Identitas
Pendidikan Kebangsaan Kita
Satia Prihatni Zein ; Konsultan
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
21 November 2016
SAYA masih ingat ketika dulu masih sekolah, perayaan Hari
Kartini masih identik dengan mengenakan baju tradisional daerah asal
masing-masing, dan melakukan pawai kecil-kecilan di sekitar sekolah.
Saat itulah para siswa dan orangtua sibuk mencari baju yang
sesuai dengan asal daerah dan sukunya.
Bagi sebagian yang tidak mau repot, cukup memakai baju kebaya
yang ditimbang mewakili baju nasional Indonesia.
Dua puluh lima tahun kemudian pada perayaan Hari Kemerdekaan
tahun lalu, anak saya mengikuti kegiatan pawai yang diadakan pihak kabupaten,
dan setiap sekolah mengirimkan kontingen yang terdiri dari siswa berpakaian
tradisional dari daerah yang ada di Indonesia, sertaberpakaian yang mewakili
profesi tertentu.
Baju-baju dari beragam suku dan/atau provinsi dikenakan para
siswa, namun mengalami modifikasi sedikit terkait penutup kepala dan baju
bagi siswi putri yang tetap mengenakan jilbabnya.
Di sini saya melihat, identitas suku dan keagamaan dapat lebur
menjadi identitas kebangsaan dengan harmonis.
Sesungguhnya negosiasi identitas seperti ini sudah berlangsung
lama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, tanpa mengancam identitas
sebagai seorang Indonesia.
Benedict Anderson, pernah mendefinisikan sebuah bangsa sebagai
imagined communities, yakni seorang warga dari bangsa tersebut tidak akan
pernah kenal dengan seluruh warga dari bangsa itu.
Namun, rasa 'kesatuan' dan persaudaraan tumbuh dalam diri setiap
warga tersebut, dan hal inilah yang membuat sebuah bangsa unik.
Bayangkan dalam sebuah Indonesia yang sangat luas dan bineka
ini, seorang anak Indonesia yang berada di Aceh, mungkin tidak pernah akan berjumpa
dengan anak Indonesia lainnya di Papua.
Namun, apa yang menyebabkan mereka tetap merasa menjadi bagian
dari Indonesia?
Itu karena imajinasi akan sebuah bangsa yang ditanamkan dan
disemai dalam ruang-ruang keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Sesungguhnya 'pertempuran' untuk merebut imajinasi akan
identitas kebangsaan sedang berlangsung setiap hari di kelas-kelas di seluruh
Indonesia.
Ketika para pemuda dan pemudi mendeklarasikan Sumpah Pemuda
1928, mereka sebenarnya tengah menyatukan imajinasi akan sebuah identitas
yang mencakup satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa.
Imajinasi inilah yang menjadi penyatu ragam identitas yang saat
itu masih terkait dengan asal daerahnya seperti Sumatra, Jawa, Celebes, dan
lain sebagainya. Seiring waktu identitas tersebut membentuk sebuah identitas
bangsa Indonesia.
Hingga saat ini imajinasi akan sebuah identitas bangsa masih
memiliki daya tarik dan berhasil menyatukan sebuah bangsa dengan keragaman
yang sangat tinggi seperti Indonesia, namun betulkah?
Menemukan
identitas
Proses pendidikan sejatinya ialah proses menemukan identitas
diri, dengan siswa mengenal siapa dirinya serta seluruh ragam potensi yang ia
miliki.
Dalam proses ini pula, identitas diri sebagai bagian dari sebuah
keluarga, sebuah komunitas, dan akhirnya sebuah bangsa menjadi semakin jelas.
Idealnya proses ini juga akan mendukung kesadaran akan hak dan
tanggung jawab siswa terhadap dirinya, keluarga, masyarakat, dan negara.
Idealnya pula dalam pembentukan identitas tersebut ragam latar
belakang dan implikasinya tidak menemui konflik dan mendorong terbentuknya
warga negara yang mendukung pengembangan budaya serta memberikan sumbangsih
yang positif melalui penanaman nilai-nilai luhur.
Diskursus mengenai apa dan bagaimana identitas bangsa Indonesia,
masih berjalan dan terus berubah seiring dengan perubahan yang dialami bangsa
ini.
Nilai-nilai yang diasosiasikan dengan identitas bangsa Indonesia
saat ini mungkin tidak selalu positif seperti yang diajukan Mochtar Lubis
dalam pidatonya, Manusia Indonesia.
Namun, sejatinya identitas dan nilai-nilai luhur sebuah bangsa
disemai sejak dini dalam proses pendidikan baik dalam keluarga, masyarakat,
maupun secara formal dalam pendidikan di sekolah, tetap menjadi bagian dari
usaha luhur memperbaiki hal itu.
Masalahnya rumusan akan identitas dan nilai-nilai keindonesiaan
tersebut belum berhasil dituangkan dalam bentuk operasional yang memberi
ruang dialog dan kontemplasi bagi guru dan siswa dalam membentuk identitas
mereka.
Selain itu, banyak sekolah belum menjadi tempat yang aman dan
ramah bagi siswa untuk membentuk identitas dirinya dan cenderung membatasi
siswa.
Juga masih banyak guru belum memberikan ruang bagi siswa
membentuk identitasnya sendiri berbasis kepada instrospeksi dan uji coba
dalam mengambil keputusan dan mengambil tanggung jawab akan keputusannya.
Inilah yang menyebabkan identitas siswa tidak pernah tumbuh
dengan tuntas sehingga kesadaran akan diri yang menjadi bagian dari keluarga,
komunitas, dan bangsa menjadi kabur.
Jika melihat kecenderungan dewasa, seolah-olah terdapat
tarik-menarik yang kuat antara identitas keagamaan dan identitas kebangsaan
misalnya, atau identitas daerah dengan identitas kebangsaan.
Dan tarik-menarik ini menentukan bagaimana keputusan akan dibuat
baik pada tingkat individu maupun tingkat komunitas.
Sentimen yang bertiup saat ini seolah-olah identitas hanyalah
tunggal dan ekslusif dan kaku.
Implikasi dari hal ini adalah semakin menguatnya identitas
dominan dan jika diiringi dominasi jumlah dan dalam sistem demokrasi akan
menjadi dominasi kekuasaan, terjadilah tirani mayoritas.
Banyak negara memiliki keragaman baik karena datangnya imigran
dari negara lain ataupun memang merupakan kesatuan dari beragam etnisitas,
konsep multikulturalisme ditawarkan untuk mengakomodasi keragaman tersebut.
Namun, dengan semakin tingginya tingkat kekerasan akhir-akhir
ini yang dilakukan keturunan kaum imigran di Eropa, banyak yang mengatakan
bahwa multikulturalisme telah gagal mengelola keragaman di Eropa.
Di Indonesia sendiri, keragaman telah menjadi realita awal sejak
bangsa ini berdiri, namun tantangan pengelolaannya memang tidak pernah surut.
Apakah konsep multikulturalisme sebagai konsep pedagogi memang
tidak lagi dapat menawarkan solusi bagi pembentukan identitas kebangsaan
Indonesia saat ini?
Konsep insurgent multiculturalism yang ditawarkan Henry Giroux
mungkin bisa menjadi rujukan, yakni pendidikan multikulturalisme tidak hanya
berhenti pada pengenalan 'puncak-puncak' tradisi dari sebuah etnik seperti
pakaian adat, rumah adat, makanan, dan lain sebagainya.
Sebuah konsep yang digunakan untuk merumuskan ruang budaya baru,
dengan ragam identitasnya tidak hanya diakui dan dihargai, namun juga
melakukan interaksi dan negosiasi.
Konsep itu juga mendorong munculnya dialog dan kesadaran yang
berbasis etika dan realita politik sehingga hubungan antara identitas dan
kekuasaan juga ditelaah sebagai realitas dari multikulturalisme.
Giroux juga menekankan bahwa untuk konsep insurgent
multiculturalism dapat diterapkan diperlukan guru yang mampu mengajak siswa
mengeksplorasi perbedaan budaya melalui narasi, sejarah dan ragam sumber daya
termasuk 'puncak-puncak' peradaban tadi.
Untuk itu, seorang guru juga perlu menyadari identitas dirinya
dan memiliki keyakinan akan keragaman sebagai sumber belajar dalam mengasah
kemampuan siswa mengenal, dan mengelola keragaman serta mengenal dirinya
dalam bagian konteks keragaman yang lebih luas.
Harapannya, ruang kelas menjadi ruang yang aman dan terbuka bagi
siswa dan guru melakukan dialog keragaman dalam rangka membantu siswa tidak
hanya belajar, tetapi juga meneguhkan identitasnya.
Sehingga imajinasi akan sebuah bangsa Indonesia dapat hidup
terus-menerus dan identitas seorang bangsa Indonesia memiliki makna mendalam
yang tidak tunggal, menemukan ekspresi dalam bingkai kebinekaan dan demokrasi
yang mapan dan stabil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar