Menggugat
Logika Yuridis Ujian Nasional
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
28 November 2016
MENDIKBUD Muhadjir Effendy
rupanya serius ingin melakukan moratorium terhadap pelaksaan ujian nasional (UN).
Seperti biasanya, komentar tentang yang setuju dan tak setuju dengan rencana
kebijakan ini juga terus bergulir menjadi diskusi publik yang serius dan
melibatkan semua pemangku kepentingan kependidikan, seperti pakar pendidikan,
praktisi, politikus, hingga Presiden Jokowi. Yang tidak setuju dengan rencana
penghapusan UN beralasan proses pendidikan harus memiliki ukuran dan jenis
evaluasi yang terus-menerus sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah
terhadap publik. Sebaliknya, alasan Mendikbud dengan rencana penghapusan UN
karena begitu banyak aspek yuridis yang dilanggar, mulai UU Sistem Pendidikan
Nasional hingga peraturan pelaksanaannya. Setiap tahun UN selalu menimbulkan
kegaduhan nasional karena aspek pelaksanaannya penuh dengan manipulasi di tingkat
sekolah demi citra sebuah sekolah.
Tafsir pemerintah
Selama bertahun-tahun hasil UN
tak pernah disajikan sebagai road map kualitas pendidikan di Tanah Air.
Banyak sekali kritik dan ketidakpuasan siswa, orangtua, guru, dan para
praktisi pendidikan terhadap cara pemerintah dalam upaya meningkatkan standar
mutu pendidikan di Indonesia. Pemerintah mengira hanya dengan UN mutu
pendidikan kita akan meningkat. Di samping itu, pemerintah merasa sebagai
institusi paling benar dan tepercaya karena UN pada faktanya merupakan amanat
UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tafsir pemerintah semakin
terlihat sewenang-wenang ketika mereka menerbitkan Peraturan Mendiknas
(Permendiknas) No 45/2006 tentang Ujian Nasional. Permendiknas itu mereka aku
sebagai tafsir yang paling sah dan kredibel untuk mengatakan UN merupakan
program nasional yang harus jalan karena merupakan tugas nasional. Dalam
praktiknya UN dijadikan sebagai satu-satunya cara dalam meningkatkan mutu
pendidikan melalui ketetapan kelulusan dan ketidaklulusan siswa.
Dalam Permendiknas pasal 3
disebutkan ujian nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan
secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, pada pasal 4 Permendiknas yang sama
disebutkan UN juga seharusnya dimaksudkan untuk melakukan pemetaan mutu guru
dan sekolah, seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, akreditasi dan
dasar pembinaan, maupun pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan.
Jika diperhatikan secara
saksama pasal-pasal yang dijadikan rujukan oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan UN selama ini, terlihat adanya prakonsepsi yang menyebabkan
pemerintah selalu merasa di atas angin. Logika yuridis pemerintah dalam hal
ini perlu diuji dan dipertanyakan sehingga jika terbukti terjadi kesalahan
tafsir terhadap UU, baik siswa, orangtua, guru, maupun masyarakat luas dapat
melakukan gugatan (citizen lawsuit). Perbedaan penafsiran antara pemerintah
dan masyarakat perlu diluruskan dalam rangka menemukan solusi terhadap penyelenggaraan
UN yang dimungkinkan mencederai tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Perbedaan penafsiran antara
pemerintah dan masyarakat terhadap UU No 20 tentang Sistem Pendidikan
Nasional terjadi pada pasal 58 ayat 1 dan 2. Dalam pasal 58 ayat 1 disebutkan
evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan, sedangkan pada ayat 2 disebutkan evaluasi peserta didik,
satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan lembaga mandiri secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian
standar nasional pendidikan.
Akal sehat kita pasti akan
menafsirkan ayat 1 di atas dengan jelas menyebutkan penanggung jawab evaluasi
hasil belajar siswa ialah pendidik (guru), bukan pemerintah. Logika ini
sangat jelas dan terang benderang meskipun pemerintah selama ini memiliki
interpretasi berbeda dengan mengatakan yang membuat soal UN ialah para guru
sehingga UN tidak melanggar UU. Meskipun interpretasi pemerintah terlihat
masuk akal, jelas penafsiran tersebut lepas dari konteks ayat dan
permasalahan yang dimaksud dalam pasal 58 tersebut. Bisa dibayangkan, betapa
tidak adilnya jika yang membuat soal UN ialah guru di Jakarta, tetapi yang
mengerjakan anak didik di Aceh dan Papua yang tidak dipantau dan diajar guru
yang ada di Jakarta.
Lagi pula, baik ayat (1) maupun
ayat (2) dalam pasal 58 UU No 20/ 2003 tidak menyebut secara eksplisit kata
ujian nasional. Kata ‘pencapaian standar nasional’ dalam pasal 2 tentu saja
tidak harus dicapai melalui UN, tetapi melalui banyak cara, jalan, dan
pendekatan, bergantung pada standar minimum yang ingin kita penuhi
(Darmaningtyas, Edukasi, Vol 5, Nomor 1, 2007).
Secara yuridis, kesalahan dan
kesewenang-wenangan pemerintah menjadikan UN sebagai satu-satunya syarat
kelulusan siswa selama ini tentu harus digugat dan terus dipertanyakan.
Keinginan Mendikbud untuk menghentikan UN memang salah satunya didasarkan
pada gugatan para guru (citizen
lawsuit) terhadap UN di pengadilan negeri Jakarta Pusat.
Sebenarnya para guru dimenangi dan pengadilan menginstruksikan agar UN untuk
sementara tidak dilaksanakan terlebih dahulu. Dan di akhir semuanya 8 tahun
lalu MA mengabulkan permohonan para guru agar UN dihentikan pelaksanaannya.
What next?
Dalam banyak literatur tentang
pentingnya pengujian dan standardized test seperti UN, visi yang paling
mendasar ialah berkaitan dengan equity; baik dalam
terminologi kesempatan (opportunity)
maupun hasil (outcomes)
(Thompson, 2001). Problemnya dengan UN kita ialah pemerintah belum secara
maksimal menganalisis dan meriset dengan baik aspek equity tersebut dalam
konteks menyiapkan standar minimum yang harus dipenuhi. Hak dasar ini menjadi
penting dalam rangka memperbaiki logika yuridis pemerintah dalam
menerjemahkan ‘pencapaian standar nasional’ pendidikan kita.
Selain itu, pemerintah harus
menyadari dalam praktiknya, UN memunculkan fenomena baru dalam pembiayaan
pendidikan, kita semua seperti berlomba-lomba menghabiskan dana pendidikan
untuk pencapaian sebuah nilai, bukan tujuan. Temuan sangat menarik
dikemukakan dalam studi McNeil (2000) dan Nathan (2002), bahwa biaya terbesar
yang dikeluarkan para orangtua dan masyarakat dalam pendidikan anak-anak
mereka ternyata bukan di sekolah, melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar
yang mengajarkan anak-anak kita konsep drilling, serbainstan, fokus sesaat,
dan disiplin untuk tujuan nilai, bukan tujuan dasar pendidikan. Sudah saatnya
biaya pendidikan dialihkan menjadi spend money to support goals, not
scores.
Masyarakat harus diajak untuk
mengerti bahwa UN dan segala akibatnya bagi pembelajaran dan perkembangan
jiwa anak bukan hanya didasarkan atas sebuah persepsi tunggal, dalam hal ini
pemerintah (Holme, 2002). Masyarakat dan guru serta komunitas sekolah lainnya
harus berani menolak dan mengatakan tidak pada UN (say no to UN) jika mereka
dapat membuktikan efek negatif UN terhadap perkembangan jiwa anak-anak
mereka. Selain logika yuridis pemerintah tentang kebijakan UN yang harus
terus dipertanyakan, sekali lagi, masyarakat harus memiliki keberanian untuk
menunjukkan kelemahan-kelemahan fundamental penyelenggaraan UN. Semoga
keinginan Mendikbud tidak sekadar wacana dan Presiden Jokowi berani
mengeluarkan peraturan presiden tentang penghentian pelaksanaan UN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar