Artefak
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior TEMPO
|
TEMPO.CO, 26 November
2016
Pemerintah Belanda akan mengembalikan 1.500 artefak ke
Indonesia. Ini berita penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Tapi siapa
yang peduli saat ini, tatkala proses pemilihan gubernur di Jakarta begitu
panas?
Orang lebih suka membicarakan apakah kepolisian berhasil ditekan
dengan aksi demo agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditahan. Atau
berdebat apakah salat Jumat sah atau tidak jika dilakukan di jalan raya.
Apalagi adanya isu yang "ngeri-ngeri sedap", seperti makar
misalnya. Itu pasti lebih menarik dibanding membicarakan artefak. Tak perlu
survei, hanya sedikit yang tahu apa itu artefak.
Artefak adalah benda arkeologi yang dibuat oleh manusia dan dari
benda
itu jejak-jejak sejarah bisa dilacak. Artefak bisa berupa arca,
patung, keris, tombak, tulisan kuno yang ditorehkan di batu, di daun lontar,
atau mungkin sudah berupa buku. Dari sini sejarah bangsa bisa dirangkai.
Setidaknya kita bisa belajar tentang kearifan dan juga ketidakarifan di masa
lalu.
Belanda berhasil memboyong ribuan artefak dari bumi Indonesia.
Tempat penyimpanan khusus artefak itu diberi nama The Nusantara Collection,
bagian dari Delft Museum. Para arkeolog dan peminat budaya Indonesia banyak
yang datang khusus ke Delft untuk belajar tentang Indonesia. Para profesor di
Fakultas Budaya dan Sastra Universitas Udayana Denpasar acap kali
menyebutkan, kalau mau belajar tentang sejarah Nusantara, termasuk sejarah
Bali, pergilah ke Delft. Di sana ada ratusan tanpa diketahui jumlah yang
pasti lontar kuno yang memuat tentang sejarah, kesusastraan, keyakinan, dan
legenda rakyat. Keris yang dipakai raja-raja Bali saat "Perang
Puputan" juga ada di Belanda.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berencana mengembalikan 1.500
artefak itu ke Indonesia. Sebagai bukti awal, Rutte menyerahkan sebuah keris
kepada Presiden Joko Widodo dalam pertemuannya Rabu lalu. Banyak orang yang
terkejut, salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Yang sesungguhnya lebih membuat terkejut adalah alasan kenapa
Belanda mengembalikan artefak itu tanpa imbalan. Ternyata alasan biaya,
karena memelihara benda kuno seperti itu membutuhkan dana besar. Mungkin ada
alasan lain, misalnya, Belanda sudah tak memerlukan lagi menyimpan
"sejarah bangsa lain". Indonesia sudah pasti ibarat mendapat durian
runtuh. Menteri Muhadjir pun bilang ini peristiwa bagus, meski tak tahu harus
berbuat apa sebelum pergi ke Belanda melihat benda-benda itu.
Akan ditaruh di mana artefak itu nantinya? Menteri Muhadjir
hanya menyebutkan artefak akan dipilah-pilah, kalau berupa buku ditaruh di
Perpustakaan Nasional. Artinya, artefak yang berupa patung akan ditaruh di
Museum Nasional atau museum yang ada di daerah disesuaikan dengan asal
artefak. Maka artefak yang berupa lontar mungkin akan menghuni Museum Lontar
Gedong Kirtya di Singaraja, Bali.
Apakah kita siap dengan dana memelihara artefak itu jika Belanda
saja kewalahan? Artefak itu harus dirawat. Sebaiknya jika berupa buku apalagi
berbentuk lontar perlu disalin dalam format digital. Itu tahap awal dan
dilanjutkan proyek penerjemahannya. Upaya ini pernah dilakukan untuk koleksi
di Gedong Kirtya oleh sebuah lembaga swasta, tapi tak berlanjut karena
pemerintah tak punya perhatian. Kalau pemerintah tetap tak punya perhatian
terhadap urusan budaya luhur bangsa ini karena lebih banyak rupiah disedot
urusan politik maka pengembalian 1.500 artefak dari Belanda adalah bencana.
Artefak dipulangkan untuk dicampakkan dan lenyap pelan-pelan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar