Awas,
Krisis Perbankan Dunia
Nugroho Agung Wijoyo ; Alumnus
Vanderbilt University (AS);
Kandidat Doktor Manajemen Keuangan Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 22 November
2016
Krisis sistemik itu datangnya seperti pencuri, sebab kita tidak tahu
bilamanakah waktunya akan tiba. Oleh karena itu, berhati-hatilah dan
berjaga-jagalah. ”Perhatikan sinyal atau simtom krisis.” Kekhawatiran akan
ketidakpastian ekonomi AS sempat menyebabkan anjloknya pasar saham di AS dan
Asia Pasifik (Mari Pangestu, Kompas, 12/11/2016).
Hasil pemilu AS membawa banyak pengaruh terhadap perilaku
investor global. Dampaknya terhadap perekonomian Indonesia terlihat tidak
hanya dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang
melemah secara signifikan, tetapi pasar Surat Berharga Negara (SBN) kita pun
tertekan (posisi per akhir pekan Jumat, 11 November 2016).
Dana Moneter Internasional (2016) menyampaikan bahwa bank yang
cukup besar untuk membawa sistem keuangan runtuh, Deutsche Bank, adalah yang
paling berisiko.Disampaikan juga bahwa unit Deutsche Bank di Amerika adalah
salah satu dari hanya dua dari 33 bank besar yang gagal tes ketahanan
keuangan (tests of financial strength) yang ditetapkan oleh The Fed (Bank
Sentral AS) awal tahun ini.meskipun permasalahan Deutsche Bank belum tentu
mengakibatkan krisis sistemik.
Apakah permasalahan Deutsche Bank ini mengindikasikan sebagai
Global–Systemically Important Bank atau G-SIB yang jika mengalami krisis
keuangan dapat berpotensi membawadampak sistemik pada sistem keuangan
global?Indikator G-SIB terdiri atas skala bank atau besar aset, keterkaitan
dengan lembaga keuangan lain, peran bank sebagai market participant sekaligus
penyedia jasa keuangan, kompleksitas dan aktivitas global (size,
interconnectedness, substitutability, complexity, dan cross-border
exposure)untuk Global SIFI (BCBS 2011–dokumen G-SIB).Tentu regulator
makroprudensial dan mikroprudensial telah menilai.
Perlukah kita mewaspadai krisis keuangan Deutsche Bank ini?
Bukankahkita telah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) yang baru? Apa
yang sudah kita lakukan dalam rangka menangkal krisis keuangan Deutsche Bank
ini atau setidaknya mengantisipasi krisis perbankan dunia?
Bukankah UU PPKSK ini akan menjadi landasan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia
serta mendorong pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan
perbankan (Wijoyo, Kompas 3/10/2016), terutama terhadap 12 bank yang telah
ditetapkan sebagai bank sistemik?
Pertanyaan ini membuat kita terperangah, sudah optimalkah kita
melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan sesuai dengan
amanat UU PPKSK tersebut?
Akankah krisis yang bermula dari krisis keuangan Deutsche Bank
meluluhlantakkan seluruh sistem keuangan, yang tidak saja dapat terjadi di
Eropa, tetapi dapat saja menjalar (spill-over effect) menjadi krisis sistemik
ke seluruh sistem keuangan di dunia? Penularan ini dapat terjadi sedemikian
cepat karena interkoneksi dan jaringan antarbank (financial linkage).Jika
demikian halnya, krisis dapat terjadi kapan saja, di mana saja, baik di
negara maju maupun di negara berkembang.
Waspadai
krisis keuangan Deutsche Bank
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepakat untuk
mewaspadai krisis keuangan Deutsche Bank. Dalam jangka pendek, imbas negatif
krisis bank terbesar di Jerman itudapatmenyeret kondisi pasar keuangan di
Tanah Air (CNN Indonesia, 28/10/2016).
Krisis keuangan Deutsche Bank di Jerman menunjukkan bahwa krisis
terjadi karena kerentanan (financial fragility) di industri perbankan. Sebut
saja alasannya, selain karena Deutsche Bank gagal bayar utang sebesar 425
miliar dollar AS, juga karena sebelumnya Kementerian Kehakiman AS menuntut
Deutsche Bank membayar denda 14 miliar dollar AS atas kasus penjualan efek
beragun aset properti (mortgage-backed securities) yang turut menyebabkan
krisis keuangan di AS pada tahun 2008.
Saham Deutsche Bank saat ini terjun bebas mendekati 10 persen
dan berpotensi dapat menjadi lembaran kertas yang tidak berharga. Kejatuhan
Deutsche Bank akan berdampak sistemik bagi zona Eropa juga dunia. Mengapa?
Karena akan ada bank yang akan segera jatuh apabila Deutsche Bank juga jatuh,
misalnya Citigroup dan Barclay. Dan apabila dua bank ini ambruk, maka akan
ada puluhan bank besar yang juga bangkrut karena satu sama lain bank terikat
dalam transaksi leverage.
Kalau sudah demikian, siapa yang dapat mencegah persepsi nasabah
bank kita untuk tidak membayangkan terjadinya krisis perbankan seperti yang
telah terjadi pada tahun 1997/1998 itu? Harus disadari sepenuhnya bahwa
persepsi pasar tidak selalu akurat karena sangat tergantung pada ketersediaan
dan kelengkapan data bank yang dipublikasikan, serta nasabah bank pada umumnya
kurang mempunyai kemampuan yang memadai dalam menilai kondisi dan kinerja
bank (Diamond, DW dan PH Dybvig, 1983).
Kepada CNN Indonesia (28/10/2016), Ketua Dewan Komisioner OJK
Muliaman D Hadad mengatakan, sebagai bank pemain global, kasus yang menimpa
Deutsche Bank di AS bisa berdampak sistemik terhadap kantor cabangnya yang
tersebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Betapa tidak, Deutsche Bank memiliki peranan yang cukup besar di
pasar keuangan Indonesia, khususnya di pasar modal. Masalahnya, Deutsche Bank
menguasai pangsa 42 persen dari seluruh kelolaan kustodian di negeri ini.
Tidak hanya itu, saham yang tercatat di Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI) atas nama Deutsche Bank dan kliennya tercatat berjumlah 24,5 persen
dari kapitalisasi pasar.Sementara di pasar primer Surat Berharga Negara
(SBN), OJK mencatat bahwa Deutsche Bank rata-rata memenangi lelang sebesar Rp
1 triliun atau 6,5 persen dari rata-rata hasil lelang.
Mencegah
terjadi di Indonesia
Kaufman (1988) menggambarkan krisis sistemik itu seperti
”kebakaran”. Ibaratnya ”rumah kita” akan terbakar (baca industri perbankan).
Tentunya kita tidak mengharapkan regulator kita datang sebagai pemadam
kebakaran ketika api sudah menjalar ke rumah itu. Karena rumah kita sudah
telanjur gosong dan mungkin banyak orang yang mati (baca banyak likuidasi
bank), rumahnya pun sudah menjadi jelek. Memang, bila perlu, memutus mata
rantai penyebab kebakaran. Mengambil istilah Benjamin Franklin, ”An ounce of
prevention is worth a pound of cure”.
Dalam rangka mengantisipasi krisis perbankan global, Prof Anat R
Admati (2013), Guru Besar Universitas Stanford yang saat ini menjadi
penasihat The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), memberikan
kiat-kiat bagaimana mitigasi risiko sistemik itu dilakukan, dengan sesegera
mungkin mencegah terjadinya eskalasi krisis sistemik. Memang hal ini tidaklah
mudah untuk dilakukan karena ini menyangkut regulasi yang berhati-hati
(prudent) dan pengawasan yang benar-benar efektif.
Pertama, mengontrol risiko dari investasi bank. Bagaimana risiko
di perbankan dan rapuhnya sistem perbankan dapat dimitigasi?Memitigasi
build-up risiko sistemik. Pendekatannya pada neraca bank, dari sisi sebelah
kiri neraca, yaitu mengubah aset atau investasi bank.Cara yang paling sederhana
adalah dengan menjaga agar gejala overheating pertumbuhan kredit yang terlalu
tinggi di industri perbankan tidak terjadi karena akan membuat debitor bank
terkena risiko leverage yang terekspos tinggi. Selain itu, dengan membatasi
jumlah bank dalam memberikan pinjaman kepada bank lain sehingga akan
mengurangi dampak wanprestasi oleh peminjam bank mana pun.
Kesalingterkaitan (interconnectedness) antarbank dalam mekanisme
pinjaman dan simpanan antarbank (interbank loans and deposits) akan
berpotensi transmisi risiko sistemik yang secara cepat akan merambat apabila
institusi ini mengalami gagal bayar (default).
Kedua, mengontrol risiko likuiditas. Bank dapat mengalami
masalah likuiditas karena deposito dan utang jangka pendek lainnya yang
mereka gunakan untuk pendanaan yang secara tiba-tiba ditarik, sementara itu investasinya
tidak selalu dapat dikonversi menjadi uang tunai dengan mudah. Cara
tradisional untuk menangani permasalahan ini adalah dengan menaikkan
kewajiban bank untuk berinvestasi pada aset likuid. Persyaratan yang paling
sederhana adalah menaikkan kewajiban bank dalam menempatkan dana mereka di
bank sentral. Peraturan ini disebut Giro Wajib Minimum (GWM) (reserve requirement).
Ketiga, mengontrol kemampuan bank dalam menyerap kerugian.
Pendekatan dalam mengurangi risikoperbankan difokuskan baik untuk mengontrol
volume maupun jenis kegiatan dengan mengontrol ketidaksesuaian antara sifat
jangka pendek dan utang bank. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar