Pelaksana
Tugas Kepala Daerah
Oce Madril ; Dosen
Fakultas Hukum UGM;
Pegiat Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Yogyakarta; Direktur Advokasi Pusat
Kajian Antikorupsi UGM
|
KOMPAS, 30 November
2016
Pemilihan kepala daerah serentak pada awal 2017 akan dilakukan
di 101 daerah. Atas perintah Undang-Undang tentang Pilkada, kepala daerah
petahana yang mencalonkan diri harus cuti dari jabatannya. Untuk menjamin
jalannya pemerintahan, pemerintah pusat mengangkat pelaksana tugas gubernur,
bupati, atau wali kota.
Perdebatan muncul mengenai kedudukan dan sejauh mana kewenangan
pejabat pelaksana tugas dalam memimpin pemerintahan daerah. Berangkat dari
kasus pemerintahan DKI Jakarta atau mungkin juga daerah lain, di mana pejabat
pelaksana tugas mengubah kebijakan anggaran yang telah ditetapkan oleh
gubernur definitif, muncul pertanyaan, apakah pejabat pelaksana tugas
memiliki kewenangan yang sama dengan pejabat definitif?
Mengenai pejabat pengganti di pemerintahan daerah, dikenal dua
istilah, yakni pelaksana tugas dan penjabat. Merujuk pada Undang-Undang
Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,
pelaksana tugas diangkat ketika pejabat definitif berhalangan sementara.
Sementara "penjabat" diangkat ketika terjadi kekosongan jabatan
karena pejabat definitif diberhentikan sementara atau diberhentikan tetap.
Pembedaan kedua istilah itu membawa konsekuensi atas kewenangannya.
Kewenangan
terbatas
Terkait pilkada memang tidak diatur secara khusus. Undang-Undang
Pilkada ataupun Undang-Undang Pemda tidak mengatur perihal tersebut. Walaupun
demikian, kita dapat merujuk pada konsep pelaksana tugas yang diatur dalam
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Bagaimana kewenangan pejabat pelaksana tugas? Satu hal yang
jelas, pejabat pelaksana tugas bukanlah pejabat definitif sehingga
kewenangannya tentu tidak sama dengan pejabat sebenarnya. Pejabat pelaksana
tugas kepala daerah, bukanlah gubernur, bupati, atau wali kota yang dipilih
oleh rakyat melalui pilkada dan memperoleh kewenangannya secara atributif
melalui konstitusi dan undang-undang.
Pejabat pelaksana tugas adalah pejabat yang ditunjuk dan
memperoleh kewenangannya secara mandat dari atasan untuk menjalankan tugas
rutin pemerintahan.
Berdasarkan cara perolehan kewenangan itu, maka kewenangan
pejabat pelaksana tugas sangatlah terbatas. Undang-Undang Pemda dan
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Pasal 14) membatasi tugas pejabat
pelaksana tugas hanya sebatas pelaksanaan tugas rutin. Yaitu, melaksanakan
tugas sehari-hari kepala daerah yang tidak berkaitan dengan pengambilan
kebijakan yang bersifat strategis dalam aspek keuangan, kelembagaan,
kepegawaian, dan perizinan.
Termasuk dalam kebijakan strategis adalah kebijakan rencana
strategis dan rencana kerja pemerintah, perubahan struktur organisasi,
perubahan status hukum kepegawaian (melakukan pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian pegawai), serta perubahan alokasi anggaran yang sudah
ditetapkan alokasinya.
Artinya, pejabat pelaksana tugas dilarang membuat kebijakan
strategis di atas. Kewenangan pejabat pelaksana tugas hanya sebatas
"menjalankan" kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat
definitif.
Kewenangan yang sifatnya administratif dapat saja dilakukan
pejabat pelaksana tugas, misalnya menandatangani dokumen yang sudah
ditetapkan sebelumnya atau tugas administratif rutin lainnya. Bukan membuat
kebijakan strategis baru, apalagi mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan
oleh pejabat definitif.
Masalah
permendagri
Undang-Undang Pemda memberi mandat agar hal ini diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah. Sepanjang penelusuran penulis, peraturan
pemerintahnya tidak pernah muncul. Menteri dalam negeri berinisiatif
mengaturnya. Terbitlah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74
Tahun 2016 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah yang
ikut pilkada.
Walaupun permendagri ini tentang cuti, dalam salah satu pasalnya
diselipkan mengenai pengangkatan pejabat pelaksana tugas kepala daerah dan
wewenangnya. Berdasarkan Pasal 9 Permendagri itu, wewenang pejabat pelaksana
tugas tidak lagi sekadar melaksanakan tugas rutin pemerintahan, tetapi
melebar pada hal-hal kebijakan strategis yang semestinya menjadi kewenangan
pejabat definitif. Inilah pangkal masalahnya.
Jika hanya menandatangi dokumen perda Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) serta perda organisasi perangkat daerah tentu tidak
masalah. Akan tetapi, permendagri menyamakan kewenangan pejabat pelaksana
tugas dengan pejabat definitif, yaitu memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Dengan begini, pejabat pelaksana tugas mendapat legitimasi untuk
bertindak seolah-olah sebagai pejabat definitif yang, misalnya, dapat
merombak perencanaan strategis pemda dan alokasi anggaran. Permendagri juga
membolehkan pengisian dan penggantian pejabat, setelah dapat persetujuan
menteri (padahal pejabat definitif saja dilarang oleh Undang-Undang Pilkada
untuk melakukan penggantian pejabat sejak enam bulan sebelum pilkada). Aturan
permendagri itu jelas melangkahi ketentuan Undang-Undang Pemda, Undang-Undang
Pilkada, dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Masalah lain permendagri adalah aturan ini memperluas kewenangan
mendagri dengan mengatasnamakan presiden. Terlihat dari dua hal, yakni
terkait pemberian cuti kepada petahana dan pengangkatan pejabat pelaksana
tugas. Mestinya kedua hal itu diatur peraturan presiden. Bahwa kemudian
presiden melimpahkan keputusan pemberian cuti dan pengangkatan pelaksana
tugas kepada mendagri, itu harus ditegaskan melalui peraturan presiden, bukan
permendagri.
Beginilah problem regulasi di tingkat pemerintahan. Pada
praktiknya jamak ditemukan regulasi di tingkat kementerian yang menganulir
atau melumpuhkan aturan undang-undang. Regulasi tingkat kementerian ini sulit
diawasi. Padahal salah satu penyebab korupsi adalah penyalahgunaan wewenang
yang bersumber pada aturan yang memang sudah keliru dari awal sehingga
memunculkan kekeliruan-kekeliruan berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar