Demokrasi
Manusia di Pilkada
Umbu TW Pariangu ; Dosen
FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT
|
JAWA POS, 21 November
2016
DALAM teori birokrasi rasional
Weberian, birokrasi tidak memandang pengguna layanan publik sebagai manusia, tetapi
sebagai kasus. Tak peduli warganya miskin-kaya, melek-buta huruf,
pejabat-rakyat biasa, semuanya sama di mata birokrasi. Padahal, tiap status
tadi jelas mencerminkan kemampuan berbeda dalam mengakses informasi dan
layanan. Ada warga miskin yang apatis dengan bantuan raskin, bukan karena
gengsi, tapi karena tak punya informasi cukup terkait layanan tersebut.
Empati dan kemanusiaan luput dijadikan pertimbangan oleh Weber agar birokrasi
bisa menunjukkan keadilannya.
Dalam politik kurang lebih
sama. Nilai sensitivitas sosial, afirmatif, kadang dicuaikan saking bakunya
prosedur. Di pilkada, rakyat digiring menuju kotak suara untuk mencoblos si
A, bukan karena kesadaran konstruktifnya, tapi karena instrumen politik yang
memerintah dia. Yang luput disadari, tiap rakyat pemilih datang dari lanskap
sosial berbeda. Ada yang punya limpahan akses informasi, ada yang minim. Ada
yang berpendidikan tinggi, ada pula berpendidikan rendah, dst. Masing-masing
tentu punya kemampuan berbeda untuk mengakses informasi soal dan atau
mempertimbangkan calon pemimpinnya.
Dipelihara
Ketimpangan tersebut sengaja
dipelihara oleh struktur kekuasaan agar calon tertentu diuntungkan. Menurut
David Reybrouck, seorang penulis kelahiran Bruges, Belgia, dalam Why Election
Are Bad for Democracy (2016), pola tersebut mungkin tidak mematikan demokrasi
seketika, namun yang jelas mengulur kematian demokrasi. Ia juga menegaskan,
pemilu (pilkada) bukan soal voting saja, tetapi juga sensibilitas sosial
terkait pentingnya akses dan partisipasi warga pemilih. Karenanya, jika ada
calon pemimpin yang mempersetankan hak prinsipil demokrasi rakyat demi kursi
kekuasaan lima tahun di pilkada, ia sama saja ikut menahan laju demokrasi.
Pilkada serentak gelombang
kedua akan dilaksanakan 15 Februari 2017, diikuti 101 daerah dari tingkat
provinsi, kabupaten, dan kota, terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18
kota. Idealnya, ini saatnya calon pemimpin dikuliti dari segi prestasi,
integritas, dan kapabilitas. Namun, tak semua masyarakat memiliki preferensi
cukup terhadap pemimpinnya. Akibatnya akan mudah sekali mereka dibodohi,
kemungkinan memilih calon si A karena dibayar uang Rp 50 ribu atau karena
polesan populis sesaatnya seperti rajin muncul dalam hajatan sosial warga
supaya dianggap rendah hati.
Berapa persen sih warga yang
melek berita, medsos, sehingga bisa mengumpulkan informasi tentang calon
pemimpinnya. Kalaupun misalnya banyak, belum jadi jaminan mereka bisa
bersikap sebagai pemilih cerdas atau kritis, sebab ”tim-tim sukses” dengan
akun palsu di medsos sudah memborong propaganda liar yang kadang terlihat sok
bela-belain ”jagoannya” dengan kata-kata tak etis, kasar. Diperparah dengan
kontestasi yang minim gagasan. Misalnya, calon pemimpin harus memaparkan
secara detail apa program yang akan ia jual ke rakyat. Apa target yang
dicapainya dalam setahun kepemimpinan dan bagaimana strategi untuk
mencapainya. Lalu, apakah rencana capaian definitif itu masuk akal, atau
sebaliknya, meminjam judul lagu MLTR, out of the blue?, dan lain sebagainya.
Persaingan politik minim
gagasan tanpa disadari mendorong calon pemimpin berpikir konatif, seperti
memobilisasi pilihan rakyat dengan embel-embel SARA. Untuk masyarakat yang
belum terbuka, pola sempit tersebut cukup ampuh menjinakkan pemilih karena
menghunjam wilayah paling sensitif. Hanya sosok atau individu kritis yang
searif mungkin memilah dan mampu membuang isu-isu sampah tersebut dari ruang
demokrasi.
Kritik perlu
Kritik dan kontrol itu sangat
berfaedah dalam demokrasi. Jika tidak, Presiden Jokowi misalnya tak perlu
rutin mengundang wartawan ke istana untuk berdiskusi banyak soal program dan
realisasi targetnya. Demokrasi itu mendengarkan! Dengar saja… toh kritik itu
cara paling praktis untuk mengontrol perubahan.
Di Purwakarta, Bupati Dedy
Mulyadi selalu menjadi sumber berita karena terobosannya. Terakhir ia baru
saja memangkas birokrasi dalam hal penyederhanaan aturan pembuatan KTP.
Sekarang warga tidak butuh surat pengantar dari RT/RW lagi untuk mengurus
KTP, tetapi langsung mengurusnya di dispenduk. Mungkin bagi sebagian
pemimpin, ini sederhana, tapi implikasinya bagi pelayanan publik sarat
faedah.
Di Kabupaten Batang, ada bupati
muda, Yoyok Sudibyo, yang dijuluki guru transparansi karena di daerahnya
selalu diadakan festival anggaran, di mana tiap dinas/instansi memaparkan
secara terbuka anggaran pembangunannya disertai realisasi, yang bisa diakses
oleh seluruh warga. Kini ia diprotes warganya, sampai-sampai mengancam
menduduki rumah jabatannya. Pasalnya, Yoyok tak mau lagi maju untuk bupati
periode kedua, sehingga rakyat marah. Selama kepemimpinannya, Yoyok bukannya
sepi dari kritik warga, apalagi ia sama sekali tak punya pengalaman
birokrasi. Namun, kritik itulah yang memecutnya untuk sensitif terhadap
kepentingan rakyat.
Rakyat harus cerdas memilih pemimpinnya.
Tak memakai emosi, apalagi pragmatis. Selama ini demokrasi lebih berbasis
”kasus” ketimbang ”manusia”. Demokrasi kita hanya menghitung barisan rakyat
yang hadir di kotak suara, tetapi gagal mendalami sisi manusianya dengan
memberikan ruang dan memaksa parpol, LSM, perguruan tinggi, tokoh agama untuk
mengadvokasi rakyat pemilih agar memilih pemimpin yang tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar