Makar
Versus Makan
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 24 November
2016
Pekan-pekan belakangan ini, Presiden Joko Widodo
pontang-panting. Tak bisa blusukan kedaerah-daerah mengecek infrastruktur,
seperti kebiasaan dalam dua tahun ini. Presiden Jokowi malah blusukan ke
markas tentara, komunitas dan tokoh-tokoh agama, serta bersafari kepada
tokoh-tokoh politik. ”Akhir-akhir ini situasi politik sedikit memanas,
sedikit.... Dan, karena pontang-panting itu saya yang biasanya enggak pernah
naik kuda harus naik kuda,” kata Jokowi saat pidato di Pertemuan Tahunan Bank
Indonesia, di Jakarta, Selasa (22/11). Akhir Oktober lalu, Jokowi memang
berkuda bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Hambalang.
Jakarta, ibu kota negara ini, memang tengah memanas, sepanas
suhunya yang rata-rata di atas 30 derajat celsius. Isu, kabar burung,
agitasi, provokasi berseliweran, bahkan hingga rumor makar atau upaya
penggulingan pemerintah. Panasnya suhu politik saat ini tak lepas dari reaksi
terhadap dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, yang juga tak
lepas dari rivalitas Pilkada DKI Jakarta.
Sepekan ini, Presiden Jokowi bertemu Prabowo (bahkan untuk kedua
kali), Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Setya
Novanto (juga dua kali), Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PPP
Romahurmuziy. Bahkan, Megawati bertemu Setya Novanto juga bertemu Zulkifli
Hasan (Ketua Umum PAN).
Semuanya bicara soal bangsa dan negara yang tengah
gonjang-ganjing. Memang, akan lebih lengkap jika Presiden Jokowi bertemu
semua ketua umum parpol, misalnya Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono dan Presiden PKS Sohibul Iman, juga parpol lainnya. Jadi,
komunikasi dan konsolidasinya akan lebih bulat, tidak lonjong.
Komunikasi
meja makan
Menariknya, pertemuan Presiden Jokowi dengan pimpinan parpol itu
dilakukan dengan ”komunikasi di meja makan”. Misalnya, Prabowo dijamu santap
siang ikan bakar. Waktu Jokowi ke Hambalang, akhir Oktober, keduanya
menyantap nasi goreng. Megawati bahkan bawain bakmi rebus dan bakmi goreng
untuk Presiden. Saat Surya Paloh ke Istana, diajak sarapan bubur dan mi aceh.
Sewaktu Setya Novanto ke Istana, menu ”makan sore” tersedia opor ayam hingga
rempeyek. Begitu juga saat Romahurmuziy datang, Presiden juga menjamu makan
siang.
Meja makan menjadi medium untuk membahas dan menyelesaikan
persoalan bangsa. Komunikasi meja makan yang terlihat akrab dan santai ini
seakan menjadi penyejuk di tengah isu makar yang mendidih. ”Ada upaya-upaya,
rapat-rapat yang sudah kita pelajari dengan agenda politik lain. Di antaranya
upaya melakukan makar. Beberapa kelompok yang ingin masuk dalam DPR dan
berusaha untuk dalam tanda petik menguasai DPR,” ujar Kapolri Jenderal (Pol)
Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta, Senin (21/11). Pemerintah menegaskan,
jika terkait pengusutan kasus Ahok, proses hukum sedang berjalan.
Kalau memutar jarum waktu, setelah menang Pilpres 2014 ada rumor
bahwa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan digulingkan dalam dua tahun. November
2016 ini persis dua tahun usia pemerintahan Jokowi-Kalla. Sekadar ingatan,
dari enam presiden sebelumnya, empat presiden ”digulingkan” atau diturunkan
paksa. Soekarno diturunkan MPRS tahun 1967, pasca pidato Nawaksara-nya
ditolak. Soeharto lengser oleh gerakan massa tahun 1998. BJ Habibie turun
setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR tahun 1999. Abdurrahman
Wahid diberhentikan MPR tahun 2001. Nasib Megawati dan Susilo Bambang
Yudhoyono lebih baik karena berhenti sesuai sistem demokrasi langsung.
Rakyatlah yang memutuskan dalam arena pemilihan presiden.
Bagaimana dengan Jokowi? Sebetulnya, memasuki tahun kedua usia
pemerintahan, Jokowi berhasil membuyarkan kekuatan oposisi (Koalisi Merah
Putih) terdiri Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB. Jokowi bahkan berhasil
menarik dua partai KMP, yaitu PAN dan Golkar ke lingkaran Istana bersama
PDI-P, PKB, Hanura, Nasdem, PKPI. PPP juga sudah merapat ke Istana, terlebih
saat terjadi konflik internal. Walaupun di seberang, PKS juga pernah bertemu
Jokowi di Istana.
Jadi secara politik, penggulingan terhadap pemerintahan Jokowi
sebetulnya tak beralasan. Mungkinkah lewat gerakan massa seperti Reformasi
1998 atau people power di Filipina
tahun 1986? Ada dugaan kasus Ahok bisa menjadi semacam ”pintu masuk” atau pemicu
(trigger factor). Namun, sekarang
ini zaman demokrasi langsung. Bukan lagi era otoritarian yang marak makar.
Dan, ”makar” selalu melahirkan cerita tragis, kebrutalan, balas dendam,
pemaksaan kehendak. Sebaliknya, cerita soal ”makan” selalu menghadirkan
keakraban, kebersamaan, kesenangan. Sekarang, bangsa ini perlu bersama-sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar