Demokrasi
Kerumunan
Poltak Partogi Nainggolan ; Pengamat
Politik dan Keamanan
|
TEMPO.CO, 23 November
2016
Apa yang kita bisa tarik sebagai pelajaran dalam perkembangan
demokrasi kita dari peristiwa politik yang telah berlangsung belakangan ini,
terutama demonstrasi masif di Jakarta pada 4 November dan pemilihan Presiden
Amerika Serikat pada 9 September lalu? Tentu saja mengenai kematangan dalam
berdemokrasi. Suka atau tidak suka dengan Donald Trump yang telah terpilih,
pesaingnya, Hillary Clinton, segera mengakui kekalahan dan memberi ucapan
selamat kepadanya. Namun para pendukung Hillary masih tidak percaya akan
hasil penghitungan suara tersebut. Yang juga tidak percaya adalah pengagum
dan pendukung Hillary di sini.
Banyak orang di Tanah Air yang terkecoh dalam menilai apa yang
terjadi serta memprediksi perkembangan dan situasi yang ada akibat data yang
terbatas dan sikap terburu-buru dalam menyampaikan pendapat, termasuk di
media massa. Kebiasaan berpikir di permukaan inilah yang tampaknya
menyebabkan banyak reaksi yang keliru terhadap perkembangan demokrasi di sini
serta di AS, yang selama ini menjadi model demokrasi yang maju.
Tidak aneh jika perdebatan di media sosial pun berkembang
semakin tidak sehat dengan tambahan komentar soal prospek AS. Bahkan,
sejumlah rekan yang berpendidikan tinggi, tanpa data, dengan cepat
menyimpulkan AS akan menjadi negara diktator dengan berbagai praktek
pelanggaran HAM. Semua itu komentar yang menyesatkan karena gagal menilai
perkembangan demokrasi di masing-masing negara. Mereka lupa melihat AS
sebagai negara dengan demokrasi yang sudah terkonsolidasi, kondisi yang
berbeda dengan di Indonesia.
Seperti dikatakan Juan J. Linz dan Alfred Stephan (1996), sebuah
demokrasi terkonsolidasi jika demokrasi memang sudah merupakan "the only
game in town". Maknanya, semua masalah kenegaraan dapat diselesaikan
secara beradab dengan mekanisme yang sudah mapan melalui perangkat-perangkat
demokrasi tanpa pengerahan massa dan kekerasan. Di sana, para agen demokrasi,
antara lain anggota parlemen, tidak berdemo di jalan, apalagi menggerakkan
massa dan berlomba menyampaikan orasi di depan Istana. Juga, pers tidak
berperilaku sebagai aktivis politik.
Sebaliknya, dalam sebuah demokrasi yang terkonsolidasi, semua
masalah politik sudah harus dapat diselesaikan melalui berbagai dengar
pendapat dan sidang-sidang di parlemen. Di DPR, semua kekurangan pemerintah
harus dapat secara tuntas diungkap dan diselesaikan karena anggotanya telah
dilengkapi dengan hak-hak dan kewenangan.
Kondisi demokrasi yang sudah terkonsolidasi selalu menjauhkan
diri dari upaya pengumpulan massa dan unjuk rasa fisik, yang sering dijadikan
parameter keberhasilan kerja politikus, terutama demagog. Kalau praktek
tersebut terus ditunjukkan, termasuk dengan ancaman menggelar demonstrasi
masif pada 25 November atau 2 Desember, kualitas demokrasi kita masih dalam
tahap "demokrasi kerumunan". Terminologi itu mengikuti analisis
mengenai "masyarakat kerumunan" yang sering diangkat sosiolog Imam
Prasodjo. Jika praktek ini yang terus diperlihatkan elite politik, kalangan
terpelajar, dan pemimpin agama dalam menciptakan tekanan publik yang besar
terhadap aparat penegak hukum agar segera menjatuhkan sanksi hukuman yang
sesuai dengan harapan mereka terhadap tersangka kasus penistaan agama, Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok, perkembangan demokrasi kita setelah 16 tahun
reformasi politik dicanangkan tidak akan naik kelas.
Kegandrungan terhadap gelar kekuatan massa dan fisik akan
membuat arah perkembangan dan kualitas demokrasi kita sekelas dengan
Pakistan, Mesir, Turki, Filipina, Korea Selatan, serta Thailand, yang rawan
kerusuhan massa dan kudeta politik. Transisi demokrasi yang telah berlangsung
pun akan berakhir. Dalam situasi ini, aparat keamanan dan militer akan selalu
dibutuhkan dan memperoleh legitimasi politik untuk mengambil alih keadaan dan
mengembalikan stabilitas politik.
Tidaklah berlebihan jika kita harus mengatakan bahwa masyarakat
kita kini masih merupakan "masyarakat kerumunan yang terbelah" dan
amat rapuh. AS juga pernah terbelah akibat kompetisi dalam pemilihan presiden yang ketat antara Bush dan Al
Gore. Namun keadaan itu dapat segera terkoreksi karena praktek demokrasi yang
sudah terkonsolidasi. Sekarang juga AS tampak terbelah akibat Trump yang
kontroversial selama kampanye. Namun hal itu akan segera pulih karena Trump
akan dipaksa mengubah sikapnya menjadi selayaknya presiden sebagaimana
dituntut seluruh rakyat AS. Situasi ini berbeda dengan masyarakat Indonesia,
yang tampak semakin terpecah-belah merespons kemenangan Trump.
Demokrasi yang terkonsolidasi membutuhkan kepedulian atas
informasi yang akurat dan kecerdasan dalam bersikap. Tanpa ini, massa hanya
merupakan kerumunan yang rawan digerakkan untuk menciptakan situasi
anarkistis yang diharapkan elite politik dan demagog dengan kepentingan
pragmatis mereka. Apakah Indonesia masih ada dan sampai kapan ia masih bisa
bertahan? Jawabannya tentu berpulang pada bangsa ini. Apakah mereka masih
memiliki keinginan bersama (volonte generale, Renan 1882), yang merupakan
alasan atau dasar untuk menjadi sebuah negara bangsa yang majemuk, seperti
dicita-citakan para pendirinya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar