Menghadang
Muslihat Spekulan
Enny Sri Hartati ; Direktur
Indef
|
MEDIA INDONESIA,
28 November 2016
ISU penarikan uang dari
perbankan secara massal (rush money)
tiba-tiba menjadi trending topic.
Padahal, isu ini hanya berawal dari viral dunia maya atau media sosial
(medsos) yang tidak jelas sumbernya. Namun, viral tersebut cepat menyebar di
tengah-tengah kehidupan nyata masyarakat. Bahkan, berbagai otoritas
pemerintah terkait juga ikut repot dan terjebak menanggapi pertanyaan media.
Beberapa media massa, termasuk media mainstream, pun terbawa arus untuk ikut
memberitakan. Padahal, lazimnya sebuah berita yang layak menjadi informasi
publik mestinya didasari suatu data dan fakta objektif di lapangan. Suatu
kabar yang tidak jelas sumbernya harusnya tidak sampai diangkat menjadi
sebuah kabar yang memiliki nilai pemberitaan.
Isu rush money dikabarkan akan
terjadi pada 25 November 2016, seiring dengan akan adanya rencana demonstrasi
besar-besaran jilid ketiga. Namun, ketika demonstrasi 25 November nyatanya
urung terjadi, kini kembali diproduksi isu bahwa rush money akan mengikuti
gerakan demonstrasi 2 Desember. Di negara demokrasi, demonstrasi sebagai
perwujudan penyampaian pendapat di muka umum ialah bagian hak konstitusional
masyarakat. Apalagi, telah terbukti demonstrasi 411 yang diikuti berjuta
orang dan berlangsung serentak di berbagai wilayah Indonesia berlangsung
damai. Artinya, sulit ditemukan suatu rasionalitas hubungan antara
demonstrasi masyarakat yang menuntut persoalan hukum dan adanya rush money.
Lebih tidak masuk akal lagi
jika rush money diisukan adanya perpindahan dana masyarakat dari perbankan
konvensional kepada perbankan syariah. Pertama, tentu tindakan tersebut bukan
tergolong rush money. Seperti halnya pilihan pemilik dana besar yang sering
bahkan tiap saat dapat memindahkan dananya berganti-ganti bank. Tindakan
tersebut tidak akan menimbulkan keguncangan dalam stabilitas sistem perbankan
nasional. Hal yang mungkin terjadi sebatas dapat menggerus keuntungan bank
yang ditinggalkan nasabahnya.
Hal yang kedua, kebijakan
arsitektur perbankan justru mendorong berkembangnya bank syariah. Selama ini
perkembangan perbankan syariah masih cukup tersendat. Kinerja bank syariah
masih relatif kalah bersaing dengan perbankan konvensional. Jika kini
masyarakat memiliki kesadaran untuk memanfaatkan bank syariah, ini justru
suatu hal yang patut diapresiasi. Pasalnya skema-skema pembiayaan bank
syariah dapat dimungkinkan untuk mengisi kekosongan skema pembiayaan yang
sulit atau tidak menguntungkan dilakukan bank konvensional. Contohnya
pembiayaan infrastruktur yang merupakan investasi jangka panjang akan lebih
menarik dilakukan dengan skema syariah.
Fenomena rush money terjadi
ketika adanya kekhawatiran dan kepanikan masyarakat akan keamanan dananya
yang disimpan di Bank. Sebagaimana rush money yang dipicu pascapenutupan
beberapa bank saat krisis moneter 1997/1998. Sementara itu, kondisi sektor
perbankan Indonesia saat ini cukup sehat dan kuat. Kesehatan perbankan telah
diawasi secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Simpanan masyarakat
di perbankan juga telah dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Kebijakan Bank Indonesia (BI)
secara konsisten senantiasa menjaga stabilitas makroprudensial. Ditambah lagi
kini, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan (PPKSK). UU PPKSK dapat menjadi landasan hukum bagi
Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS untuk menjalankan peran masing-masing
guna menjaga stabilitas sistem keuangan. Artinya, otoritas moneter dan
pemerintah juga telah memiliki instrumen deteksi dini dan langkah-langkah
penanganan krisis yang telah baku di bawah payung undang-undang. Karena itu,
tidak ada alasan bagi masyarakat untuk khawatir terhadap keamanan dananya
yang disimpan di perbankan.
Secara alamiah, sektor keuangan
memang rentan terhadap perilaku spekulasi. Para pelaku pasar dimungkinkan
mendapatkan keuntungan dengan melakukan kegiatan-kegiatan spekulasi. Berbeda
dengan kondisi pasar barang, titik keseimbangan harga baru hanya dimungkinkan
kalau terjadi perubahan yang sangat signifikan pada volume permintaan atau
penawaran. Sebagai ilustrasi, jika terjadi peningkatan permintaan cabai untuk
kebutuhan perayaan hari raya, wajar jika harga cabai menjadi meroket.
Sebaliknya jika petani berbarengan panen cabai, harga cabai langsung anjlok.
Artinya gejolak harga di pasar komoditas secara fundamental pasti disebabkan
adanya perubahan volume transaksi barang yang bersangkutan secara riil.
Namun, tidak tertutup kemungkinan itu dapat dipicu perilaku spekulan atau
mafia ketika struktur pasar tidak bersaing secara sehat.
Hal tersebut sedikit berbeda
dengan keputusan bertransaksi dan fluktuasi harga di pasar keuangan. Tentu
secara fundamental tetap dipengaruhi faktor permintaan dan penawaran. Namun,
faktor psikologis, sentimen dan spekulasi juga memiliki pengaruh yang cukup
kuat. Apalagi, sebuah transaksi keuangan dapat dimungkinkan walaupun belum
tentu terjadi transaksi secara riil. Sebagaimana yang pernah dilakukan George
Soros, ketika antarpemain dapat melakukan kongkalikong, seolah-olah terjadi
transaksi besar untuk membuat kelangkaan dari sisi pasokan. Akibatnya nilai
tukar rupiah waktu krisis moneter tiba-tiba menembus angka 17.000 per dolar.
Hal itu juga kembali terlihat di pasar keuangan seusai Donald Trump terpilih
jadi presiden Amerika Serikat. Fluktuasi nilai tukar rupiah bergejolak setiap
saat, tiba-tiba melemah dan menguat secara tidak beraturan.
Begitu pun, juga sering
terdengar kenaikan atau penurunan indeks harga saham di pasar modal. Indeks
harga saham sering tidak memiliki hubungan dengan kinerja korporasi yang
bersangkutan. Sebuah korporasi yang kinerja keuangannya bagus belum tentu
selalu mencetak indeks harga saham yang biru. Sebaliknya, saham korporasi
dapat ‘digoreng’ untuk kepentingan meraup keuntungan para pemainnya. Hal ini
menunjukkan sektor keuangan memang cukup rentan terhadap berbagai perilaku
spekulan. Di tengah kondisi perlambatan ekonomi dan meningkatnya
ketidakpastian ekonomi global, tentu para pelaku usaha memiliki tingkat
keyakinan (confident) bisnis yang
cukup rendah. Situasi ini yang dapat dimanfaatkan pemantik isu untuk
menciptakan sentimen sesuai dengan kepentingannya untuk mendapatkan
keuntungan.
Sebelumnya, pasar keuangan juga
sempat diramaikan isu gambar palu arit yang merupakan simbol organisasi
komunis pada uang kertas yang dikeluarkan Bank Indonesia. Padahal, lambang
tersebut merupakan unsur pengaman atau rectoverso
pada uang kertas rupiah, mulai pecahan Rp1.000 sampai Rp100.000. Gambar
saling isi dengan ornamen khusus tidak beraturan tersebut merupakan ornamen
lambang ‘BI’ yang merupakan singkatan dari Bank Indonesia. Pengaman uang
kertas rupiah di bawah angka nominal dan nomor seri tersebut sejauh ini mampu
menjadi unsur pengaman yang sulit dipalsukan. Namun, gambar tidak beraturan
tersebut oleh sebagian orang ditafsirkan mirip seperti ‘palu arit’. Akhirnya,
isu tersebut yang dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab untuk
menciptakan kegaduhan untuk menghantarkan isu rush money.
Ketika isu ‘palu arit’ dan
demonstrasi 25 November urung terjadi, kini penebar isu rush money kembali mengaitkan dengan rencana demo buruh 2
Desember 2016. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memang mengumumkan
akan melakukan mogok kerja nasional. Aksi tersebut dimaksudkan untuk
melakukan protes terhadap penerapan upah minimum provinsi (UMP) 2017.
Persoalannya jika benar-benar dilakukan, ancaman tersebut justru akan semakin
membuat nasib para buruh semakin menderita.
Seperti diketahui, dampak dari
perlambatan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat, banyak perusahaan
yang bangkrut atau kolaps. Di tengah angka pengangguran yang tinggi, yang
dibutuhkan semua pemangku kepentingan ialah menciptakan iklim investasi yang
kondusif. Jika investasi di sektor-sektor manufaktur kembali menggeliat, itu
akan semakin membuka lapangan kerja baru. Dengan meningkatnya penyerapan
tenaga kerja baru, dimungkinkan ada persaingan permintaan terhadap tenaga
kerja lebih proporsional. Dengan demikian, rezim upah murah baru berangsur
dapat diakhiri.
Berbagai isu yang berkembang di
masyarakat tidak terlepas dari kondisi perekonomian yang penuh
ketidakpastian. Berbagai macam propaganda menciptakan kepanikan dan
kekhawatiran tentunya diselipi tujuan-tujuan spekulatif. Masyarakat yang
khawatir dan panik tentu tidak akan berpikir rasional. Namun, Indonesia telah
mengalami sejarah kelabu ketika krisis ekonomi 1997/1998. Krisis yang bermula
dari krisis moneter berkembang menjadi krisis ekonomi dan menjalar pada
krisis politik, keamanan, dan sosial. Terjadinya kerusuhan, pembakaran, dan
penjarahan telah membuat ekonomi porak-poranda. Banyak pengusaha yang pabrik
dan tempat usahanya hancur sehingga banyak tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan. Akibatnya masyarakat luas, terutama justru masyarakat kecil yang
harus menanggung akibatnya.
Pengalaman sejarah tersebut
mestinya sudah cukup memberikan pelajaran dan hikmah bagi seluruh elemen
bangsa untuk mencegah kondisi tersebut dapat terulang lagi. Para elite
politik, pengambil kebijakan di level birokrasi, dan seluruh elemen
masyarakat tidak mudah diadu domba. Krisis ekonomi 1997/1998 telah dibayar
dengan harga yang sangat mahal. Lebih dari 10 tahun perekonomian nasional
terpuruk tidak mampu bangkit.
Kini kinerja ekonomi Indonesia
telah tersalip oleh kemajuan ekonomi beberapa negara tetangga. Seiring dengan
integrasi ekonomi di kawasan ASEAN, persaingan dengan negara tetangga telah
semakin ketat. Indonesia tidak lagi dapat mengandalkan potensi pasar yang
besar untuk menarik investasi. Karena itu, strategi yang paling mujarab
memenangi persaingan tidak lain ialah dengan persatuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar