Kemenangan
Donald Trump dan Kelanjutannya
Wimar Witoelar ; InterMatrix
Communication
|
KOMPAS, 22 November
2016
Dunia dikejutkan oleh hasil pemilihan presiden Amerika Serikat.
Bagaimana Donald Trump bisa menang? Ia menonjolkan karakter permusuhan atas
dasar agama, etnis, asal negara, sifat-sifat yang sedang ditinggalkan di AS.
Amerika modern bersifat pluralis, menerima semua agama termasuk Islam, semua
keturunan etnis termasuk orang kulit hitam, Hispanik, dan keturunan Asia.
Hillary Clinton yang mewakili nilai-nilai masa kini diperkirakan
akan menang dengan tingkat probabilitas mutlak. Beberapa prediksi
memperkirakan Hillary akan menang hingga 98 persen. Ternyata, ia dikalahkan
mutlak dalam suara elektoral. Sungguh mengherankan.
Tetapi sekarang, keheranan itu berangsur-angsur diganti
pengertian yang kontroversial. Orang mulai menyadari bahwa di balik reformasi
sosial, sebagian besar rakyat tidak bisa meninggalkan nilai-nilai lama.
Mereka ingin kembali berkuasa dalam ethnic state yang berintikan orang kulit
putih keturunan Eropa, seperti disampaikan kelompok Alternative Right
(Alt-Right).
Ketika Trump mengumumkan pencalonannya pada tahun 2015, orang
menganggapnya lelucon. Hampir semua yakin Trump tidak mungkin bisa menjadi
presiden karena latar belakangnya tidak cocok, cara bicaranya kasar, dengan
perilaku sangat jauh dari sopan santun politik di Amerika.
Namun, Trump memikat orang yang merasa tertinggal oleh kemajuan
Amerika Serikat, yang kurang berpendidikan dan tidak punya akses kepada elite
politik. Mereka tersalurkan emosinya oleh Trump yang berseru "Let's make
America great again," mengembalikan versi mereka.
Ketidakpuasan merajalela dengan hilangnya lapangan kerja di
tambang batubara, pabrik mobil, dan pabrik baja. West Virginia, Ohio,
Michigan, dan Pennsylvania merasakan kesengsaraan walaupun di sebagian AS
maju dengan penguasaan teknologi tinggi dan globalisasi.
Sektor bisnis modern menjadi lahan subur bagi orang
berpendidikan tinggi dan imigran dari Korea, Tiongkok, dan India. Teknologi
informatika, energi baru, dan perdagangan internasional membuat orang kulit
putih merasa tersisih. Jadi, sifat Trump yang menekan kaum minoritas
membuatnya simbol perlawanan terhadap elite yang meninggalkan mereka. Mereka
merasa Amerika adalah milik mereka dan Trump berpihak kepada mereka.
Tumbuhnya keresahan tidak terdeteksi alam pemantauan jajak
pendapat. Sepanjang masa kampanye, angka jajak pendapat Hillary tidak pernah
turun di bawah Trump. Sementara keinginan untuk dibebaskan dari dominasi elite
politik semakin kuat di balik angka jajak pendapat yang lemah. Waktu pemilu,
pendukung Trump muncul dan memilih dengan semangat. Kejutan muncul ketika
Florida, North Carolina, dan Virginia dimenangi oleh Trump. Disusul
Pennsylvania, Ohio, Michigan, dan Wisconsin yang dimenangi Trump walaupun
kalah dalam jajak pendapat.
Hipotesis yang berkembang adalah bahwa Hillary sudah kalah
sebelum kampanye karena ia tidak menghayati keresahan rakyat terhadap elite
politik. Kalangan yang tidak puas ini mau menerima Trump walaupun tidak
konsisten, tidak benar, berperilaku buruk, menghina perempuan, serta
merendahkan agama Islam dan keturunan lain. Hillary keliru dengan kampanye
yang merendahkan Trump karena Trump dijagokan sebagai pahlawan rakyat.
Orang-orang
pilihan Trump
Sekarang Trump menyiapkan pemerintahannya. Satu demi satu orang
pilihannya dikumpulkan. Orang kuat Gedung Putih masa depan kelihatannya
adalah Steve Bannon, pembela ideologi Alt-Right. Orang yang pernah menyatakan
niat merombak dasar politik Amerika Serikat.
Dari hari ke hari, kita menyaksikan penyusunan staf presiden,
kabinet, dan kepala lembaga. Hasil akhirnya akan menentukan Amerika empat
tahun selanjutnya, berdampak besar pada Indonesia. Dampaknya besar bagi
seluruh dunia dengan penolakan bahaya perubahan iklim.
Namun, ucapan Trump selama kampanye belum tentu terlaksana pada
waktu memerintah. Trump terkenal inkonsisten dan tidak berpengalaman. Semua
bergantung pada orang di sekitarnya, yang akan menentukan karakter
pemerintahan Trump.
Sejauh ini, pilihan Trump mengundang kontroversi. Steve Bannon
yang disebut akan menjadi penasihat strategis utama adalah otak golongan
ekstrem kanan yang dikenal dengan Alt-Right. Mereka membakar semangat
nasionalisme kulit putih dengan kebencian terhadap etnis dan agama lain. Pada
tahap akhir kampanye, Bannon diangkat menjadi CEO kampanye Trump dan mengatur
ideologi kampanye dengan cermat.
Untuk jabatan Penasihat Keamanan, Trump memilih Jenderal (Purn)
Michael Flynn, militer sayap kanan yang pernah diberhentikan Presiden Barack
Obama. Jaksa Agung dipercayakan kepada Senator Jeff Sessions yang sangat
keras melawan persamaan hak bagi orang kulit hitam selama puluhan tahun.
Nama-nama ini memperkuat kekhawatiran orang bahwa AS akan
meninggalkan pluralisme dan kemanusiaan yang telah diperjuangkan bersama
Partai Republik dan Partai Demokrat.
Namun, ada titik terang dengan disebutnya Mitt Romney sebagai
calon menteri luar negeri. Romney, calon presiden Partai Republik tahun 2012,
tidak akan gegabah mengubah pola aliansi dan perjanjian dagang yang kini
mendukung kestabilan dunia. Romney diduga tidak akan meresahkan dunia dengan
politik imigrasi yang keras.
AS mengharapkan kekuatan warga untuk mempertahankan keragaman
dan kemanusiaan yang selama ini menjadi ciri Amerika yang dihormati dunia.
Apakah rakyat bisa menyelamatkan negara?
Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa rakyat punya kekuatan
mandiri untuk bangkit dari keterpurukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar