Mengerti
Kebencian
Limas Sutanto ; Psikiater
Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang
|
KOMPAS, 25 November
2016
Kebencian itu apa? Apa yang terjadi dalam pribadi yang membenci?
Mengapa membenci?
Presiden Joko Widodo pun menyampaikan keprihatinan tentang
tersebar luasnya ujaran kebencian—hujatan, ejekan, makian, dan fitnah—dalam
media sosial (Kompas, 13/11). Kebencian di sana kian bergunung-gunung karena
dalam menyikapi sebuah isu, netizen dengan pendapat yang sama mengelompok
dalam grupnya sendiri tanpa bersentuhan pandangan dengan grup lain yang
memiliki pendapat berbeda. Dalam setiap kelompok mereka, netizen
beramai-ramai menghujat kelompok lain (Kompas, 20/11).
Kebencian yang biasanya jadi tabu dan karena itu menjadi tak
tampak jelas, bahkan cenderung misterius, kini tampil telanjang, tanpa tedeng
aling-aling. Namun, membenci dapat berujung meremukkan, menghancurkan,
mematikan, memusnahkan. Maka, tatkala kebencian ingar- bingar di tengah
percakapan warga, bangsa sungguh berada di bawah bayang-bayang keremukan.
Naluri
Semula adalah naluri, instinct. Sigmund Freud (1915) menyebutkan
”naluri menghindari kematian” dan ”naluri menumbuhkembangkan kehidupan”.
Kedua insting itu, tanpa dipelajari, sungguh hadir untuk mempertahankan
hidup. Maka, ketika manusia mencintai, dia dibayang-bayangi membenci
pesaingnya dalam mencintai, yang ia fantasikan bakal merebut obyek cintanya.
Buat manusia, hadirnya cinta sekaligus adanya benci. Cinta dan
benci adalah dua hal terpisah tetapi hadir bersama-sama. Bahkan, pada
titik-titik terawal kemunculannya, kebencian justru ditujukan pada obyek yang
sedemikian dicintai karena sang obyek dicemburui bakal membiarkan si pesaing
mencintainya. Ada kemenduaan, ambivalensi, cinta di satu sisi dan benci di
sisi lain; ini adalah sebuah kebercabangan, dan bisa jadi, makin cinta
berarti kian benci.
Psikoanalis Donald Woods Winnicott (1988) membayangkan seorang
anak yang terus mencorati kertas putih di hadapannya dengan pensil. Betapa
kacaunya coret-mencoret itu, kadang melewati tepian kertas pula. Namun, di
tengah terus berlangsungnya kegiatan mencoret-coret itu, si anak bertumbuh
kembang dan pada akhirnya tangan dan jari jemarinya memadukan ujung awal dari
coretannya dengan ujung akhirnya. Ia membentuk sebuah lingkaran, yang pada
bentangan tiga dimensi mewakili sebuah globe atau buana.
Lingkaran ataupun buana itu seperti mewakili sebuah keberadaan
dengan membran pembatas yang mengelilingi seluruh dirinya. Dan, sekarang,
setelah diri menjadi berselaput pembatas, lantas ada ”yang di dalam” dan
”yang di luar”, sebuah ”aku” dan suatu ”bukan-aku”, ada ”aku” dan terdapat
pula ”liyan”.
Dalam aku terdapat naluri-naluri itu, yang sebagian besar adalah
agresif dan seksual, yang bermaksud menyelamatkan diri aku. Kalau perlu dengan
merusak dan membenci apa pun. Namun, tatkala aku telah bersanding dengan
liyan, ketika ada aku dan terdapat pula liyan, aku mulai tergelitik
bertanggung jawab atas insting agresif dan seksualnya yang menggairahkan,
tetapi meremukkan dan penuh kebencian.
Dalam naungan tanggung jawab yang bertumbuh kembang ini, dalam
”aku” merebak pula rasa bersalah, keadaan depresif yang sehat, yang
mendorongnya untuk menghayati betapa ”liyan” jadi korban keganasan
naluri-nalurinya. Kini kehidupan ”aku” mampu mengintegrasikan atau
menyatupadukan cinta-dan-benci (bukan memenduakan, tidak mengambivalenkan).
Ambivalensi diganti integrasi. Yang ada bukanlah cinta atau
benci, melainkan cinta-dan-benci. Kebencian tidak lagi liar sendirian, tetapi
dijinakkan oleh cinta. Barangkali inilah titik-titik awal sekaligus
butir-butir mendasar dari tenggang rasa, toleransi. Dan, toleransi itu
menerjalinkan ”aku” (diriku sendiri) dan ”liyan” (diri lain yang berbeda dari
diriku sendiri).
Psikoanalis Jessica Benjamin melihat betapa pribadi manusia
hanya bisa bertumbuh dengan baik jika ia diperlakukan orang- orang lain
sebagai subyek (yang memiliki kemandirian). Namun, mengalami diri sendiri
sebagai subjek hanya dimungkinkan jika diri sendiri itu melihat dan mengalami
orang-orang lain sebagai subyek juga. Sebab, hanya orang lain yang adalah
subyek pulalah yang dapat memberikan pengalaman bagi diri sendiri sebagai
subyek. Penghayatan diri sebagai subyek tidak pernah dapat dilepaskan dari
mengalami, mengakui, dan memperlakukan orang lain sebagai subyek pula.
Siapakah liyan itu? Ia adalah orang lain atau pihak lain yang
pada suatu saat bisa menuruti apa yang diinginkan aku, tetapi bisa pula pada
waktu yang lain sama sekali tidak mengiyakan apa yang dimaui oleh aku. Maka,
hubungan subyek-dan-subyek itu pun meniscayakan tenggang rasa. Hubungan
intersubyek itu integral dengan toleransi.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di bagian awal, kebencian tidak
bisa dilarang untuk ada, tetapi bisa diupayakan untuk tidak jadi liar dalam
agresi dan destruksi yang meluluhlantakkan hidup. Kebencian perlu
berintegrasi dengan kecintaan sehingga manusia tidak digelantungi kemenduaan
cinta dan benci. Benci terhadap mereka yang berbeda dari diri sendiri, benci
terhadap mereka yang tidak mau mengikuti keinginan diri sendiri, barangkali
memang manusiawi belaka. Namun, ketika diri sendiri perlu bertumbuh kembang,
ia tidak bisa lagi mengingkari bahwa ia adalah subyek yang memerlukan liyan
yang juga subyek. Pengakuan, penghayatan, dan pemerlakuan liyan sebagai subyek
itulah yang melahirkan dan menumbuhkembangkan toleransi aku dan liyan.
Mendengar dan
berbagi
Dalam tenggang rasa itu kebencian tidak musnah, tetapi
dijinakkan dalam cinta. Kebencian tidak lagi liar sendirian, tetapi diresapi
kecintaan. Agresi tidak lagi menghancurkan, tetapi terwujud dalam ketegasan
dan gigihnya perundingan, yang melahirkan nilai-nilai baru, yaitu
mendengarkan dan berbagi.
Barangkali inilah ”keanekaragaman, keberbedaan, bahkan
kebertentangan, tetapi yang menyatu padu”. Liyan tidak pernah bisa dan tak
akan boleh diperlakukan sebagai obyek atau sasaran, karena, sebagaimana diri
sendiri atau aku, setiap liyan adalah subyek yang berkemandirian.
Ada kalanya manusia sebegitu agresif, menyerang, ingin
memusnahkan liyan dan segala yang ada di luar dirinya. Mungkin inilah keadaan
kejiwaan yang oleh psikoanalis Melanie Klein (1932, 1934) disebut sebagai
posisi skizoid paranoid. Namun, wajarnya, sang manusia pun mampu bergeser ke
posisi lain, yang disebut posisi depresif. Dalam keadaan kejiwaan terakhir
itu, manusia menghayati rasa bersalah, ia mawas diri, dan karenanya jadi
bertanggung jawab dalam menggunakan kendara agresifnya.
Tanggung jawab itu memberinya pengertian bahwa agresi tidak
boleh meremukkan, merusakkan, atau memusnahkan. Agresi boleh ada dalam
ketegasan nir-kekerasan dan kegigihan berunding, yang kemudian justru
meningkatkan kemampuan untuk mendengarkan dan berbagi. Sayang sekali, kedua
nilai inilah (mendengarkan dengan saksama dan berbagi di antara sesama
manusia) yang tidak bertumbuh di antara kelompok berpandangan diametral dalam
media sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar