Penyebaran
Berita Bohong dan Pilkada Serentak
Irine Yusiana Roba Putri ; Anggota
Komisi I DPR RI
|
MEDIA INDONESIA,
26 November 2016
KEMENANGAN Donald John Trump dalam pemilu di Amerika Serikat
yang membawanya menjadi presiden ke-45 negara adikuasa tersebut pada 8
November lalu ternyata meninggalkan sejumput kisah menarik. Tidak hanya
sikapnya yang kontroversial selama masa kampanye, tapi juga di balik
kemenangannya atas Hillary Rodham Clinton ada peran besar media sosial. Ada
beragam analisis mengapa Trump bisa menang. Faktornya banyak dan kompleks,
tak satu pun penjelasan yang bisa menguraikannya secara akurat 100%. Beberapa
pihak menilai salah satu yang ikut memengaruhi kemenangan itu ialah
merebaknya kabar bohong di Facebook yang menguntungkan Trump.
Facebook, di samping segala kegunaannya, telah menjadi saluran
utama dalam penyebaran informasi bohong. Joshua Benton, Direktur Nieman
Journalism Lab di Universitas Harvard, mencontohkan sebuah kasus yang terjadi
di Negara Bagian Louisiana, tempat ia berasal.
Dalam artikelnya di laman Nieman Lab, ia menulis, selama 48 jam
sebelum hari pemilihan, seorang wali kota di Louisiana membagikan di halaman
Facebook-nya kabar seperti ini, 'Paus Fransiskus Mendukung Donald Trump',
'Hillary Clinton Menyerukan Perang Saudara jika Trump Terpilih', 'Agen FBI
yang Diduga Membocorkan Korupsi Hillary Ditemukan Meninggal', dan lain-lain.
Berita 'dukungan' Paus kepada Trump itu dibagikan 868 ribu kali.
Tapi berita yang menyatakan itu bohong hanya dibagikan 33 ribu kali. Tidak
salah kalau akhirnya Trump dalam acara 60 menit di stasiun televisi CBS dan
dikutip Theverge.com menegaskan, “The
fact that I have such power in terms of numbers with Facebook, Twitter,
Instagram, etc. I think it helped me win all of these races where they’re
spending much more money than I spent.”
Contoh lain tentang sebaran berita bohong ditunjukkan sebuah
penelitian di awal 2016 tentang sebaran informasi mengenai virus Zika. Studi
terhadap 200 berita paling populer yang dibagikan di Facebook menunjukkan 12%
dari jumlah itu memuat informasi menyesatkan. Meski jumlahnya cuma 12%,
jangkauan berita itu luar biasa.
Berita yang paling populer, yang mengklaim bahwa 'Zika adalah
hoax', dibagikan sebanyak 500 ribu kali. Di sisi lain, sebuah video yang
kredibel dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hanya dibagikan 43 ribu kali.
Ini contoh riil betapa, meski kadang jumlahnya sedikit, berita bohong bisa
memiliki penetrasi yang dahsyat.
Bagaimana di
Indonesia?
Sebaran hoax semacam itu tidak asing bagi kita. Berdasarkan
pengamatan penulis dan diskusi dengan sejumlah pengguna Facebook,
kecenderungan munculnya berita menyesatkan (dari yang faktanya jelas bohong
hingga pemelintiran informasi) meningkat tajam menjelang pilkada serentak
2017, terutama terkait dengan pilkada DKI Jakarta. Banjir informasi sesat
yang masuk ke ruang-ruang pribadi kita, terutama melalui ponsel pintar, tentu
berbahaya bagi demokrasi dan kualitas informasi. Apalagi jika informasi
tersebut terkait dengan SARA, jelas bisa membahayakan persatuan Indonesia.
Memang, orang bisa berdebat panjang-lebar seberapa jauh berita
bohong memengaruhi perilaku pemilih. Akademisi juga memiliki pandangan
beragam tentang pengaruh informasi terhadap sikap khalayak dan pemilih.
Namun, kita bisa secara aman menyatakan berita bohong itu memiliki pengaruh
bagi pemilih, entah bagi sedikit atau banyak pemilih, dalam derajat yang
beragam. Apalagi jika kabar itu dibagikan oleh tokoh (opinion leader), yang
lebih berpotensi memengaruhi (menggiring, memantapkan, atau mengubah) pilihan
politik warga.
Terkait dengan pilkada DKI, sebaran kabar bohong itu lebih bisa
diawasi dan ditanggapi dengan berita klarifikasi karena ada banyak sumber
daya untuk itu. Tapi, bagaimana dengan pilkada di daerah-daerah yang luput dari
perhatian media dan pengamat? Bukan tidak mungkin berita tanpa verifikasi di
Facebook menjadi sumber informasi utama tentang pilkada bagi warga di banyak
daerah.
Kita harus ingat, pilkada serentak pada 15 Februari 2017 akan
diadakan di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Di banyak daerah itu,
penetrasi Facebook jauh lebih luas dan tajam ketimbang media berita
profesional yang dimonitor Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia.
Lalu, bagaimana mengatasinya? Salah satu solusi yang sering
diajukan ialah supaya Facebook mempekerjakan fact checker (manusia, bukan
mesin) untuk menandai berita yang jelas bohong. Pada Oktober 2016, Google
meluncurkan fitur fact check seperti itu di laman Google News bagi pengguna
di Amerika Serikat dan Inggris Raya. Google mempekerjakan jurnalis yang
berkompeten untuk menandai berita bohong, bukan memblokirnya, sehingga
pengguna bisa mengetahuinya.
Banyak pihak menyambut baik inisiatif ini, meski dalam hal
platform untuk mengakses berita, Facebook jauh lebih banyak diminati warga
daripada Google News. Lalu, apakah kita hanya pasif menunggu mereka melakukan
itu di Indonesia? Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia dalam hal
pengguna Facebook, yakni 77,58 juta pengguna (data Mei 2016), setelah India,
AS, dan Brasil. Sementara itu, dalam hal pengguna internet terbanyak di
dunia, Indonesia menempati posisi ke-8, dengan jumlah 88 juta pengguna (data
Juni 2016)
Dengan posisi seperti ini, Indonesia memiliki kekuatan sebagai
pasar sangat besar yang berpotensi terus bertambah, mengingat pengguna
internet kita masih 34% dari jumlah populasi. Jika penetrasi internet kita
bisa mencapai 67% seperti di Brasil, yang menempati posisi ke-4 terbanyak
dengan 139 juta pengguna, jumlah pengguna internet Indonesia akan mengalahkan
Brasil dan membuat kita tepat di bawah Tiongkok (721 juta), India (462 juta),
dan AS (286 juta). Kita adalah pasar dan mitra yang sangat strategis bagi
Google dan Facebook. Dengan demikian, tidak berlebihan bila pemerintah
berupaya mendorong supaya Google dan Facebook memprioritaskan Indonesia untuk
fitur fact check ini. Dulu, Menkominfo Rudiantara pernah berkomunikasi dengan
pihak Vimeo terkait dengan pemblokiran Vimeo di Indonesia. Kali ini, beliau
bisa memimpin inisiatif ini untuk berkomunikasi dengan Facebook dan Google,
sekaligus mungkin mengoordinasi sumber daya pendukung lokal untuk mewujudkan
pemeriksa fakta. Ini strategis bagi internet dan demokrasi yang sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar