Anak-Anak
Dalam Kontestasi Politik
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog
Forensik;
Pengurus Lembaga Perlindungan
Anak Indonesia
|
KORAN SINDO, 21 November
2016
Ada momen penting yang acap
terabaikan setiap 20 November dari tahun ke tahun. Enam belas tahun silam
sebuah treaty global berhasil diluncurkan.
Sejak hari bersejarah itulah
dunia memiliki sebuah dokumen penting tentang pengakuan masyarakat
internasional akan hak-hak dasar anak. Salah satu prinsip pada Konvensi PBB
tentang Hak Anak adalah bahwa partisipasi anak mutlak dibutuhkan dan
pandangan-pandangan mereka harus dipertimbangkan oleh seluruh pemangku
kepentingan manakala membuat keputusan-keputusan yang memengaruhi anak-anak.
Hak anak tersebut kian relevan
dengan situasi kekinian Indonesia, apalagi ketika ajang kontestasi politik
berupa pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak kian dekat
penyelenggaraannya. Masa kampanye politik, kendati belum dimulai secara
resmi, aromanya sudah menyebar ke mana-mana. Kian mendekati hari pencoblosan,
atmosfer sosial politik pun niscaya kian hangat. Panca indera anak-anak pun
terpapar pada beraneka pernak-pernik pilkada.
Mereka boleh jadi akan mulai
bertanya-tanya tentang serba-serbi terkait perhelatan demokrasi. Sekian
banyak pihak menghendaki agar segala bentuk aktivitas terkait pilkada dibikin
steril dari anak-anak. Anakanak, sebagaimana dalam kegiatan kampanye,
diyakini lebih banyak mengalami mudarat ketimbang manfaat. Namun, berbagai
regulasi pelarangan sedemikian rupa tidak pernah berhasil meredam animo
masyarakat (konstituen) agar berhenti mengajak anak-anak mereka dalam
pesta-pesta demokrasi.
Pun dalam lintasan sejarah
nasional, sosok semisal Sukarno sudah dicemplungkan orang tuanya ke
candradimuka politik sejak usia sekitar lima belas tahun. Di bawah penyeliaan
langsung HOS Tjokroaminoto, Sukarno cilik sudah hadir pada
pertemuan-pertemuan politik Sarekat Islam.
Hasil ekspos politik sejak usia
pancaroba sungguh menakjubkan: Pada masanya, siapa manusia di bawah kolong
langit yang tak mengenal Putra Sang Fajar? Anak-anak memang belum memiliki
hak mencoblos. Sepintas, “masuk akal” apabila hakhak hidup mereka ke-mudian
terabaikan, karena mereka bukan konstituen yang diincar para kontestan.
Deskripsi Lansdown dan Ansell sekian tahun silam juga mirip dengan kondisi
anak-anak Indonesia hari ini.
Betapa pun anak-anak masa kini
semakin aktif di dalam dan di luar keluarga, mereka tetap dikungkung di dalam
partisi sempit bernama rumah dan sekolah. Walau kehadiran anak-anak di ruang
publik kian berserak, mereka tetap dianggap sebagai makhluk pasif. Potensi
anak untuk berpartisipasi sebagai aktor politik justru diabaikan.
Alhasil wajar, sebagaimana kata
Kulynych(2001), adaruangyang tak terjamah dan aktor yang sengaja dibikin tak
berkiprah dalam proses demo-kratisasi bangsa. Anak-anak, ringkasnya, tidak
mempunyai cukup suara untuk turut mewarnai produkproduk kebijakan negara,
bahkan kebijakan yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sendiri.
Realitas sedemikian rupa
jelas-jelas harus dikoreksi total. Hart Research Associates (2016), misalnya,
sengaja melakukan survei guna menakar sikap warga Negeri Paman Sam terhadap
isu-isu tentang anak. Simpulannya, masyarakat Amerika Serikat—terlebih yang
memiliki anak berusia di bawah delapan belas tahun— sangat mendukung
peningkatan investasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan nutrisi anak-anak.
Warga bahkan berkata, mereka
akan mencoblos kandidat yang berkomitmen melakukan pembenahanpembenahan
serius dan terukur di area perlindungan anak kelak jika terpilih. Indonesia
sendiri, di samping keberadaan Konvensi PBB tentang Hak Anak, sudah memiliki
landasan konstitusional untuk memaksa para peserta pilkada pasang telinga terhadap
anak-anak.
Undang-Undang Perlindungan Anak
menyebut anak sebagai subjek aktif: insan yang patut didengar pen-dapatnya
sesuai tingkat kecerdasan dan kematangannya. Gagasan ini sesungguhnya bukan
hal baru. Secara rutin, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia sejak tahun 2000
menyelenggarakan Kongres Anak Indonesia (KAI).
Salah satu keluarannya adalah
Suara Anak, sebuah dokumen yang disusun sepenuhnya oleh anak-anak peserta KAI
berisi daftar rekomendasi tentang kebijakan- kebijakan pemerintah di bidang
anak. Tentu, satu forum tahunan bagi anak untuk berikhtiar menautkan kepentingan
mereka dengan kebijakan nasional tidak akan memadai.
Atas dasar itu, kini giliran
parpol dan para calon kepala daerah (cakada) untuk tidak menjadikan anak
sebagai penggembira atau pemandu sorak belaka. Kongreskongres mini serupa
patut diadakan agar parpol dan cakada bisa menyimak langsung pandangan
anak-anak. Kemas aspirasi anak-anak itu ke dalam visi, misi, serta program
kerja parpol dan cakada.
Bentuk ‘kehadiran’ anakanak
lainnya dalam kontestasi politik adalah alat-alat peraga kampanye yang menampilkan
sosok anak-anak. Itu, pada dasarnya, tidak bermasalah. Praktik tersebut di
Negara-negara demokratis sudah ada sejak tahun lima puluhan.
Agar konstruktif, tidak sulit
bagi parpol dan cakada untuk menyandingkan foto anak-anak dengan pesan positif
semisal tekun beribadah, anti-LGBT, antinarkoba, layanan kesehatan
berkualitas, integritas tubuh, keluarga harmonis, cinta flora dan fauna,
cinta ayah bunda, rajin menabung, peduli disabilitas, pembangunan sarana
prasarana ramah anak, serta tema-tema kreatif konstruktif lainnya.
Titik Awal
Sebagaimana tamsil “demokrasi
bermula di meja makan”, akan sangat ideal apabila pendidikan untuk membangun
kemelekan (literasi) politik pun dimulai dengan ayah bunda sebagai
guru-gurunya. Becermin pada semakin banyaknya keluarga di negaranegara maju
yang mengajak anak-anak mereka ke tempat pemungutan suara, betapa eloknya
jika setiap orang tua mampu membangun tradisi keluarga dengan mengajari anak
bahwa pilkada dan kampanye bukan semata-mata perkara pencoblosan kertas
suara.
Di balik aksi dukung-mendukung
calon kepala daerah, orang tua perlu menumbuhkan kesadaran anak akan
pentingnya minat pada politik dan kepedulian pada tanggung jawab sebagai
warga negara. Itu semua, pastinya, jauh lebih bermakna ketimbang sebatas
menggendong-gendong anak di lokasi kampanye.
Satu garis bawah: anak bukan
objek eksploitasi, bukan alat propaganda, untuk membangun impresi politik
bahwa “aku dan partaiku paling peduli anak”. Ayo, siapa yang sungguh-sungguh
mampu menjadi guru demokrasi bagi anak-anak Indonesia? Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar