Seni,
Pelunak Rasa Benci
Agus Dermawan T ; Penulis
Buku Budaya dan Seni;
Konsultan Koleksi Benda Seni
Istana Presiden
|
KOMPAS, 30 November
2016
Pada tahun 1932, RM P Sosrokartono—kakanda RA Kartini—mengatakan
kepada Bung Karno: Jangan sekali-sekali menjauhi seni. Karena seni adalah
pelunak rasa benci. Bung Karno terkesiap.
Seperti mengamini petuah Sosrokartono, Bung Karno lantas
berdekat-dekat dengan para seniman, termasuk Wolff Schoemaker, seniman
Belanda. Selain tercatat sebagai guru arsitektur di Technische Hoogescholl
Bandung (kini Institut Teknologi Bandung), Wolff adalah pelukis.
Lalu, Bung Karno pun berkata, ”Saya melawan politik Belanda,
tetapi seni menyuruh saya untuk tidak membenci orang Belanda.” Begitu juga
sebaliknya. Lewat seni, Wolff semakin dekat dengan sisik-melik bumi dan
manusia Indonesia.
Ketika Jepang datang pada 1942, Bung Karno juga menggunakan seni
untuk jalan politik. Bersama Letnan Jenderal Imamura, ia melakukan kolaborasi
membentuk lembaga kebudayaan dan kesenian, seperti Keimin Bunka Sidhoso.
Bahkan, Bung Karno mengutus Basoeki Abdullah untuk melukis Imamura di Saiko
Sisikan (kini Istana Merdeka). Walau fasisme Jepang akhirnya tak terbendung,
Imamura tetap mengingat: seni sudah pernah melunakkan kekakuan hati politik
dan menyadarkan dirinya untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya.
Peran politis seni di Indonesia tentu tak berhenti pada masa
Bung Karno saja. Lantaran pada setiap periode pemerintahan tampak selalu
(mencoba) menggunakan seni untuk memperlunak keangkuhan besi politik.
Beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan pada 1985, Fuad Hassan memanggil puluhan seniman Indonesia untuk
berbincang-bincang. Ia menanyakan apa yang sebaiknya ia perbuat sehingga bisa
tersusun program- program seni yang bisa bikin lumer kekerasan politik.
Jauh hari sebelumnya, budayawan Daoed Joesoef telah mengutarakan
pandangan yang sejalan. Ia berkata bahwa dalam abad-abad panjang sejarah
Eropa, seniman diposisikan sebagai makhluk utama di masyarakat. Bahkan
sebagai deliciae generis humani, kekasih seluruh manusia. Hasil karya seniman
sejati (yang tak terkontaminasi ideologi non-seni) akan jadi air gunung
penyiram bara politik.
Presiden Abdurrahman Wahid juga berpikiran sama. Megawati
Soekarnoputri kala jadi pemimpin negara bahkan sudah menyulap Bina Graha
(bekas kantor Presiden Soeharto) menjadi Museum Seni Istana, yang siap
diakses publik umum setiap waktu, meski museum yang diproyeksikan sebagai
”hati terdalam Istana” ini akhirnya dibongkar oleh pejabat Istana
selanjutnya. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono coba menghaluskan politik
lewat kumpulan puisi dan album lagu. Disusul Presiden Joko Widodo lewat
junjungannya pada musik rock dan metal, dari Slank sampai Metallica.
Realitas ini membuktikan, sesungguhnya di bawah mejapemerintah
tersembunyi keyakinan: pembentukan bangsa yang luhur akan kandas jika cuma
bersandar pada politik. Karena bangsa yang bermartabat tidak hanya dibentuk
dari etos Homo faber (manusia bekerja) dan Homo sapiens (manusia berpikir).
Tetapi juga harus dilengkapi etos Homo ludens (manusia bermain). Manusia yang
pandai mengolah rasa humanitas dalam lingkaran estetik, diformulasi sebagai
seni.
Seni telah mengukir keras besi jadi pamor keris, jadi lingkar
cincin pemaktub intan permata. Mengubah getas batu jadi kuil, candi, dan
arca. Generasi gaul bahkan berprinsip: seni harus mampu menempa wajah benci
jadi ”benar-benar cinta”. Sementara pemuda-pemudi tempo doeloe menganggap
seni adalah keterampilan romantik yang sanggup menjodohkan benci dengan
rindu.
Jamu nomor
satu
Adab politik yang sangar selalu dikontrol oleh ulah-ulah yang
sabar. Itu sudah dibuktikan sejak dahulu kala. Pemikir Yunani Kuno menyebut
seniman adalah makhluk yang paling menyimpan spirit patientia vincit omnia.
Artinya, manusia yang memiliki kesabaran luar biasa untuk menghasilkan karya
yang mampu menaklukkan hati. Dalam khazanah Jawa Kuno, seni diartikan sebagai
pekerjaan amat halus, lembut, rapi, menyenangkan, sebagai buah dari kerja
yang penuh kesabaran. Karena kesabaran itu luhur, seni juga luhur. Yang luhur
diam-diam mampu bertugas menjinakkan yang ngawur-ngawur.
Di Tiongkok hanya para politikus dan ahli perang yang mampu
berpraktik seni yang bisa memperoleh kedudukan puncak, bahkan jadi raja yang
tak kepalang pentingnya. Jenderal Li Shixun jadi kaisar paling dikenang pada
Dinasti Tang (618-906) tatkala ia menggagas seni aliran utara, dalam musik,
tari, sastra dan seni rupa. Huizong ternobat sebagai kaisar terhebat Dinasti
Song (960-1278) setelah mendirikan Akademi Seni Kerajaan, yang mempertemukan
aliran seni utara dan aliran seni selatan. Jenderal ini bertutur, seni akan
membuat para pembenci luluh ke dalam tinta dan terbentuk indah dalam aksara.
Pengidap penyakit amuk yang gampang murka dan intoleran akan luluh dalam
estetika gambaran.
Para seniman, dari Wang Wei sampai Su Tung Po, sangat dihormati
sebagai manusia yang ”berumah di atas angin”. Mereka dijunjung sebagai
penangkal rasa sirik bagi jiwa dan pikiran para pemangku kekuasaan di
kerajaan. Penyair Lebanon, Kahlil Gibran, juga berkali-kali mengingatkan itu.
Gubahannya mengisyaratkan bahwa seniman itu bak tukang kebun. Yang tekun
memandangi langit, mendengar nyanyian angin, membelai rumput, menyentuh
embun, mengagumi ragam kembang yang tumbuh di taman. Perilaku seniman (tukang
kebun) tentulah jauh dari unsur-unsur kebencian.
Negeri yang terlalu lama meremehkan seni berpotensi melahirkan
para pembenci. Besar kemungkinan Indonesia adalah salah satunya lantaran
selama berpuluh tahun sukses menyembunyikan penderita skizoid paranoid di
bawah tikarnya. Alhasil, begitu media sosial menyediakan diri sebagai wadah,
batu-batu kebencian dari balik tikar itu riuh berhamburan. Tak hanya rumah
politik yang ditimpuki, tetapi apa saja, termasuk suku, antargolongan, ras
dan agama. Atau, jangan-jangan seni di Indonesia sudah gagal menunaikan
tugasnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar