Keragaman
Hayati, Ekowisata,
dan
Ekonomi Kreatif Papua
Suhardi Suryadi ; Kepala
Program Studi Komunikasi Massa,
Akademi Televisi Indonesia (ATVI)
Jakarta
|
KOMPAS, 29 November
2016
Topik di atas menjadi bahasan dalam konferensi internasional
pada 7-10 September 2016 di Jayapura yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Provinsi Papua. Ada beberapa isu penting yang dibahas selama konferensi,
yaitu ekologi dan jasa ekosistem,potensi dan distribusi keragaman hayati
wilayah daratan dan laut-pesisir, serta peranan keragaman hayati dan
ekowisata dalam mitigasi/adaptasi perubahan iklim.
Konferensi ini memiliki arti penting dalam kerangka pembangunan
wilayah Papua di mana melalui pengembangan ekowisata diharapkan dapat
mendongkrak dan mempercepat kegiatan ekonomi kreatif bagi kesejahteraan
warganya.
Pemerintah tampaknya menyadari bahwa keragaman ekosistem yang
relatif masih utuh dan kuatnya kebudayaan masyarakat merupakan kekayaan yang
perlu dikembangkan bagi industri ekowisata. Sebagai provinsi yang tidak saja
terluas wilayahnya, Papua dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa.
Keragaman hayati Indonesia separuh di antaranya berada di ”Bumi
Cenderawasih”. Misalnya saja, ada sekitar 20.000 jenis tanaman, 125 jenis
mamalia, 602 burung dan sebagian besar bersifat endemik (Ekologi Papua,
2013).
Meretas
ketertinggalan
Kemauan politik Pemerintah Provinsi Papua membangun basis
ekonomi daerah melalui ekowisata sangatlah menarik karena berlawanan dengan
arus utama pembangunan di sejumlah daerah yang cenderung bersifat
eksploitatif atas sumber daya alam dan merusak lingkungan. Pendekatan
pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi dalam realitasnya justru
semakin memperluas kesenjangan pendapatan dan kemiskinan.
Di Papua sendiri, dengan kebijakan pembangunan yang selama ini
bertumpu pada industri ekstraktif (tambang, minyak, serta gas dan kayu),
ternyata menimbulkan tingkat kesenjangannya yang tinggi. Gini rasionya
mencapai 0,43 dan tingkat kemiskinan penduduknya sebesar 22,09 persen dan
tertinggi di Indonesian(BPS, 2015).Dengan arah kebijakan yang berorientasi
pada pengembangan ekowisata ini, Pemerintah Provinsi Papua berupaya menjadi
ujung tombak dalam meretas ketertinggalannya dan sekaligus merespons tuntutan
akan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Tiga aspek penting dalam pembangunan sosial-ekonomi jangka
panjang yang seimbang adalah pertama, pertumbuhan berkelanjutan secara
ekonomi atau pertumbuhan yang berhubungan dengan barang dan pasar modal,
serta investasi, keuangan, dan tenaga kerja.
Kedua, pertumbuhan yang berkelanjutan secara sosial, atau
pertumbuhan yang berhubungan dengan keadilan, di mana distribusi pendapatan
diterima secara merata dan partisipasi yang tepat dari warga dalam pelayanan
publik dasar. Ketiga, pertumbuhan lingkungan yang berkelanjutan atau
pertumbuhan yang berhubungan dengan upaya menjaga keselarasan atau
keseimbangan yang kuat antara aktivitas ekonomi dan alam (Grzegorz W Kolodko,
2013).
Ekowisata telah cenderung dan berkembang serta tumbuh di dunia
kepariwisataan sejak 1990-an seiring adanya perubahan nilai masyarakat
global, regional, dan nasional untuk mencintai dan melindungi lingkungan.
Karena itu, minat masyarakat berwisata ke obyek yang masih alami semakin
besar.
Minat inilah yang merupakan faktor pendorong dari berkembangnya
pariwisata yang berorientasi pada konservasi lingkungan alam. Studi
TripAdvisor tahun 2012 menunjukkan, 30 persen dari wisatawan menginginkan
lokasi yang ramah lingkungan dan Kosta Rika menjadi pilihan utama.
Ketika mulai dikembangkan tahun 1990-an, jumlah wisatawan naik
hingga tujuh kali lipat dan setiap pengunjungnya membelanjakan rata-rata 944
dollar AS dibanding ke Perancis yang hanya 645 dollar AS.
Di Indonesia sendiri, potensi ekowisata cukup besar dan salah
satu yang telah berkembang adalah Taman Nasional Komodo dengan obyek lintas
alam (tracking) dan bird watching, fauna komodo yang merupakan binatang
purba, serta snorkeling dan menyelam (diving) yang menjadi favorit wisatawan.
Jumlah pengunjung per tahun sebanyak 90.000 wisatawan dan 93
persen adalah wisatawan asing. Sumbangan pada devisa negara dalam bentuk
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 19,3 miliar pada tahun 2015.
Saat ini, Taman Nasional Komodo merupakan salah satu andalan ekowisata di
Indonesia, di samping Carstensz Pyramids atau puncak dari Pegunungan
Jayawijaya.
Tantangan
Inisiatif Pemerintah Provinsi Papua yang berorientasi pada
sektor ekowisata dan ekonomi kreatif dalam pembangunan ekonomi sesungguhnya
tidaklah mudah. Tantangan utama adalah Papua terletak jauh dari Bali dan
Jakarta, kemudian kondisi geografis yang sulit dan keterbatasan infrastruktur
yang menunjang kemudahan aksesibilitas. Akibatnya, biaya wisata ke Papua
tergolong mahal.
Hambatan lainnya adalah ketersediaan sumber daya masyarakat yang
memiliki keterampilan manajerial.Mengingat masyarakat adalah komponen penentu
yang berperan memberi pelayanan langsung kepada wisatawan. Termasuk
menyiapkan kemampuan masyarakat sebagai penyedia jasa akomodasi, kuliner, dan
industri kerajinan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tercipta dari
perkembangan ekowisata berdampak bagi kemakmuran warga lokal.
Sekalipun demikian, angka kunjungan wisatawan tetap meningkat 50
persen pada tahun 2015 menjadi sekitar 150.000 dan 90 persen di antaranya
warga asing. Peningkatan angka wisatawan asing ini karena kunjungan
perjalanannya lebih dilatarbelakangi oleh kesadaran akan keanekaragaman
ekologi, mempromosikan budaya, dan menghargai ekosistem penting yang terancam
punah di Papua. Biaya mahal dan pelayanan yang kurang, meski menjadi masalah,
tidak menghalangi minat wisatawan asing untuk berkunjung.
Menurut Organisasi Pariwisata Dunia PBB, pada 2015 ekowisata
telah tumbuh hingga 25 persen dari pasar wisata dunia dengan nilai 473 miliar
dollar AS. Rencana Pemerintah Provinsi Papua membangun ekowisata tidak lepas
dari besarnya peluang ekonomi dari sektor tersebut.
Namun, tentu saja untuk mewujudkan rencana ini, mutlak
membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat dan semua pihak terkait. Jika
tidak, kegagalannya bukan hanya merugikan warga Papua, melainkan juga akan
berdampak secara sosial-politik dan lingkungan bagi masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar