Data
(Kependudukan) dan Birokrasi Kita
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 24 November
2016
Saya membacanya di situs www.lapor.go.id. Kalau melihat namanya,
ini tentu situs yang dikelola pemerintah. Kalau melihat masalahnya, situs ini
mungkin dikelola Kementerian Dalam Negeri.
Saya menyebut “mungkin” setelah melihat dialog yang saya baca di
situs tersebut. Ringkasannya kurang lebih begini. Ada orang tua melaporkan ke
situs itu tentang masalah anaknya yang belum dapat e- KTP. Penyebabnya, ada
kekeliruan data. Dalam Nomor Induk Kependudukan (NIK), sang anak tercatat
lahir pada 3 Maret, padahal yang benar 31 Maret. Menurut pihak orang tua, dia
sudah bolak-balik melaporkan masalah itu ke Suku Dinas Kependudukan.
Namun tetap saja data tanggal lahir salah tulis. Lalu ketika
terakhir kali ia datang, petugas di Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
(Dukcapil) bahkan sudah membubuhkan paraf sebagai tanda bahwa datanya sudah
diperbaiki. Kenyataannya ketika ingin mengurus e-KTP, datanya masih saja
keliru. Akhirnyasanganaktakpunya KTP yang sah. Akibat lanjutannya, dia tak
bisa memperpanjang SIM dan surat-surat lain. Itulah laporan sang orang tua ke
situs www.lapor.go.id.
Bagaimana nasibnya? Di luar dugaan, laporan tersebut ternyata
direspons pengelola www.lapor.go.id. Pengelola meminta orang tua tersebut
mengirim laporannya ke simpuldukcapil@gmail.com. Sampai di sini saya mulai
merasa ada yang janggal. Kalau itu memang situs resmi pemerintah, mengapa
pakai Gmail? Itu sebabnya tadi saya tulis“mungkin”. Kalau serius, mestinya
tidak memakai alamat e-mail gratisan. Saya lanjutkan ceritanya. Oleh
pengelola, orang tua tadi disuruh melapor ke WhatsApp (WA) Dukcapil.
Direspons, tetapi isinya meminta sang orang tua melapor ke nomor WA yang
lain. Begitu terus, berputar-putar.
Akhirnya Anda tentu bisa menebak bahwa masalahnya tak selesai.
Itu informasi per 21 Oktober 2016. Apa artinya? Sebelumnya pihak Kementerian
Dalam Negeri sudah mengumumkan bahwa tenggat waktu pengurusan e-KTP adalah 30
September 2016. Pusingnya lagi, pengumuman itu tetap disampaikan ketika
blangko e-KTP habis. Artinya e-KTP tak bisa dicetak. Anda tahu apa risikonya
kalau tak punya e-KTP? Secara resmi Anda belum tercatat sebagai penduduk di
suatu daerah.
Akibatnya banyak aktivitas belum bisa dilakukan, terutama untuk
membuat dokumen yang pengurusannya membutuhkan KTP. Tak bisa membuka rekening
bank, mengurus SIM, dan tak bisa memiliki kendaraan bermotor atas nama
sendiri. Paspor? Lupakan saja. Apalagi visa. Bahkan, huhu, tak bisa menikah
secara resmi dengan orang tercinta. Mengapa? Sebab Anda tidak tercatat
sebagai warga negara Indonesia.
Jalur Khusus
Tapi ini Indonesia. Selalu ada jalan bagi mereka yang menghadapi
masalah semacam ini. Jadi, ketika saya ngobrol dengan tetangga dan bercerita
tentang masalah ini, mereka tertawa. Lalu mereka bercerita tentang “jalur
khusus”, “jalur progresif”, atau “jalan tikus”. Anda tahu bukan maksudnya?
Saya tertawa. Lalu, ketika saya tanya, apakah e-KTP-nya asli,
merekagantitertawa.
“Mana kita tahu. Pokoknya punya e- KTP,” begitu mereka menimpali
pertanyaan saya. Baiklah saya tidak ingin berlama-lama membahas soal ini.
Intinya adalah kasus tadi menggambarkan betapa ruwetnya birokrasi pencatatan
data kependudukan kita. Sudah ruwet, banyak birokrat yang malas dan belum
bermental melayani. Kalau ada masalah, bukannya diungkap untuk dicari
solusinya, tetapi malah disembunyikan di kolong-kolong meja kerja, di laci,
atau di bawah karpet. Maka masalahnya tak pernah selesai. Hanya menghilang
sementara, tapi nanti pasti bakal muncul lagi.
Selain cerita tadi, saya punya banyak contoh lain. Misalnya ada
orang yang sudah meninggal, tetapi menurut data kependudukan ia tercatat
masih hidup. Anda ragu? Coba saja tanya ke para petugas Panitia Pendaftaran
Pemilih (Pantarlih) pada Pemilu 2014. Mereka menemukannya. Jumlahnya bukan
satu-dua atau ratusan, tetapi ribuan. KTP ganda? Masih banyak dan ada di
mana-mana. Dengan KTP ganda, seseorang bisa punya paspor ganda.
Maka tak mengherankan, meski sudah dicekal Kantor Imigrasi, ada
saja yang tetap bisa lolos ke luar negeri. Salah ketik nama mungkin kita
sampai bosan mendengarnya. Cobalah iseng-iseng Anda cocokkan data di KTP
Anda. Apakah nama yang tertera di situ sama persis dengan di kartu keluarga,
akta kelahiran atau akta kenal lahir, di akta perkawinan, di ijazah, di SIM
atau STNK, di nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan di dokumendokumen lainnya?
Kalau semuanya benar, saya ucapkan selamat. Lalu penduduk yang
tercatat sebagai warga DKI Jakarta, misalnya, tetapi sebetulnya tinggalnya
sudah nun jauh di Bogor, Depok, Tangerang atau Bekasi—bahkan mungkin
Karawang, Bandung, atau kotakota lain yang sudah begitu jauh dari Jakarta.
Anda bisa menerka kira-kira berapa jumlahnya? Jutaan. Sebagai gambaran, pada
pagi hingga sore hari jumlah orang yang berada di Jakarta mencapai 12,7 juta.
Malam harinya jumlahnya susut menjadi kurang dari 10 juta.
Data yang
Valid
Cerita saya tadi, terutama pada bagian atas, mau menggambarkan
kinerja birokrasi kita—terutama di tingkat daerah—dalam hal data
kependudukan. Mengapa persoalan data ini menjadi penting? Kita hidup di era
data yang begitu berlimpah atau biasa disebut big data. Namun tak semua data bisa kita pergunakan. Bahkan
mungkin sebagian besar data tersebut hanya berisi sampah. Maka data harus
dipilah, dianalisis, dan diolah menjadi informasi.
“Information
is the oil of the 21 st century and analytic is the combustion engine,” kata Peter Sondergaard, senior vice president di Gartner
Research. Saya setuju. Nah, informasi inilah yang digunakan para eksekutif
untuk mengambil keputusan. Apa jadinya jika datanya salah? Jelas informasi
yang dihasilkan pun bakal salah. Jika informasi ini yang dijadikan pegangan
untuk mengambil keputusan, saya khawatir, keputusan yang dihasilkan pun bisa
keliru. Apa jadinya kalau keputusannya keliru?
Well, dampaknya bisa baik-baik saja, bisa sedikit kerusakannya,
tetapi juga bisa fatal. Nah, sekarang saya mau mengaitkan urusan data
kependudukan dengan Pilkada 2017. Di DKI Jakarta dan provinsinya atau
kabupaten/kota lainnya sekarang sedang panas-panasnya kampanye Pilkada 2017.
Kalau di DKI Jakarta ada tiga pasangan calon yang berebut untuk menjadi DKI 1
dan DKI 2. Di daerah lain jumlah pasangan calon bervariasi. Sekarang cobalah
Anda simak, adakah pasangan calon yang bicara soal pentingnya daerah yang
kelak dipimpinnya punya data kependudukan yang akurat, valid, dan up to date
dalam kampanyenya?
Sampai hari ini saya belum pernah mendengar dan membacanya. Baik
di media elektronik maupun media cetak. Mungkin ini memang bukan topik yang
seksi. Tapi bagaimana para pasangan calon tersebut bisa bicara program kerja
kalau dia tidak tahu siapa yang bakal menjadi sasarannya— meski saya lebih
suka pakai istilah siapa yang bakal dilayaninya? Semua program tadi jelas
hanya ada di awang-awang, sulit atau bahkan tak bisa dieksekusi. Anda mau
punya pemimpin yang seperti itu? Saya, jelas tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar