Kekerasan
Anak di Daerah Meningkat
Bagong Suyanto ; Dosen
FISIP Universitas Airlangga
|
REPUBLIKA, 26 November
2016
Kasus kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di kota besar,
tetapi juga di berbagai daerah. Harian Republika, 21 November 2016
melaporkan, jumlah tindak kekerasan terhadap anak di berbagai daerah
mengalami peningkatan --paling tidak jika dilihat dari jumlah kasus yang
dilaporkan.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, hingga September 2016
saja, tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan tercatat lebih dari 300
kasus, terutama kasus kekerasan fisik dan tindak pelecehan seksual yang
dilakukan terhadap anak-anak usia lima hingga enam tahun yang cenderung lebih
mendominasi.
Di Jawa Timur, jika pada 2015 hanya ada 672 kasus kekerasan anak
dan perempuan, per September 2016 saja angka kejadian yang dilaporkan
meningkat hingga mencapai 600-an kasus. Di Sukabumi, kasus kekerasan seksual
terhadap anak di bawah umur dilaporkan mencapai 27 kasus dengan korban
sebanyak 49 anak.
Di berbagai daerah lain, ditengarai indikasi yang sama juga
terjadi. Bentuk kekerasan yang dialami anak di berbagai daerah paling banyak
kasus pelecehan seksual dan kekerasan fisik, seperti penganiayaan serta
penelantaran anak.
Kasus yang muncul banyak terjadi di lingkungan keluarga dan
rumah serta sekolah. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran orang tua tentang
hak anak dan problem yang timbul dalam keluarga serta kurangnya perlindungan
anak di sekolah, menyebabkan kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak
cenderung meningkat.
Untuk mencegah dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
proses tumbuh-kembang anak, upaya telah dikembangkan pemerintah untuk
mendorong daerah lebih peduli pada pemenuhan dan perlindungan hak anak. Salah
satu program yang digalakkan adalah penetapan kota/kabupaten layak anak.
Saat ini tercatat ada 294 kabupaten/kota yang telah menginisiasi
menuju KLA (Kota Layak Anak) dan pada 2015 lalu juga, telah diberikan
penghargaan kepada 77 kabupaten/kota dengan berbagai kategori. Jika semua
kabupaten/kota mempunyai komitmen menjadi kabupaten/kota layak anak,
diharapkan Indonesia Layak Anak (Idola) akan terwujud pada 2030.
Secara konseptual, yang dimaksud dengan kota/kabupaten layak
anak atau kota yang ramah anak adalah kota/kabupaten, yang menjamin hak-hak
anak sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Menurut Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, secara garis besar hak-hak anak
sebagai warga masyarakat, antara lain, keputusan anak untuk ikut mempengaruhi
arah perkembangan daerahnya.
Anak bisa mengekspresikan pendapat mereka tentang daerah yang
mereka inginkan. Anak dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga,
komunitas, dan sosial. Anak menerima pelayanan dasar, seperti kesehatan dan
pendidikan. Anak mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap
sanitasi yang baik.
Anak terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan
salah. Anak aman berjalan di jalan. Anak dapat bertemu dan bermain dengan
temannya. Anak mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan, hidup di
lingkungan yang bebas polusi, berperan serta dalam kegiatan budaya dan
sosial, dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan
tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Guna mempercepat perwujudan kota/kabupaten layak anak, dokumen
yang harus dipersiapkan daerah adalah Rencana Aksi Daerah (RAD)
Kota/Kabupaten Layak Anak. RAD ini perlu disusun dan terus diperbarui sesuai
perkembangan masalah yang muncul, karena dibutuhkan untuk acuan bagi seluruh
stakeholder. Juga untuk menyusun serta mengembangkan program guna menjamin
terpenuhinya hak-hak anak.
Belakangan ini, sejumlah kasus kekerasan terhadap anak, dari
kasus kekerasan kepada siswa oleh guru, kasus pelecehan dan pemerkosaan anak,
ternyata masih terjadi. Anak-anak pun sebagai korban yang dilanggar haknya.
Tindak kekerasan yang dialami anak-anak di sejumlah daerah tidak
hanya dalam bentuk sexual abuse, tetapi juga tindak kekerasan fisik,
kekerasan psikologis, dan kekerasan ekonomi. Dengan melakukan upaya
penanganan yang terpadu dan terarah, diharapkan kasus penelantaran dan
pelanggaran hak anak akan dapat dikurangi atau dieliminasi.
Untuk memastikan agar hak-hak anak terpenuhi dan anak tidak
menjadi korban tindak kekerasan, bukanlah hal mudah. Meskipun pimpinan daerah
telah peduli pada hak anak dan komitmen mereka juga telah dituangkan dalam
RAD Kota/Kabupaten Layak Anak. Namun, tetap ada kesulitan daerah dalam
menjamin terpenuhinya hak-hak anak.
Pertama, karena isu pelanggaran hak anak masih dianggap isu
privat keluarga per keluarga, sehingga penanganan masalah ini hanya
diserahkan kepada masing-masing keluarga, khususnya orang tua. Kasus
pelanggaran hak anak di mata masyarakat masih dinilai sebagai urusan internal
keluarga, belum dipahami sebagai isu publik yang memungkinkan setiap warga
negara ikut berpartisipasi mencegah kasus kekerasan terhadap anak.
Kedua, karena masih ada pandangan bahwa kasus pelanggaran hak
anak akan otomatis ikut terselesaikan dengan sendirinya, jika isu
pemberdayaan perempuan telah diwujudkan dan isu kemiskinan berhasil
ditangani. Padahal, tidak jarang pelaku penganiayaan terhadap anak justru
adalah kaum ibu yang memang bertanggung jawab melaksanakan tugas domestik
pengasuhan anak.
Tidak jarang pula penganiayaan anak juga terjadi di kalangan
keluarga menengah ke atas, meski dalam sehari-hari mereka tidak direcoki
tekanan kebutuhan hidup dan kemiskinan.
Ketiga, karena isu pelanggaran hak anak umumnya masih kalah
bersaing dan dianggap sebagai isu nomor ke kesekian jika dibandingkan isu
kemiskinan, pendidikan, pengangguran, dan lain-lain. Di berbagai daerah,
tidak banyak pimpinan SKPD yang memiliki maskot program di bidang
perlindungan anak karena masalah ini biasanya dianggap hanya isu sekunder.
Tanpa keseriusan pimpinan daerah dan seluruh stakeholder
terkait, niscaya kasus kekerasan terhadap anak akan tetap meningkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar