Beri
Empati Kesempatan
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar
Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga; Direktur Centre of Statecraft
and Citizenship Studies Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 23 November
2016
Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 telah memberikan
pelajaran moral yang sangat berharga. Ketika politik saling menyerang jadi
dominan dan politik empati hilang dalam ruang sosial-politik, maka keadaban
publik dan solidaritas tumbang. Gantinya, egosentrisme kelompok dan kebencian
berbalut rasisme bertakhta dalam singgasana kekuasaan.
Hilangnya politik empati dalam pertarungan politik seputar
pemilihan presiden di Amerika Serikat tidak saja ditandai oleh menguatnya
sentimen anti terhadap kebinekaan, tetapi juga diperkeras oleh maraknya
perbincangan publik bernada cemooh dan cibiran dari kaum terdidik mapan
terhadap para pendukung elite pengusung politik rasialis yang berlatar kaum
marjinal.
Terasing
secara sosial
Beberapa hari lalu, dalam lawatan ke AS untuk menyaksikan
pemilihan presiden AS, di Bandara Iowa City saya sempat berbincang dengan
seorang ibu berkulit putih yang bekerja menjadi cleaning service. Saya mengajukan pertanyaan kepadanya terkait
kemenangan Donald Trump dalam pilpres kali ini. Ia menjawab, ”Saat ini di
Amerika terlalu mencolok munculnya orang-orang yang sangat kaya, meninggalkan
kami yang semakin lama semakin terpuruk dalam kemiskinan.”
Sentimen kemarahan dan perasaan ditinggalkan tidak saja dialami
oleh Ibu Emma, seorang cleaning service di bandara, tetapi telah menjadi
sebuah fenomena umum saat ini. Setelah krisis sosial yang mengakibatkan 9
juta orang kehilangan pekerjaan semenjak tahun 2008 (6 persen tenaga kerja di
AS), tumbuh meluas perasaan terasing secara sosial di antara sebagian warga
kelas pekerja Amerika Serikat (Bloomberg, 2013).
Kepahitan hidup akibat proses pemiskinan sosial dan menguatnya
rasa malu akibat tak mampu bertahan dalam kondisi krisis, menurut pemuka
agama sekaligus peneliti kesehatan publik Michael Lerner, menjadi kunci
kekalahan Hillary Clinton dan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan
presiden kali ini.
Mengutip penelitiannya tentang keadaan psikologis sosial kaum
kelas menengah Amerika yang dilakukan National Institute of Mental Health,
Lerner menjelaskan bahwa kondisi stres kelas pekerja di Amerika saat krisis
sekarang diperkuat oleh rasa malu akibat tidak dapat berpartisipasi dan
terintegrasi dalam persaingan ekonomi yang ditentukan oleh standar-standar
meritokratik (kapasitas) masyarakat Amerika Serikat (The New York Times,
November 2016).
Di sisi lain, tengah terjadi kegagapan saluran politik, baik
melalui pelembagaan partai politik maupun proses kehidupan bernegara, untuk
merespons problem sosial yang mereka hadapi. Di tengah pergeseran pemaknaan
identitas kelompok pekerja sebagai tenaga produktif menjadi kaum chavz
kelompok terbuang, kalangan politisi progresif-liberal gagal mengajak kaum
pekerja berpartisipasi untuk memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi mereka
dalam agenda politik inklusif berbasis kesetaraan.
Sementara kaum konservatif kanan berhasil memperdaya mereka
dengan propaganda populis: bahwa akar dari keterpurukan nasib mereka saat ini
karena kemakmuran Amerika telah diambil dari mereka—kaum pekerja kulit
putih—oleh kaum imigran, Afro-Amerika, Asia, serta Muslim dan Timur-Tengah.
Juga oleh kelas menengah terdidik yang mengabaikan mereka di tengah gaya
hidup berkecukupan.Satu hal yang tentu tidak dikemukakan oleh kaum populis
kanan tersebut adalah sebagian besar kaum imigran tak terdidik di AS
mengalami keterpurukan sosial-ekonomi, seperti halnya yang dialami oleh
rekan-rekan mereka dari kalangan kulit putih.
Absennya
empati
Di tengah hubungan sosial yang semakin terbelah, momen politik
elektoral pemilihan presiden di Amerika Serikat diwarnai oleh politik
antagonisme budaya berbalut rasialisme yang direspons dengan suara-suara
cemooh seruan bigot, rasis, dan fanatik. Tidak saja kepada kalangan elite
politik, tetapi juga kepada pendukungnya dari kaum marjinal yang teperdaya
oleh wacana-wacana eksklusivisme budaya dan kebencian.
Perbincangan politik di Amerika Serikat saat ini memperlihatkan
absennya politik empati. Satu sikap politik yang berawal dari kesadaran bahwa
realitas terdalam di balik dukungan kuat terhadap propaganda populis berbasis
kebencian budaya adalah begitu banyaknya orang yang mengalami kepanikan dan
kemiskinan di tengah pertumbuhan lapisan orang-orang kaya yang menguasai
distribusi kemakmuran. Dari kalangan liberal terdidik, di tengah antusiasme
mereka untuk mendorong anti rasisme, mereka tidak memiliki cukup jawaban
bagaimana menyelesaikan persoalan keterpinggiran sosial ekonomi dari mereka
yang mengalami penghancuran sosial akibat krisis, mereka yang saat ini jadi
pendukung Trump.
Tiap kubu yang bertarung dalam pemilihan presiden kali ini tidak
ada yang berhasil menawarkan gagasan penyembuhan sosial (social healing) dari realitas sosial masyarakat yang semakin
terbelah. Telinga dan hati dari tiap pihak yang berseteru tidak cukup tersedia
untuk mendengarkan suara kepedihan sosial yang dialami, baik oleh kaum yang
mengalami pemiskinan sosial maupun mereka yang mengalami prasangka rasial.
Pelajaran
untuk Indonesia
Apa yang tengah dihadapi masyarakat Amerika saat ini bukanlah
hal yang asing bagi negeri kita. Setelah kita melewati Pemilihan Presiden
2014, suara-suara kebencian bersahutan satu sama lain tanpa memberi
kesempatan bagi empati tiap pihak untuk memahami satu sama lain. Seperti
halnya yang tengah terjadi di Amerika Serikat, republik kita membutuhkan
lahirnya gagasan empatik yang mampu memberikan penjelasan bagaimana mereka
yang tertinggal dalam deru pembangunan mudah terpikat oleh suara-suara
intoleransi dan anti terhadap yang berbeda.
Demikian pula, di sisi lain, hati kita juga butuh mendengar
bagaimana suara-suara dari kaum minoritas perlu didengarkan dan dirangkul
dalam kesetaraan sebagai bangsa Indonesia. Ini penting, mengingat itu semua
adalah sari pati dari kehidupan kita bernegara, yakni gotong royong! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar