Saatnya
Revolusi Mental di Kejaksaan
Emerson Yuntho ; Anggota
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
JAWA POS, 21 November
2016
PADA 20 November 2016, genap dua tahun M. Prasetyo menjabat
jaksa agung. Meski banyak pihak yang meragukan kredibilitasnya, tidak sedikit
pula yang berharap Kejaksaan Agung (Kejagung) di bawah pimpinan Prasetyo
dapat menjadi institusi tepercaya dan diandalkan dalam upaya penegakan hukum
di negeri ini.
Wajar saja kita punya harapan besar terhadap korps kejaksaan
karena lembaga itu merupakan salah satu ujung tombak pemerintah bagi upaya
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kinerja kejaksaan yang baik tentu akan memberikan kontribusi
bagi peningkatan citra, bukan hanya kejaksaan, tapi juga pemerintahan Jokowi.
Begitu juga sebaliknya. Ketika kinerja kejaksaan mulai menurun,
atau bahkan tersandung karena masalah mafia hukum, citra kejaksaan (termasuk
pemerintahan) juga akan menurun di mata publik.
Sayang, hampir dua tahun terakhir, publik menilai kinerja
Kejagung di bawah Prasetyo masih jauh dari harapan, belum memuaskan, dan
citranya belum cukup positif.
Pada upaya penegakan hukum, institusi kejaksaan juga dinilai
belum mandiri dari pihak luar dan kompetensi maupun profesionalitas jaksanya
belum sepenuhnya baik.
Dalam penanganan kasus korupsi, misalnya, meski secara kuantitas
jumlah kasus korupsi yang ditangani kejaksaan cukup banyak, secara kualitas
hanya sedikit kasus korupsi kakap yang berhasil dituntaskan hingga tahap
penuntutan.
Upaya pemiskinan terhadap koruptor melalui Undang-Undang
Pencucian Uang masih sangat minim dan operasi tangkap tangan (OTT) yang
dilakukan kejaksaan jarang terdengar.
Tuntutan jaksa terhadap pelaku korupsi secara rata-rata juga
masih tergolong rendah. Dalam catatan ICW, rata-rata tuntutan pidana yang
dikenakan kepada terdakwa korupsi sepanjang dua tahun terakhir hanya 3 tahun
4 bulan.
Latar belakang Prasetyo sebagai politikus sejak awal menimbulkan
kekhawatiran mengenai independensi institusi kejaksaan. Kejaksaan rawan
intervensi politik atau tersandera kepentingan politik dalam proses penegakan
hukumnya.
Meskipun sulit dibuktikan, dugaan intervensi politik muncul
dalam sejumlah penghentian kasus korupsi yang ditangani kejaksaan. Misalnya
saja proses penyelidikan kasus korupsi ”Papa Minta Saham” yang melibatkan
Setya Novanto, mantan ketua DPR, yang dikabarkan telah dihentikan di
kejaksaan.
Dua tahun terakhir juga diwarnai banyak penghentian kasus
korupsi kelas kakap di kejaksaan. Berdasar pantauan ICW, ada total 33 kasus
korupsi dengan 58 tersangka yang dihentikan penyidikannya selama Prasetyo
menjabat jaksa agung.
Bukan hanya proses penyidikan yang tidak memuaskan. Upaya
pengembalian kerugian keuangan negara dari hasil korupsi (uang pengganti)
yang seharusnya dapat dieksekusi kejaksaan juga sarat masalah.
Dalam audit BPK 2016 atas keuangan kejaksaan ditemukan adanya
piutang uang pengganti kasus korupsi hingga Rp 15 triliun.
Di luar persoalan masih banyaknya koruptor yang belum bisa
ditangkap, kritik terhadap kejaksaan juga muncul dalam kaitannya dengan
perlakuan istimewa terhadap Samadikun Hartono, terpidana kasus korupsi BLBI
yang sempat kabur ke Tiongkok.
Tindakan Jaksa Agung M. Prasetyo yang menjemput langsung
Samadikun di Bandara Halim Perdanakusuma setelah penangkapan dianggap
merendahkan martabat sebagai pejabat negara.
Kejaksaan juga dinilai sangat berkompromi terhadap Samadikun
dengan memperbolehkannya membayar uang pengganti korupsi Rp 169 miliar dengan
cara mencicil empat kali dalam empat tahun.
Dalam dua tahun terakhir, reformasi birokrasi di kejaksaan juga
berjalan di tempat. Kejaksaan tidak pernah secara terbuka menyampaikan
capaian hasil reformasi yang sudah dilakukan.
Hingga saat ini masih saja muncul keluhan atau ketidakpuasan di
internal jaksa soal perekrutan, pendidikan untuk jaksa, mutasi, promosi, dan
penunjukan pejabat struktural di kejaksaan.
Reward and punishment dianggap belum berjalan dengan baik.
Promosi jabatan di kejaksaan sering dicurigai dan dinilai tanpa tolok ukur
yang jelas.
Selama era Prasetyo, muncul sejumlah peristiwa mafia hukum yang
mencoreng citra kejaksaan. Tiga jaksa aktif ditahan KPK karena dugaan kasus
penyuapan.
Mereka adalah jaksa Fahri Nurmalo (Kejati Jawa Tengah), Devianti
Rohaini (Kejati Jawa Barat), dan Farizal (Kejati Sumatera Barat).
Di luar ketiga jaksa yang ditangkap, terdapat pula tiga jaksa
yang diduga menerima suap sebagaimana muncul dalam proses hukum yang
ditangani KPK.
Mereka antara lain Maruli Hutagalung (saat ini kepala Kejati
Jawa Timur, sebelumnya direktur penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana
Khusus Kejagung) yang pernah disebut Gatot Pujo Nugroho (mantan gubernur
Sumut) menerima uang suap Rp 500 juta.
Kepala Kejati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana
Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Tomo Sitepu juga disebut Marudut sebagai orang
yang akan menerima uang Rp 2 miliar.
Sejumlah kasus tersebut menunjukkan bahwa fungsi pengawasan
internal Kejagung berjalan kurang efektif. Dari sejumlah catatan di atas,
muncul penilaian bahwa selama dua tahun Prasetyo selaku jaksa agung gagal
dalam tiga hal.
Yaitu menjalankan mandat sebagai pemimpin Kejagung dalam upaya
memberantas korupsi, mendorong percepatan reformasi di kejaksaan, dan
menaikkan citra positif pemerintahan Jokowi di mata publik.
Mendatang, sejumlah langkah perbaikan perlu dilakukan agar
Kejagung dapat kembali menjadi lembaga yang dipercaya publik.
Pertama, proses pembinaan (rekrutmen, promosi, dan mutasi jaksa)
harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Kedua, Kejagung harus
didorong agar tidak hanya profesional, tapi juga modern.
Sistem teknologi informasi dalam reformasi kejaksaan sudah harus
digunakan untuk kepentingan penanganan kasus dan dukungan terhadap
fungsi-fungsi pembinaan.
Ketiga, diperlukan optimalisasi penanganan kasus korupsi. Kasus
yang ditangani tidak hanya unggul soal kuantitas, tapi juga kualitas. Sinergi
dengan institusi lain, termasuk KPK, sebaiknya diperkuat.
Kejaksaan juga harus muncul sebagai ”raja tega” terhadap
koruptor. Semua langkah perbaikan tersebut tentu saja akan sangat mudah
diwujudkan jika ada revolusi mental di Kejagung.
Campur tangan presiden diperlukan untuk mendorong Kejagung yang
revolusioner, mampu menjadi ujung tombak dalam agenda penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi, serta mempercepat reformasi kejaksaan dan memperbaiki
citra kejaksaan di mata publik.
Sebelum terlambat dan agar revolusi mental di Kejagung bisa
berjalan, Presiden Jokowi sudah seharusnya mengganti M. Prasetyo dengan figur
lain yang lebih kredibel dan independen sebagai jaksa agung.
Pemilihan jaksa agung sebaiknya tidak lagi didasarkan pada upaya
mengakomodasi kepentingan parpol tertentu. KPK, PPATK, Komnas HAM, dan
instansi lain penting untuk dilibatkan dalam penjaringan kandidat jaksa agung
mendatang agar terpilih figur yang berkualitas dan berintegritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar