Pancasila
Adalah Ideologi Pendidikan Kita
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
21 November 2016
MENEGASKAN Pancasila sebagai ideologi pendidikan kita jauh lebih
penting daripada sekadar menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara. Sebagai
ideologi negara, Pancasila hanya dikenal dan dikenang hanya sebagai simbol
kesejarahan yang tidak jarang terkadang bias dengan ideologi susupan yang
ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya.
Namun, jika Pancasila kita tempatkan sebagai ideologi pendidikan
anak bangsa, dari TK hingga perguruan tinggi, penguatan ideologi kebangsaan
dengan sendirinya akan lebur dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Semua itu tanpa ada lagi sekat dan pemisah yang akan menghancurkan
keragaman tradisi dan budaya Indonesia sejak azalinya memang sudah beragam.
Mengapa penting dan bagaimana cara menempatkan Pancasila sebagai
ideologi pendidikan di Indonesia?
Pertama, hasil riset Lembaga Kajian Agama dan Perdamaian (Lakip)
2011 tentang potensi radikalisme di kalangan siswa-siswa sekolah menengah di
wilayah Jabodetabek membuktikan ada 25% siswa yang meragukan Pancasila
sebagai ideologi negara.
Kedua, bukan hanya di Indonesia, gejala kekerasan dalam bentuk
radikalisme dan fasisme di dunia ini juga sedang melanda dunia, bahkan untuk
negara sekaliber AS.
Sebuah artikel menarik dari Otto Scharmer dalam The Huffington
Post (11/11) dengan judul On the Making of Trump: The Blind Spot That Created
Him mengkonfirmasi gejala kekerasan.
Dalam pandangan Otto Scharmer, terpilihnya Donald Trump, Rodrigo
Duterte, Vladimir Putin, dan Erdogan ialah gejala fasisme yang bisa
memunculkan kekerasan atas nama ideologi apa saja.
Tiga penyebab
Terpecahnya sistem perekonomian dunia dari sosialisme, kapitalisme,
hingga neoliberalisme ialah penyebab pertama kenapa setiap negara sekarang
ini rentan terhadap kekerasan dan radikalisme.
Di Indonesia terjemahan ekonomi kerakyatan tidak serta merta
membuat rakyat setuju dan sejahtera karena pemerintah dipaksa dan terpaksa
harus mengikuti arus dan gelombang sistem perekonomian dunia yang saat ini
mulai tak menentu.
Kedua, keterpecahan sistem politik, antara demokrasi dan
otoriterianisme ataupun sosialisme juga ikut memengaruhi muncul dan
merebaknya gejala kekerasan dan radikalisme di dunia.
Indonesia sendiri, secara geneologis memiliki kandungan
ideologis yang mengombinasi garis Islam (kanan), sosialis (kiri), dan
nasionalis (tengah) sejak lama, dalam implementasi politik praktisnya masih
sulit mengakomodasi ideologi politik ini secara kepartaian dalam sistem
politik kita.
Keterpecahan politik jelas rentan memicu kekerasan dan
radikalisme karena negara tak menyediakan keran dan saluran sehingga gejala
radikalisme dan terorisme seperti ladang subur yang terus tumbuh di
Indonesia.
Sementara itu, keterpecahan ketiga disebut Otto Scharmer sebagai
keterpecahan spiritual.
Spiritualitas dan kemanusiaan seolah dan sering dikalahkan
ideologi keagamaan tertentu yang dominan sehingga agama dan budaya tidak
menjadi lanskap yang saling menguatkan, tetapi saling menghancurkan.
Fenomena ini dapat kita lihat, misalnya, dalam sistem pendidikan
kita, yang seharusnya sistem pendidikan nasional kita hanya mengenal istilah
dan nama sekolah (untuk sekolah umum), dan madrasah serta pesantren (untuk
sekolah keagamaan), sekarang bermunculan istilah TKIT, SDIT, SMPIT, SMAIT
yang menambah kata Islam Terpadu di belakang kata sekolah.
Gejala kekerasan ini kemudian diikuti juga oleh sekolah-sekolah
Kristen dengan menambah kata TKK, SDK, SMPK, dan SMAK.
Mungkin bagi sebagian orang ini hal biasa, tapi buat saya ini
gejala munculnya friksi yang tidak sehat dalam sistem pendidikan kita, yang
akan berimplikasi pada sistem kehidupan sosial dan ketatanegaraan kita.
Individual dan
akademik
Setiap orang belajar melalui sebuah interaksi yang intens dengan
sesama.
Selain itu, karena kelebihannya sebagai makhluk yang berpikir,
manusia juga belajar melalui interaksi dengan lingkungan sekitar.
Hasil dari proses belajar melalui interaksi ini tentu saja
sangatlah beragam karena mencakup hampir semua domain pendidikan yang
melingkupi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Melalui serangkaian interaksi, proses belajar pada akhirnya
dapat membawa seseorang bagaimana harus bertindak dan bersikap berdasarkan
pemahaman, keterampilan, dan perasaannya. (lihat Kirsi Tirri and Elina
Kuusisto: Interaction in Educational Domains, 2013).
Pertanyaan menarik sesungguhnya datang dari efek proses
belajar-mengajar yang dapat berujung pada perilaku kekerasan.
Kekerasan yang terjadi dengan intensitas tinggi dalam setahun
terakhir ini patut diuji melalui serangkaian analisis, baik secara sosiologis
maupun pedagogis.
Secara sosial, jangan-jangan bentuk kekerasan yang terjadi di
masyarakat kita itu merupakan akumulasi dari gagalnya lembaga pendidikan kita
dalam melakukan transfer pendidikan secara damai dan berkeadilan.
Sementara itu, secara pedagogis, jangan-jangan sekolah-sekolah
kita memang tak memiliki kendali operasional resolusi konflik yang dapat
melatih seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa mengatur pola konflik di
sekolah melalui skema pembelajaran yang efektif.
Irfan Khawaja menulis sebuah artikel provokatif yang berjudul
Why They Hate Us: A Pedagogical Proposal dalam Philosophy of education in the
era of globalization (Yvonne Raley and Gerhard Preyer 2010).
Dalam analisisnya, kebanyakan orang di Amerika dan Eropa
membenci dan mengecilkan etnik Arab setidaknya disebabkan dua hal.
Pertama, ada pandangan-pandangan yang secara individual memang
dipengaruhi pola pikir dan pemahaman tentang ajaran kebencian yang muncul
dari proses pendidikan yang salah.
Kesalahan itu terletak pada pola ajar yang menafsirkan doktrin
kebenaran tunggal yang hanya dimiliki segelintir komunitas.
Pembiasaan secara individual tentang benar-salah sedari kecil
jelas berpengaruh para pola pikir dan perilaku tentang kekerasan.
Selain persoalan individual, kekerasan muncul karena secara
akademis hampir pada semua kajian bidang sosiologis, psikologis, politik,
hukum dan budaya kerap kali lebih banyak menemukan fakta miring tentang
ajaran perilaku menyimpang kelompok radikal.
Baik secara individual maupun akademis, kelompok Islam selalu
dalam posisi salah meskipun tak sedikit kesimpulan yang menyebutkan perilaku
kekerasan hanya dilakukan orang-orang tertentu yang tidak mewakili
keseluruhan wajah Islam.
Karena itu, menurut Irfan Khawaja, masalah kekerasan akan terus
ada selama dua proses yang melibatkan aspek individual seseorang maupun
kelompok terus terjadi.
Inilah saat yang sangat pas untuk melakukan pengenalan Pancasila
sebagai dasar ideologi pendidikan kita dan mulai memperkenalkan kepada para
siswa melalui medium afeksi.
Caranya ialah dengan menyisipkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila ke dalam seluruh mata ajar di sekolah.
Model semacam ini akan sangat mungkin lebih efektif karena
Pancasila pernah gagal ketika disajikan sebagai mata ajar di era Orde Baru.
Yang diperlukan saat ini melatih pemahaman guru-guru secara
benar tentang Pancasila, dengan cara meningkatkan keterampilan pedagogis
mereka dalam mengajar.
Kesalahan dalam mengenalkan Pancasila sebagai ideologi bernegara
yang tertutup telah dilakukan Orde Baru.
Karena takut dibilang tak reformis dan cenderung menghindari
kata Pancasila secara terbuka dalam muatan kurikulum, otoritas pendidikan
kita menggantinya dengan PPKN atau pendidikan kewarganegaraan.
Karena itu kita terus khawatir, sebagai ideologi yang seharusnya
terbuka dan anak kandung semua bangsa, Pancasila akhirnya seperti musuh dalam
selimut yang tak harus diajarkan secara terbuka.
Pancasila hanya sekumpulan teks yang harus dihafal para siswa
ketika upacara, tanpa tafsir yang jitu ke dalam tubuh semua mata ajar yang
ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar