Ketika
Hukum Abai Hak Anak
Reza Indragiri Amriel ; Pengurus
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
|
JAWA POS, 19 November
2016
ADA momen penting yang kerap
terlupakan setiap tanggal 20 November. Hampir dua puluh tahun lalu sebuah
treaty global berhasil diluncurkan. Sejak hari bersejarah itulah dunia
memiliki sebuah dokumen penting tentang pengakuan masyarakat internasional
akan hak-hak dasar anak. Salah satu prinsip pada Konvensi PBB tentang Hak
Anak, anak harus terbebas dari segala bentuk kekerasan, penganiayaan, dan
penelantaran. Ihwal hak anak tersebut kian relevan ketika dikaitkan dengan
sejumlah laporan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia yang terkait dengan
kekerasan terhadap anak.
Menjadi semakin serius karena
kekerasan yang dimaksud justru terindikasi dilakukan oleh otoritas hukum
sendiri. Bentuknya beragam. Misalnya, korban kanak-kanak yang
dihadap-hadapkan dengan terdakwa pelaku kejahatan seksual di ruang sidang.
Contoh lain, repetisi pemeriksaan dengan substansi yang sama oleh penyidik
kepolisian terhadap korban kanak-kanak.
Tulisan ini menyajikan secuil
gambaran tentang kompleksitas dalam penanganan kasus kejahatan dengan anak
selaku korban. Pertanyaan yang mengemuka: Seberapa jauh sistem peradilan
pidana Indonesia sungguhsungguh mampu memenuhi dan menjaga hak korban
kanak-kanak?
Perppu 1/2016 tentang Revisi
Kedua atas Undang-Undang Perlindungan Anak atau yang kerap disebut sebagai
perppu pemberatan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak telah
disetujui DPR untuk ditetapkan sebagai undangundang. Sebagian kalangan
menolak perppu tersebut dengan alasan bahwa substansi perppu sama sekali
tidak menyinggung perihal nasib korban dan pemberatan hukuman bagi predator
seksual dipandang tidak akan berefek positif terhadap korban.
Pemberatan sanksi, utamanya
kebiri kimiawi dan hukuman mati, melambungkan ekspektasi bahwa ke depan para
predator seksual akan memperoleh hukuman yang lebih berat lagi. Itu seolah
penawar atas temuan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia bahwa dalam
perkara-perkara kejahatan seksual terhadap anak, 70 persen putusan hakim
lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Juga, dari 280 putusan pengadilan dalam
kurun 2011–2015, rata-rata hukuman penjara hanya 51 bulan. Padahal, UU
23/2002 tentang Perlindungan Anak memungkinkan dikenakannya hukuman penjara
hingga 15 tahun terhadap terdakwa. Plus pemberatan, hukuman bisa naik menjadi
20 tahun.
Data itu memperlihatkan bahwa
penjatuhan hukuman semaksimal mungkin bagi pelaku kejahatan seksual tidak
hanya terkendala oleh ketersediaan teks hukum (UU). Yang lebih mendasar
adalah bagaimana sesungguhnya persepsi dan interpretasi hakim akan kejadian
kejahatan seksual dan dampak buruknya terhadap korban. Masalahnya, dalam siding-sidang
perkara kejahatan seksual, kehadiran atau partisipasi korban relatif tidak
berbeda dengan sidang kasus-kasus lain. Bahkan, UU 11/2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA) pun cenderung ”menjauhkan” anak (korban) dari
persidangan itu sendiri.
Pasal 58 ayat 1 UU tersebut,
misalnya, memungkinkan anak (korban) dibawa ke luar sidang saat pemeriksaan.
Tindakan sedemikian rupa barangkali dimaksudkan agar korban tidak mengalami
keletihan karena panjang dan peliknya sesi sidang. Juga, kiranya untuk
mencegah memburuknya kondisi psikis anak akibat trauma sekunder ketika
menyimak deskripsi ulang tentang peristiwa kejahatan yang dia alami.
Kendati tujuannya baik, di situ
persoalan bermula. Setelah anak tidak dihadirkan di sidang, selanjutnya tidak
ada keharusan bagi hakim untuk memperhatikan suara hati anak yang telah
mengalami viktimisasi seksual nan keji. Hakim oleh pasal 58 ayat 2 UU SPPA
sebatas dapat –bukan wajib– memerintahkan korban didengar keterangannya.
Padahal, keterangan itu tidak semata digunakan untuk memastikan bahwa hakim
memperoleh gambaran utuh tentang kronologi kejahatan yang dialami korban.
Yang tak kalah penting, keterangan korban dibutuhkan agar hakim benar-benar
dapat mengindra, merasakan, serta menjiwai suasana batiniah dari seorang
manusia tak berdosa yang sudah mengalami kesedihan serta penderitaan fisik,
psikis, dan sosial garagara dimangsa penjahat seksual.
Partisipasi korban
semaksimalnya dalam proses hukum juga bukan semata-mata kebutuhan penegak
hukum (dalam hal ini hakim). Riset menemukan bahwa keterlibatan korban berpengaruh
positif bagi pemulihan dirinya. Itulah yang mendorong sekian banyak negara
untuk mengadakan victim impact statement (VIS) sebagai wadah bagi korban untuk
menyuarakan segala kedukaannya kepada hakim. VIS itu berkedudukan setara
dengan kehadiran korban secara fisik di ruang sidang.
Korban, dengan demikian, perlu
dilibatkan secara maksimal dalam proses yudisial. Jeritan korban merupakan
materi esensial untuk menghadap-hadapkan, bahkan menekan, hakim secara
langsung dengan tragedi di luar batas kemanusiaan yang diderita. Ketika hakim
terpapar sedemikian rupa, terdapat kemungkinan kuat bahwa hakim pada
gilirannya akan menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku. Pada
momen itulah publik baru bisa teryakinkan bahwa walau Perppu 1/2016 ditujukan
bagi pelaku, semangat sesungguhnya adalah keberpihakan kepada korban.
Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar