Efek
SARA dalam Pilkada DKI Jakarta
Burhanuddin Mutahdi ; Staf
Pengajar FISIP UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif Indikator
Politik Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
21 November 2016
PENETAPAN Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai tersangka dalam
kasus penodaan agama menjadi babak baru dalam pertarungan pilkada DKI
Jakarta. Banyak pengamat yang memprediksi elektabilitas Ahok bakal
tersungkur. Bahkan ada lembaga survei yang merilis temuannya bahwa dukungan
kepada Ahok-Djarot melorot menjadi 10,6% pascapenetapan status tersangka.
Benarkah demikian?
Untuk menjawab pertanyaan krusial ini, diperlukan survei
sistematik yang memotret efek status Ahok sebagai tersangka terhadap pilihan
warga. Kita tak cukup mendasarkan diri pada <>common sense para pengamat
dan tim sukses. Sebagian komentator di media mudah sekali memberikan
'analisis' dan 'prediksi' seolah-olah elektabilitas Ahok dengan serta merta
bakal hancur.
Sebaliknya, tim sukses Ahok-Djarot dengan ringan menyatakan
bahwa penetapan status tersangka justru memicu efek melodramatik karena
menempatkan Ahok sebagai pihak yang teraniaya sehingga malah menaikkan
tingkat keterpilihannya. Kedua belah kubu sama-sama mendasarkan pada harapan
atau perasaan, bukan fakta.
Politik survei
Survei yang dilakukan dengan metodologi dan kaidah yang benar
menjadi jawaban. Pada umumnya survei-survei yang dilakukan di DKI Jakarta
menghadapi problem response rate. Sebagian besar warga yang tinggal di
kawasan elite, berpendidikan, dan berpendapatan tinggi enggan diwawancarai.
Sebagian lembaga survei mengganti mereka yang tidak bersedia diwawancarai
dengan responden yang berbeda jauh karakteristik sosial ekonominya.
Masalah non-response ini menjadi salah satu penyebab kegagalan
banyak lembaga survei pada Pilkada DKI Jakarta pada 2012. Kalangan menengah
ke atas pada saat itu cenderung memilih pasangan Jokowi-Ahok. Padahal,
representasi warga dari kalangan tersebut tidak terwakili dalam sampel.
Selain itu, etnik Tionghoa, nonmuslim, dan kelompok usia muda biasanya juga
sulit diwawancarai. Akibatnya, banyak lembaga survei yang salah prediksi!
Demikian halnya dengan Pilkada DKI Jakarta saat ini. Survei
dengan sampel yang tidak representatif sulit diharapkan dapat memotret
preferensi pemilih. Survei bukan sensus, tapi ia mengandalkan sampel yang
terbatas untuk memprediksi perilaku dan sikap sebuah populasi.
Jika <>non-response tersebut terjadi sistematik pada
kalangan strata ekonomi, etnik, kelompok usia, dan agama tertentu, survei
bisa gagal memprediksi perilaku subpopulasi.
Jika kita perhatikan, validasi sampel beberapa lembaga survei
yang dirilis ke publik menunjukkan pola yang seragam: over-representative di
kalangan pemilih dengan pendapatan dan pendidikan menengah ke bawah, berusia
separuh baya atau tua, etnik Betawi, dan beragama Islam.
Sebaliknya, sampel dari strata menengah ke atas, kaum muda,
etnik Tionghoa, dan warga nonmuslim umumnya under-representative. Sayangnya,
ketika dirilis, sebagian lembaga tidak melakukan pembobotan dengan usia,
suku, dan agama. Padahal, karakteristik demografi dan sosial ekonomi seperti
ini cenderung memiliki preferensi ke pasangan tertentu. Jika ini tidak
diantisipasi, kesalahan prediksi lembaga-lembaga survei pada Pilkada DKI
Jakarta 2012 bisa kembali terulang.
Redaksi pertanyaan (wording) juga berimplikasi serius terhadap
hasil survei. Jika wording yang digunakan tidak netral, tentu akan bias.
Sayangnya, banyak media yang tidak kritis terhadap hasil survei yang rilis.
Media lebih tertarik pada aspek pacuan elektabilitas (horse race). Beberapa
lembaga yang merilis survei hanya menampilkan hasil, tapi tidak menampilkan
wording yang digunakan. Media juga menelan mentah-mentah tanpa mempertanyakan
penggunaan instrumen surveinya.
Parahnya lagi, ada beberapa lembaga yang tidak merilis secara
lengkap metodologi dan validasi sampelnya. Jangankan <>wording, urutan
pertanyaan (order) juga menentukan hasil.
Misalnya, ada lembaga survei yang menempatkan pertanyaan
elektabilitas calon setelah sebelumnya mem-framing atau mem-probing responden
dengan informasi-informasi bias bahwa Ahok tersangka kasus penistaan agama,
tersangkut korupsi Sumber Waras, reklamasi, penggusuran, dan lain-lain.
Pada titik ini, survei berubah fungsi menjadi alat penggiring
opini. Survei politik berubah menjadi 'politik survei'. Jangan salahkan orang
jika kemudian menuding ada skenario mempermulus kandidat yang diusung dengan
menjatuhkan citra lawannya.
Efek
primordial
Dalam perilaku pemilih, preferensi pemilih dipengaruhi banyak
faktor di antaranya kepuasan terhadap kinerja petahana; kesamaan suku, agama,
dan antargolongan (SARA); dan lain-lain. Pada tingkat nasional, efek SARA
terhadap pilihan warga sangat minimal dalam pemilu legislatif ataupun
presiden (Mujani, Liddle, dan Ambardi, 2012). Hal ini terjadi karena komposisi
etnik dan agama tidak seimbang secara nasional. Pemilih muslim dan Jawa
terlalu dominan, sedangkan suku-suku lainnya tidak membentuk identitas
kolektif yang bersifat tunggal.
Lain cerita di pilkada. Di wilayah-wilayah dengan komposisi
etnik dan agama yang lebih heterogen, SARA terbukti memiliki efek elektoral
yang signifikan. Terlebih lagi di daerah yang secara sosiologis terbelah
seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, efek primordial ini terbukti
efektif dalam memengaruhi pilihan. Memang secara sosial masyarakat hidup
damai, tapi pada saat pilkada potensi SARA ini dibangkitkan oleh calon
ataupun tim sukses yang memilih jalan pintas dengan mengeksploitasi isu-isu
seperti ini demi kepentingan jangka pendek.
Di Jakarta, mayoritas pemilih beragama Islam (sekitar 85%).
Artinya, tidak mungkin calon gubernur menang tanpa mendapatkan dukungan
pemilih muslim. Namun, komposisi etnik warga Jakarta lebih heterogen. Sebagai
mayoritas, pemilih Jawa hanya mencapai 37%, disusul Betawi (28%), dan Sunda
(15%) serta puluhan etnik yang proporsinya kecil-kecil.
Pada pilkada di DKI Jakarta 2007 dan 2012, agama tidak menjadi
prediktor dalam menentukan pilihan, tapi variabel etnik selalu punya dampak
elektoral. Namun, koefisien dari efek etnik ini lebih kecil dari variabel
kinerja petahana. Seberapa positif kinerja petahana di mata publik ini selalu
konsisten dan kuat menjelaskan elektabilitas calon.
Dengan kata lain, warga Jakarta pada pilkada-pilkada sebelumnya
lebih mengedepankan basis rasional dalam menentukan pilihan. Faktor
sosial-ekonomi yang baik membuat efek SARA tak punya dampak besar pada
pilkada sebelumnya. Sensus BPS mengatakan mayoritas warga Jakarta
berpendidikan SMA ke atas (52,7%), bahkan penduduk yang mengenyam bangku
universitas mencapai 13,5%, jauh dari rata-rata nasional. Tingkat pendapatan
mereka juga juga jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain.
Namun, peta politik hari ini menunjukkan pergeseran berarti.
Dari rilis survei-survei yang kredibel, kepuasan warga Jakarta terhadap kinerja
Ahok sebagai petahana terbilang tinggi (kisaran 70%-75%) meski pada saat ia
tersangkut kasus penodaan agama sekalipun. Warga juga mengapresiasi kinerja
petahana dalam mengatasi banjir. Kinerja gubernur dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dan sarana serta prasarana lainnya juga positif. Meski masih belum
puas dalam mengatasi kemacetan, warga melihat usaha konkret pemerintah
provinsi dalam membangun sarana transportasi massal.
Namun, tingginya <>approval rating tersebut tidak
berbanding lurus dengan elektabilitas Ahok. Variabel etnik dan agama kini
jadi <>significant predictor dalam menjelaskan perilaku pemilih
Jakarta. Variabel ini bersifat independen dari faktor-faktor lainnya,
termasuk terlepas dari apakah mereka puas atau tidak puas terhadap kinerja
Ahok. Faktor primordial ini juga independen, terlepas apakah mereka
berpendidikan tinggi atau tidak. Hal ini menjadi bukti bahwa 'kepala' dan
'hati' warga terbelah. Mereka mengakui kinerja petahana baik, tapi hati
mereka sulit menerima Ahok.
Terlebih lagi, terpelesetnya Ahok dalam insiden Al-Maidah
membuat isu primordial yang sebelumnya mengendap menjadi muncul ke permukaan.
Belum lagi efek mobilisasi dan pemberitaan media yang memunculkan tekanan
kuat sehingga efek primordial yang dulu pengaruhnya kecil sekarang membesar.
Pernyataan Ahok tersebut memang secara politik dan elektoral salah, terbukti
dengan tren penurunan elektabilitasnya yang bersamaan dengan kasus Al-Maidah.
Menariknya, penurunan elektabilitas Ahok diikuti oleh
membesarnya proporsi pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided
voters). Resistensi yang kuat terhadap Ahok, sebagaimana terlihat dalam aksi
besar-besaran pada 4/11 serta penetapan Ahok sebagai tersangka, bisa membuat
sebagian yang awalnya mendukung Ahok memilih untuk menyembunyikan pilihannya.
Satu hal yang perlu dicatat, Ahok ditetapkan sebagai tersangka bukan dalam
kasus korupsi. Kasus yang melilit Ahok juga sarat kontroversi dan
interpretasi. Meski saat ini tren penurunan elektabilitas Ahok masih terjadi,
masih ada waktu bagi Ahok untuk rebound.
Dampak negatif dari polemik ini ialah isu-isu teknokratik dan
rasional tenggelam oleh riuh rendah primordialisme. Kritik konstruktif dari
akademisi dan para aktivis dalam kasus reklamasi dan penggusuran tak lagi
mendapat atensi karena orang sibuk bertengkar soal layak tidaknya Ahok
disebut sebagai penoda agama atau tidak.
Warga Jakarta kehilangan kesempatan berharga untuk menguji dan
meminta pertanggungjawaban Ahok sebagai petahana, dan menuntut tawaran
program dari pasangan Anies-Sandi dan Agus-Silvy. Kasus ini juga sudah
mengarah pada situasi yang membahayakan kebinekaan kita. Sudah saatnya kita
menggeser dari perdebatan primordial yang tak produktif ke ajang pertarungan
gagasan menjadikan Jakarta sebagai role model ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar