Trump
dan Strategi Politik Luar Negeri RI
Boy Anugerah ; Staf
di Lembaga Ketahanan Nasional RI
|
MEDIA INDONESIA,
24 November 2016
VOX populi, vox Dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Begitulah
kalimat yang pas untuk menggambarkan hasil akhir pilpres AS yang digelar pada
9 November yang lalu. Hillary Clinton yang digadang-gadang banyak pengamat
politik dunia, termasuk para pengamat politik Tanah Air, akan memenangi
pilpres AS dengan mudah, justru takluk oleh pesaingnya, Donald Trump, taipan
real estat berusia 70 tahun yang miskin pengalaman politik. Hasil
penghitungan suara menunjukkan Trump memperoleh 276 suara, mengungguli
Hillary yang hanya mendapatkan 218 suara. Menyitir pepatah klasik dalam dunia
sepak bola, 'Bola itu bundar, apa pun bisa terjadi'. Hasil akhir pilpres AS
menjungkirbalikkan semua prediksi dan pada akhirnya kuasa rakyatlah yang
menjadi penentunya.
Hasil akhir pilpres AS ini menimbulkan suasana kontras di dua
tempat berbeda. Di Manhattan, New York, ribuan pendukung Trump diliputi
suasana bahagia merayakan kemenangan Trump. Di tempat inilah mereka
menyaksikan Trump yang didampingi keluarganya dan wakilnya, Mike Pence,
menyampaikan pidato kemenangan. Berbeda dengan pidato-pidato yang disampaikan
pada saat kampanye, pidato Trump jauh lebih ‘sejuk’ dengan mengajak segenap
rakyat AS meniadakan perbedaan. Suasana bahagia di markas Trump berbanding
terbalik dengan suasana di Jacob K Javits Convention Center, tempat pendukung
Hillary berkumpul. Mereka yang sangat optimistis Hillary akan memenangi
pilpres justru berderai air mata begitu hasil akhir diumumkan.
Apa pun hasil akhir dari pilpres di 'Negeri Abang Sam' ini, kita
sebagai warga dunia pantas mengucapkan selamat kepada Trump atas
kemenangannya, juga selamat kepada rakyat AS yang telah menentukan pilihan
dan masa depan mereka. Walau bagaimanapun, AS tetaplah negara adidaya dunia.
Di tengah peningkatan pengaruh Tiongkok di seluruh penjuru dunia, AS tetaplah
yang terdepan. Mereka memiliki kapasitas dan kapabilitas militer yang paling
mumpuni, pengaruh politik yang besar, juga modalitas sosial dan budaya yang
diserap sebagian besar warga global, serta skala perdagangan terbesar di
dunia. Segala atribut yang tersemat kepada AS itu tentulah akan menjadi
sebuah keuntungan yang besar apabila bisa dikelola dengan baik oleh RI dalam
pencapaian kepentingan nasional. Lantas bagaimana sikap dan strategi
Indonesia dalam merespons kemenangan Trump?
Tak dapat dimungkiri bahwa apa yang disampaikan Trump pada saat
kampanye menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Tidak hanya di level domestik
AS, tapi juga level internasional, tak terkecuali Indonesia. Trump tanpa ragu
melontarkan kata-kata bernada islamofobia alias ketakutan yang berlebihan
terhadap umat Islam. Secara tegas, ia melarang muslim untuk memasuki AS.
Sikap Trump itu didasari maraknya aksi terorisme yang terjadi di AS, juga
negara-negara sekutu AS di Eropa. Tak syak lagi, sikap Trump itu memantik
resistensi dari negara-negara Islam, termasuk Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim.
Secara sederhana, dari sisi Indonesia, pilihan sikap Trump itu
tentunya akan menyulitkan diaspora Indonesia yang sudah atau akan tinggal di
AS. Mereka yang menetap di AS memiliki kekhawatiran akan terkena kebijakan
represif rezim Trump. Mereka yang berencana datang dan tinggal di AS juga
berpotensi menemui kesulitan, bahkan tidak tertutup kemungkinan dicurigai
sebagai teroris. Dalam lingkup yang lebih besar, agenda-agenda internasional
yang menjadi atensi utama pemerintah Indonesia seperti isu kemerdekaan Palestina
dan stabilitas politik di kawasan Timur Tengah akan menemui jalan buntu.
Kondisi itu seyogianya dilihat sebagai tantangan oleh pemerintah
Indonesia, bukan sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional. Bagaimanapun,
pencapaian kepentingan nasional dari negara lain merupakan seni yang harus
ditempuh dan dimainkan dengan lincah. Dalam konteks kemenangan Trump dengan
segala pandangan politiknya, pemerintah Indonesia, khususnya presiden RI
sebagai kepala negara, kalangan diplomat dan pelaku dunia usaha harus cerdik
memainkan strategi politik luar negeri.
Politik luar negeri bebas aktif tetap dijadikan sebagai kiblat
dengan penekanan pada diplomasi ekonomi guna menyokong pembangunan nasional.
Kecermatan pemerintah dalam menjalankan politik luar negeri tidak hanya
mendukung pencapaian kepentingan nasional, tapi juga menopang ketahanan
nasional Indonesia. Kesalahan kalkulasi politik luar negeri dalam merespons
rezim Trump dapat berdampak negatif bagi daya tahan bangsa. Atribut nasional
AS sebagai negara adidaya menjadi pokok persoalannya. Dalam relasi
antarnegara, sangat mudah bagi negara adidaya untuk memaksakan kepentingan
nasionalnya kepada negara lain yang jauh lebih kecil 'kalkulasi
kapasitasnya'.
Beberapa hal kunci yang harus digarisbawahi Indonesia dalam
merespons kemenangan Trump setidaknya ada dua. Pertama, Trump dengan segala
faktor idiosinkratik yang melekat memang memainkan peran dalam porsi yang
besar dalam merumuskan politik luar negeri AS. Meski demikian, Trump bukanlah
penentu tunggal. Trump akan berhadapan dengan birokrasi dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan luar negerinya. Sekuat apa pun seorang presiden di AS,
tak akan mulus kebijakannya apabila belum menundukkan birokrasinya.
Pertanyaannya sekarang, apakah pandangan Trump yang akan melarang
muslim masuk ke AS berjalan lancar tanpa hambatan? Belum tentu. Dialektika
politik harus ditempuh terlebih dahulu yang tentunya akan melibatkan para
birokrat di AS. Jangan pernah lupa fakta bahwa Obama pernah sangat ngotot
akan menghapus Penjara Guantanamo di Kuba. Faktanya sampai hari ini penjara
tersebut masih beroperasi dan berdiri kukuh. Birokrasi AS yang jadi
penyebabnya.
Hal kedua yang harus menjadi atensi pemerintah Indonesia ialah
darah bisnis yang melekat pada Trump. Trump ialah seorang pebinis tulen
dengan penciuman yang sangat tajam akan segala peluang. Bukti sahihnya ialah
metode kampanye yang ia pilih. Ucapan-ucapan Trump yang sarkastis dan
cenderung di luar kebiasaan bagi seseorang yang ingin menggalang dukungan
merupakan sebuah anomali politik, tetapi benar dari sisi strategi pemasaran.
Trump sungguh paham kejenuhan warga AS akan retorika-retorika mumpuni nihil
aksi. Hasil akhirnya, tampuk presiden ke-45 AS berhasil ia gondol.
Kembali ke faktor darah bisnis Trump, Indonesia dapat menarik
peluang melalui peningkatan kerja sama ekonomi yang saat ini menjadi konsen
utama diplomasi Indonesia. Porsi pengusaha dan para pelaku ekonomi lainnya
dapat diperbesar guna menyokong kepentingan nasional Indonesia. Melalui kerja
sama ekonomi yang erat dengan AS, kita berharap akan semakin banyak foreign
direct investment yang masuk, begitu juga upaya untuk merealisasikan visi
poros maritim dunia yang butuh dana tidak sedikit.
Relasi dengan sebuah negara besar, apalagi bergelar adidaya,
merupakan sebuah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Di satu sisi, kita
mengejar pencapaian kepentingan nasional. Namun, di sisi lain, harus tetap
mempertahankan jati diri bangsa, yakni berdaulat secara politik, kemandirian
ekonomi, dan kepribadian budaya. Apa pun seni yang dimainkan dalam politik
luar negeri, sudah semestinya empat konsensus bangsa, yakni Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, menjadi pedoman dan pegangan.
Pencapaian kepentingan nasional harus diletakkan secara selaras dengan upaya
untuk menjaga dan memperkukuh ketahanan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar