Ancaman
Radikalisme
Adjie Suradji ; Alumnus
Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan
|
KOMPAS, 23 November
2016
Situasi keagamaan di Indonesia belakangan ini sudah semakin
mirip situasi keagamaan negara-negara di Timur Tengah yang mempertontonkan
intoleransi, kekerasan, dan teror. Ketika agama yang sakral dicampuradukkan
dengan politik yang profan, wajah keduanya jadi berbeda. Kesakralan dan
nilai-nilai religiositas agama menjadi ternoda dan mekanisme demokrasi
(politik) juga menjadi tak sehat.
Bangsa Indonesia tentu tak menghendaki tragedi seperti di
Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman (Arab Spring) terjadi di negeri ini. Namun,
jika agama dijadikan senjata politik dan kekerasan terus diteriakkan, rasanya
tinggal tunggu waktu Indonesia akan menjadi medan perang (dar-ur harb)
seperti Irak dan Suriah.
Dari rangkaian sikap intoleran, kekerasan, dan teror berlatar
agama, seperti penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, pengusiran komunitas
Syiah, pembakaran gereja di Singkil, teror bom Thamrin, insiden Tanjung
Balai, hingga pelemparan bom di Gereja Oikumene, Samarinda, menunjukkan bahwa
kita sebagai bangsa belum bisa hidup bersama dalam pluralitas.
Sikap intoleran, kekerasan, dan teror berlatar agama sebenarnya
tak perlu ditutup-tutupi dengan retorika dan dalih: pada dasarnya agama
menganjurkan kebaikan, perdamaian, hidup rukun dan saling menghormati, serta
agama tak menoleransi perbuatan yang terkutuk dan tercela, semata. Karena, di
balik itu semua tentu ada agenda tersembunyi.
Munculnya gagasan purifikasi (pemurnian) agama yang dicetuskan
Ibnu Taimiyah (abad ke-12 Masehi), kemudian dihidupkan kembali oleh Muhammad
Ibn’ Abd al-Wahhab (1703-1787), yang terus berkembang di Arab Saudi hingga
kini, ditengarai menjadi salah satu faktornya.
Di Indonesia, gelombang reformasi telah melahirkan dinamika baru
dalam gerakan keberagamaan. Gerakan baru keberagamaan tak lagi didominasi
produk lokal, tetapi juga muncul wajah-wajah transnasional. Wahhabisme dengan
programnya, ”Wahhabisasi Global”, justru diteriakkan lebih lantang dan
eksklusif. (Politik Islam di Era
Kebangkitan, Shireen T Hunter, 2001)
Sayang, dalam menyikapi persoalan ini pemerintah terkesan
ambigu. Di satu sisi gencar meneriakkan slogan ”NKRI harga mati”, tetapi sisi
lain selalu memberi ruang kepada kelompok radikal yang berwajah transnasional
bebas mempertontonkan eksistensinya mengusung penegakan khilafah.
Jangan anggap
sepele
Tak terlalu sulit untuk menemukan ”siapa berbuat apa” di negeri
ini. The Pew Research Center (2015)
telah merilis hasil surveinya yang menyatakan bahwa 10 juta warga Indonesia
berpaham radikal. Namun, kultur hukum negeri ini seakan sudah rusak oleh kaum
intoleran yang gemar menebar kekerasan.
Akibatnya, situasi keberagamaan yang moderat, toleran, dan akomodatif—sebagaimana
karakter dua organisasi keagamaan arus utama, Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama—menjadi rusak. Artinya, ancaman disintegrasi bangsa menjadi semakin
nyata.
Adagium, ”jangan pernah memelihara singa di kandang domba—seekor
singa bisa membunuh ribuan domba”, bisa dibaca bahwa pemerintah jangan
menganggap sepele dan jangan sampai terlambat. Salah menginterpretasikan atau
justru gagal mengantisipasi pergerakan kelompok radikal berjubah agama,
risikonya terlalu mahal.
India dan Pakistan memiliki catatan sejarah buruk. Krisis Golden
Temple (1984) antara radikalis Hindu dan pemerintah adalah mimpi buruk India.
Krisis Masjid Lal (2007) antara radikalis Suni dengan pemerintah adalah mimpi
buruk Republik Islam Pakistan. Bahkan, hingga sekarang, teror kelompok
radikal masih menjadi hantu mengerikan bagi Pemerintah Pakistan menyusul
serangan maut di Akademi Kepolisian Quetta (24/10) yang menewaskan 60 taruna
polisi dan bom bunuh diri di Kuil Sufi Balochistan (12/11) yang menewaskan 52
orang.
Untuk alasan apa pun jangan biarkan dan jangan beri ruang
kelompok radikal tumbuh dan berkembang. Negara tak boleh kalah. Indonesia
sudah darurat radikalisme. Dalam empat bulan terakhir terjadi empat kali
serangan teror dengan pola lone wolf—serigala sendirian, yaitu di Markas
Polresta Solo (5/7), di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan (28/8), pos
polisi di Tangerang (20/10), dan di Gereja Oikumene, Samarinda (13/11).
Lantas, apakah pemerintah masih membiarkan propaganda penegakan
khilafah yang menolak negara demokrasi NKRI yang mendasarkan diri pada
Pancasila? Membiarkan mereka mensponsori ratusan pemuda-pemuda Indonesia
untuk bergabung dengan NIIS ke Suriah? Dan, membiarkan mereka menyebut
Indonesia sebagai negara thogut?
Dengan dukungan infrastruktur dan dana yang kuat, gerakan
kelompok radikal lebih aktif mengampanyekan eksklusivitas, militansi,
radikalisme, dan bahkan kekerasan di ruang publik. Tak heran jika agenda dua
organisasi keagamaan arus utama, Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan dan NU
dengan Islam Nusantara, tenggelam oleh euforia propaganda mereka. Disinyalir,
pengaruh serta gagasan ideologi dan puritanisasi mereka semakin meluas,
bahkan sangat dimungkinkan sudah terjadi penetrasi di lembaga-lembaga
pemerintah.
Sekali lagi, jangan anggap sepele gerakan kelompok radikal
berjubah agama. Sebab, agama bisa dijadikan pembentuk kekuatan dahsyat dalam
membangkitkan identitas emosional massa dibandingkan identitas sosial lain.
Agama bisa memicu konflik bereskalasi mengerikan dengan intensitas tinggi,
yang bisa memecah belah persatuan bangsa.
Muhammadiyah
dan NU
Semoga pemerintah tanggap dan cepat merespons ancaman ini. Untuk
menangkal radikalisme, di samping program deradikalisasi formal, dua agenda
organisasi arus utama—Islam Berkemajuan, Islam yang mampu beradaptasi,
mengakomodasi serta menyesuaikan diri dengan dinamika zaman; dan Islam
Nusantara, yang merujuk model dakwahnya Walisongo dan konsep pribumisasinya
almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur)— bisa lebih digalakkan dan dipopulerkan.
Bagaimanapun, tanpa Muhammadiyah dan NU, Indonesia bisa jatuh ke jurang
kebiadaban dan kebengisan ekstrem, seperti terjadi di negeri-negeri Timur
Tengah.
Terlepas dari itu semua, ada dua hal yang pantas direnungkan.
Pertama, energi bangsa yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi
ketertinggalan dari kemajuan bangsa-bangsa lain menjadi terkuras karena
persoalan perumusan ulang yang menyempitkan arti identitas dan justru
berujung pada sikap saling memusuhi. Kedua, ketika bangsa- bangsa lain telah
mendayagunakan akal dan pikirannya untuk mengeliminasi perbedaan antar-
umat—emansipasi, agar bisa berkolaborasi dalam memajukan peradaban, justru
ada sekelompok orang di negeri ini yang menciptakan penyekat—membuat jarak
perbedaan antarsesama secara tak beradab dengan mengatasnamakan agama.
Barangkali Ludwig Andreas von Feuerbach (1804-1872) benar.
Katanya, jika dahulu agama memproyeksikan kelemahan manusia, tetapi sekarang
agama justru memproyeksikan keserakahan manusia (The Essence of Religion, 1845). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar