Telah berkali-kali terjadi
penolakan kerumunan massal terhadap kedatangan duet Basuki-Djarot untuk
berkampanye di sejumlah tempat, sebuah kemunduran demokrasi kita yang
dilakukan para pemaksa kehendak.
Kita selayaknya wajib menjaga "rekor nasional" tidak
pernah terjadi kerusuhan saat kampanye pemilu, kecuali kerusuhan kecil di
Lapangan Banteng dalam kampanye Pemilu 1982. Seperti terbukti pada kerusuhan
Lapangan Banteng, selalu ada penunggang.
Makanya Presiden Jokowi juga menyebut penunggang atau aktor di
belakangan kerusuhan kecil yang terjadi setelah aksi damai 4 November
selesai. Polisi telah mengamankan beberapa tersangka yang diduga membuat
rusuh.
Ketika saya berada di antara pendemo aksi damai 4 November,
tidak begitu terasa ada suasana mencekam. Meskipun teriakan, tulisan
spanduk/poster, dan orasi terasa lantang, toh para pendemo Aksi Bela Islam
ke-2 itu berperilaku tertib. Oleh sebab itu, sayang aksi damai mereka dinodai
kerusuhan kecil tersebut. Andai saja kerusuhan tidak pecah, semua orang akan
mengacungkan jempol untuk aksi damai itu.
Akibat kerusuhan kecil itu, akhirnya kita semua ikut tegang,
repot, dan curiga. Kita menjadi bangsa terbelah, terutama ketika mengikuti
pro dan kontra tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada kerusuhan kecil itu
di media sosial.
Tentu saja Presiden Jokowi yang paling repot. Ia segera
menggalang konsolidasi internal dengan mengunjungi berbagai kesatuan
TNI-Polri dan ormas-ormas Islam setelah demo 4 November.
Presiden menggalang konsolidasi selaku panglima tertinggi dan
sebagai Kepala Negara yang siap silaturahim dengan berbagai ormas ataupun
tokoh nasional, ketimbang doing nothing.
Kepemimpinan seorang presiden diuji bukan pada saat kondisi politik stabil,
tetapi juga saat krisis.
Memang tak mudah menggalang konsolidasi di negara dengan sekitar
17.000 pulau dengan populasi beraneka etnis dan agama, dari Sabang sampai
Merauke. Mustahil seorang presiden yang menjabat selama lima tahun mampu
memuaskan keinginan semua golongan yang merasa paling benar dan memaksakan
kehendak sendiri.
Presiden Soekarno mati-matian menggalang keindonesiaan dengan
cara mengunjungi sebanyak-banyaknya rakyat di beberapa provinsi selama 10
tahun sejak Proklamasi. Presiden Soeharto pun menggalang konsensus nasional
baru pasca-1965 selama era krisis tiga tahun sampai menjadi Kepala Negara
yang sah tahun 1968.
Betapa pun, kita butuh kepemimpinan nasional yang tegas dan
berani di kala menghadapi krisis sekecil apa pun. Secara konstitusional,
konsolidasi yang dilakukan Presiden Jokowi dapat dipertanggungjawabkan.
Sekali lagi, apa yang terjadi pada malam setelah isya 4 November
lalu adalah krisis yang segera ditangani Presiden Jokowi. Sempat terdengar
spekulasi kerusuhan kecil itu direkayasa untuk memicu kerusuhan lebih besar
yang dapat memicu instabilitas politik, dengan harapan semua kesalahan
ditimpakan kepada Presiden Jokowi.
Ternyata sasaran itu tidak tercapai. Ini kegagalan yang kembali
berulang karena kerap terjadi sejak era Reformasi, ketika setiap presiden
dihadang berbagai upaya untuk didongkel baik konstitusional maupun
tidak-termasuk pemakzulan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid.
Semestinya demokrasi kita setelah era Reformasi melangkah ke
depan alias tak lagi jalan di tempat. Apa boleh buat, demokrasi kita masih
berbasis "demo" yang memancing mobokrasi, yang diintai mata-mata
gelap yang bernafsu memicu kerusuhan massal sembari berjudi mengambil untung.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar