Demo,
SARA, dan Kegagalan Islamisme
Asep Salahudin ; Dekan
Fakultas Syariah IAILM
Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
|
MEDIA INDONESIA,
26 November 2016
POST-ISLAMISME adalah sebagai sebuah fenomena yang menunjukkan
sikap keberislaman yang mampu berdialog dengan persoalan kemanusiaan,
demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan kawarganegaraan multikultural.
Post-islamisme melambangkan tentang aksentuasi keagamaan yang tidak lagi
dijangkarkan pada kerangka pemahaman konservatisme politik skolastik dan
paham agama abad pertengahan yang serbahitam putih, tetapi ditafsir ulang
secara modern dan kontekstual.
Dalam penjelasan Bayat (LKiS, 2011), "Sebuah upaya sadar membangun konsep rasionalitas dan modalitas
secara strategis untuk membatasi gerakan islamisme di area sosial, politik,
dan intelektual. Post-islamisme mewakili upaya meleburkan keagamaan dan hak,
iman dan pembebasan, menegaskan kesejarahan kitab suci, menjunjung pluralitas
dari dera suara otoritatif tunggal, kebebasan individu, pengakuan akan yang
sekuler, pembebasan dari rigiditas dan penghapusan monopoli kebenaran,
penyatuan agama dan tanggung jawab."
Konfigurasi politik Iran yang kian moderat setelah berakhirnya
para ahli waris rezim Khomaini, gagalnya percobaan penerapan Islam kalangan
Ikhwanul Muslimin, dan semakin akomodatifnya politik di Turki adalah beberapa
contoh mutakhir yang menegaskan fakta bahwa islamisme yang selama ini
diperjuangkan kalangan partai Islam dan kaum salafi tidak saja mengalami
kegagapan ketika hendak diterapkan dalam politik harian, tapi juga sering
kali dalam praktiknya hanya berujung pada upaya memanggungkan 'agama' sebatas
sistem simbolis untuk mengelola kekuasaan secara tiranik.
Selebihnya ialah pekik slogan yang diulang-ulang tentang
keniscayaan kembali menuju peta Islam arkaik, yang sejak awal ditahbiskan
sebagai saleh dan murni.
Kegagalan
islamisme
Dalam telaah Olivier Roy (1996), islamisme hanyalah perhimpunan
orang-orang buangan dari modernisme yang gagal, dengan penggalangannya
berdasarkan mitos kembali ke autentisitas Islam yang sebenarnya tak pernah
ada. Sebuah gerakan yang digulirkan tanpa model politik, ekonomi, sosial yang
khas dan konkret kecuali sekadar jargon untuk menerapkan 'syariat' tanpa
penjelasan utuh bagaimana syariat itu dioperasionalkan secara
teknis-sosiologis dalam birokrasi, industri perbankan, kepartaian, dan
sebagainya.
Sebuah model politik yang menuntut ketakwaan para anggotanya,
tapi ketakwaan ini hanya bisa diperoleh lewat mimpi bila masyarakatnya
benar-benar islami. Sementara persoalan laten kemiskinan, sistem ekonomi,
krisis nilai, kemerosotan mutu pendidikan tidak pernah tersentuh dan tentu
hal ini semakin memperjelas ilusi 'negara Islam' tersebut.
Kalau di sebagian belahan Timur Tengah islamisme mengalami
kebangkrutan dan atau terpelanting dalam arus kecil fundamentalisme yang
gelap mata seperti ditampilkan NIIS dan wahabisme, di Indonesia justru
gejalanya terbalik. Kita melihat pascarontoknya Orde Baru, terjadi gelombang
kebangkitan gerakan islamisme minimal.
Hal itu direpresentasikan melalui ormas-ormas puritan dengan
kecenderungaan sikap dan tindakan keberagamaannya yang eksklusif, memandang
'Indonesia' hanya titik antara menuju negara yang difantasikannya selaras
dengan hujjah metafisis yang diyakininya dianggit dari ayat-ayat Alquran yang
telah ditafsirkan sepihak.
Dalam beberapa kasus, ormas-ormas garis keras itu berhasil
menggertak negara. Dengan begitu, negara yang semestinya istikamah di garis
khitah NKRI dan sebagai payung yang memberikan jaminan kepada semua kelompok
sesuai amanat konstitusi, akhirnya melakukan pemihakan yang tidak perlu dan
atau terkadang melakukan pembiaran.
Negara faktanya acap kali absen melihat warganya mengembangkan
politik yang nyata-nyata bertentangan dengan dasar negara, nyata-nyata
mengoperasikan kekerasan baik fisik ataupun simbolis.
Aksi massa
Maka dalam hal ini, pendapat Budi Hardiman (2016) patut menjadi
renungan barsama, bahwa kalau post-sekularisme di Barat mendapatkan sambutan
meriah, di Indonesia agama tidak perlu dirangkul kembali karena tidak pernah
pergi. Agama tidak usah dibangkitkan lagi karena tidak pernah mati, dan tak
perlu disembuhkan karena tidak mengalami uzur.
Bahkan di negeri kepulauan sering kali agama melakukan ekspansi
secara membabi buta ke ruang publik, tanpa terlebih dahulu dilakukan
komunikasi diskursif dengan melibatkan partisipasi warga dan menyimak secara
saksama aspirasi masyarakat.
Agama dalam realitasnya acap kali bertindak melampaui
kewenangannya dan mengambil alih tugas yang semestinya diperankan negara.
Peristiwa aksi 411 dan atau rencana demo besar besaran pada 2 Desember, bagi
saya melambangkan tentang sikap yang tidak lagi memercayai proses hukum di
satu sisi, dan di sisi lain keengganan mengedepankan dialog untuk
menyelesaikan hal ihwal.
Bukan sikap dewasa dan mental demokratis yang dikedepankan,
melainkan membajak ruang publik untuk memaksakan kehendak. Agama yang
semestinya menjadi rute untuk mengukuhkan jangkar kebangsaan justru ditarik
dalam pemaknaan penuh kebencian, ditafsirkan secara parsial, tak bertanggung
jawab, dan serampangan.
Mereka yang tak ikut turun ke jalan dengan mudahnya mendapatkan
stigma munafik dan kafir. Tentu harus dibedakan antara negara dan pemerintah.
Kepada negara yang didirikan the
founding fathers kita wajib merawatnya lengkap dengan falsafah yang telah
menjadi kesepakatan bersama.
Sementara pemerintah adalah mereka yang diberi mandat untuk
mengelola negara yang kita pilih melalui sistem demokrasi lima tahunan.
Pemerintah bisa silih berganti datang dan pergi, sementara negara harus terus
diperkukuh wujud eksistensialnya.
Pemerintah kalau tidak bisa 'memerintah' dan mengelola pemerintahannya
secara amatiran, maka rakyat sebagai pemilik daulat penuh demokrasi bisa
memberikan sanksi dengan tidak memilihnya kembali. Di seberang itu adalah
'bangsa' yang diimajinasikan sebagai hamparan keragaman etnik, budaya, agama,
dan bahasa yang sudah bertekad untuk bersatu atas nama nasionalisme
keindonesiaan.
Napas
Pancasila
Hadirnya Pancasila sejatinya adalah jawaban visioner dan membumi
untuk menempatkan secara proporsional posisi agama dalam ruang publik, dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila menjadi ekspresi autentik
politik-keagamaan post-islamisme. Dengan Pancasila status negara bukan lagi
negara agama, juga bukan negara sekuler.
Pancasila menjadi rute bersama atau 'jembatan emas' yang dapat
menyampaikan seluruh anak bangsa menuju terwujudnya negara yang adil dan
beradab. Atau dalam pidato Bung Karno saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia),
"Semua
untuk semua.... Kita hendak mendirikan suatu negara buat semua. Bukan buat
satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan
yang kaya, tetapi semua untuk semua." Di
hadapan Pancasila, semua agama dan keyakinan mendapat perlakuan sama,
kemanusiaan harus dimuliakan, persatuan dijunjung tinggi, musyawarah mufakat
dikedepankan, dan tentu keadilan sosial semestinya menjadi lokus utama yang
mendapatkan perhatian terutama dari pemerintah(an) yang tengah berkuasa.
Pancasila tidak memberikan ruang bagi berkembangnya wabah
fanatisme, radikalisme, serta sikap beragama dan berpolitik yang puritan dan
monolitik. Pancasila sebagai sumber etik yang menjadi pedoman dasar seluruh
warga negara. Etika itu digali dari semua agama yang hidup di Nusantara dan
atau dari kearifan perenial yang tumbuh subur sepanjang garis khatulistiwa yang
diwariskan secara turun-temurun dari leluhur kita.
Atau meminjam istilah Jean-Jacques Rosseau dalam On Social Contract, telah memenuhi
syarat sebagai semacam 'agama sipil', civil religion (kebenaran yang lahir
dari rahim ijma' masyarakat) sebagai lawan institutional religion yang datang
dari wahyu Tuhan melalui jalur para nabi.
Pancasila seperti itulah yang ditahbiskan Bung Karno sebagai philosophschegrondslag, fundamen
falsafah, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung 'Indonesia
merdeka yang kekal dan abadi'. Indonesia yang beragam suku, agama, dan
budaya. Siapa pun yang menista fakta keragaman ini, negara harus menindak
tegas sebelum membesar dan merontokkan sendi-sendi kebangsaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar