Mungkinkah
Memakzulkan Presiden?
Arya Fernandes ; Peneliti
Departemen Politik dan Hubungan International CSIS
|
KORAN SINDO, 24 November
2016
Tak lama setelah demonstrasi 4 November 2016 lalu, muncul isu
tak sedap di panggung politik Indonesia tentang kemungkinan adanya usaha
untuk memakzulkan Presiden Jokowi.
Pemakzulan tidak hanya akan menciptakan instabilitas politik,
tetapi juga menjadi preseden buruk di kemudian hari. Pertanyaannya,
mungkinkah memakzulkan presiden? Dalam situasi normal, bila tidak ada
indikasi presiden melanggar konstitusi seperti pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela (Pasal
7A UUD 1945), manuver politik untuk melengserkan presiden sangat mustahil
dilakukan. Apalagi sekarang presiden mendapatkan dukungan penuh dari DPR
ataupun dari publik. Saat ini dukungan partai koalisi terhadap pemerintahan
Jokowi-JK mencapai 386 kursi atau setara dengan 69%.
Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan presiden sulit
dimakzulkan. Pertama, kesulitan untuk memenuhi persyaratan dukungan dan
persetujuan sidang paripurna DPR. Proses pemakzulan juga sangat panjang dan
lama, mulai sidang paripurna terhadap usul pemberhentian presiden,
pemeriksaan perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) hingga Sidang Paripurna MPR
yang dihadiri DPR dan DPD terkait impeachment presiden.
Pada tahap awal, berdasarkan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, usul pemberhentian
presiden oleh DPR ke MK harus dihadiri setidaknya 2/3 dari jumlah anggota DPR
(378 orang), dan disetujui 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir. Dengan
kekuatan mayoritas di DPR, menghadirkan sekurang- kurangnya 373 anggota DPR
sangat sulit dilakukan, apalagi bila partai koalisi Jokowi-JK yang berjumlah
386 orang memboikot pelaksanaan sidang. Persetujuan 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir seperti yang disyaratkan konstitusi juga sangat sulit diwujudkan,
kecuali ada anggota koalisi yang membelot.
Pada tahap selanjutnya, meyakinkan hakim konstitusi bahwa
presiden diduga telah melanggar konstitusi juga tidak mudah. Hingga sekarang
tidak ada alasan konstitusional untuk memakzulkan presiden. Pada tahap akhir,
sidang paripurna MPR juga sangat sulit untuk dipenuhi. Sidang tersebut harus
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota MPR (692 orang),
yaitu sekitar 519, dan disetujui oleh 2/3 dari yang hadir. Kedua, kesulitan
untuk mendapatkan dukungan publik. Saat ini tingkat dukungan terhadap Jokowi
masih tinggi dan kepuasan terhadap Jokowi masih tinggi.
Sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 lalu, tingkat kepuasan naik
dari 50,6% pada tahun pertama menjadi 66,5% pada tahun kedua. Kepuasan
terhadap pemerintah pada tahun kedua juga mengalami kenaikan pada semua
bidang, baik ekonomi, politik, hukum, dan maritim. Begitu juga dari sisi
sosio- demografi, kepuasan terhadap pemerintah merata pada segmen pemilih
dari sisi pendidikan, pendapatan, pekerjaan, usia, jenis kelamin dan Jawa
serta luar Jawa.
Dengan dukungan yang masih kuat kepada presiden, usaha untuk
melakukan pemakzulan hanya akan menciptakan instabilitas politik dan
mengganggu kinerja pemerintahan. Ketiga, komitmen militer untuk tidak
terlibat politik praktis. Saat ini militer tengah memperkuat pelembagaan
organisasi dan meningkatkan profesionalitas anggota. Tantangan geopolitik dan
keamanan di kawasan juga cukup tinggi, saya kira militer lebih memilih untuk
fokus pada pelembagaan organisasi dan peningkatan kapasitas prajurit.
Sejauh ini saya belum melihat adanya keinginan militer untuk
melakukan kudeta kepada presiden. Di internal militer, sejauh ini juga tidak
ada polarisasi di antara perwira tinggi yang dapat mendukung pelaksanaan
kudeta. Keempat, hubungan presiden dengan partai oposisi relatif baik dan
mulai harmonis. Beberapa kebijakan pemerintah di parlemen belum ada yang
mengalami deadlock. Beberapa waktu lalu, Presiden bahkan bertemu dengan Ketua
Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, baik yang dilaksanakan di Hambalang,
Bogor maupun di Istana Negara.
Wacana melengserkan presiden, saya kira menunjukkan
ketidakpercayaan dan ketidaksabaran pada mekanisme dan prosedur dalam
berdemokrasi. Sejauh presiden tidak ada indikasi melanggar konstitusi,
seperti yang disyaratkan konsti-tusi, tidak ada alasan yang dapat membenarkan
pemakzulan. Dalam sistem presidensial di mana presiden dipilih secara
langsung, untuk masa jabatan lima tahun, legitimasi presiden sangat kuat.
Presiden tidak mudah diberhentikan di tengah jalan, seperti yang terjadi pada
era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saya melihat hari ini, ada komitmen
dan konsensus bersama elite politik agar presiden dapat menyelesaikan masa
jabatannya dalam lima tahun.
Bila masih ada pihak yang menyuarakan isu pemakzulan, saya kira
itu suara sumbang. Bila pemakzulan terjadi, itu akan menjadi preseden buruk
di kemudian hari dan terlalu mahal harga yang harus dibayar. Selain
instabilitas politik di tingkat domestik, investor dari luar negeri juga akan
menarik kembali atau menunda investasinya. Apalagi, saat ini pemerintah
Indonesia tengah menggenjot investasi luar negeri.
Sulitnya mekanisme dan prosedur pemakzulan diharapkan dapat
membuat presiden bekerja dengan tenang untuk memajukan kepentingan publik.
Untuk itu, kita berharap presiden tidak perlu memiliki kekhawatiran yang
berlebihan terkait wacana pemakzulan. Apalagi kita mempunyai preseden baik,
di mana Presiden ke- 6 Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menyelesaikan masa
jabatannya selama dua periode dengan soft landing.
Soliditas partai koalisi juga penting untuk memastikan agar
presiden dapat bekerja dengan tenang. Meskipun begitu, publik dan DPR juga
mempunyai kontrol pengawasan terhadap kinerja presiden. DPR dapat menggunakan
ketiga haknya (hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat) untuk
mempertanyakan kebijakan presiden yang dianggap kurang tepat.
Sementara bila publik tidak puas terhadap kinerja presiden,
publik dapat menghukumnya dengan tidak memilih partai pendukung presiden atau
tidak memilih presiden, bila ia kembali mencalonkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar