Makna
Kehadiran Partai Politik
Fajar Kurnianto ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina, Jakarta
|
KOMPAS, 21 November
2016
Partai politik seperti ada dan tiada, timbul tenggelam, datang
dan pergi. Parpol ada dan hadir sering kali hanya pada saat menjelang hajatan
demokrasi, seperti pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, atau
pemilihan kepala daerah.
Parpol juga hadir dalam gegap gempita kampanye politik periodik,
pada momen-momen itu. Selebihnya seperti lenyap ditelan bumi. Atau, muncul
ketika ada anggotanya yang terjerat kasus korupsi. Di parlemen, parpol muncul
ketika anggotanya melanggar etika atau terlibat keributan saat membahas suatu
rancangan undang-undang.
Di mana parpol ketika rakyat bawah menuntut keadilan dengan
melakukan aksi jahit mulut, menyemen kaki, berdemonstrasi, atau tengah
terlibat sengketa dengan pihak korporasi? Rakyat seperti ditinggalkan begitu
saja, telantar tak terurus, dibiarkan hidup dengan masalahnya, dan menyelesaikannya
sendiri.
Parpol menjadi elitis, mengurus persoalan-persoalan elite di
tingkat atas karena di situ parpol bisa hidup. Bagaimana rakyat? Rakyat cukup
ditemui nanti menjelang pemilu, toh, ingatan publik pendek. Rakyat cepat lupa
dan itu dimanfaatkan betul oleh parpol untuk tak terlalu menguras tenaga.
Kualitas
moral-intelektual
Hal ini tidak menafikan ada parpol yang memang betul-betul turun
ke bawah. Parpol ini benar-benar hadir setiap hari di tengah-tengah rakyat,
mendengarkan keluh kesah dan persoalan mereka yang kian hari bertambah berat.
Parpol ini peduli dengan nasib rakyat serta ikut menyambungkan suara mereka
ke parlemen dan pemerintah. Karena itu, tidak heran jika akar rumput parpol
ini pun cukup kuat.
Umumnya, kader parpol ini memang dulunya terbiasa menemui rakyat
dan hadir di tengah-tengah mereka. Ketika kader parpol ini berhasil duduk di
parlemen, ia tidak lupa diri. Ia selalu ingat pesan konstituennya untuk terus
peduli dengan mereka.
Berbeda dengan kader yang masuk parpol tidak pernah
berkotor-kotor dengan rakyat sebelumnya. Ia masuk parpol bukan melalui suatu
seleksi ketat atau prosedur standar. Ia masuk karena punya pundi-pundi
finansial yang besar (pengusaha) dan popularitas (misalnya berlatar artis).
Tujuannya jelas: menyokong finansial parpol dan menarik massa melalui artis
yang sudah populer, jadi tidak perlu repot-repot kerja.
Rakyat saat ini juga cenderung memilih orang parpol yang sudah
familier, sering wira-wiri di layar televisi sebagai bintang film, iklan,
atau yang lainnya. Sang artis yang sudah populer pun tidak perlu pusing masuk
parpol, tidak perlu susah belajar politik, berparlemen, atau manajemen
kekuasaan. Cukuplah popularitasnya sebagai modal utama.
Pada akhirnya, parpol betul- betul diisi dengan orang-orang yang
sekadar mengetahui kekuasaan (dan uang tentunya), tetapi tidak memahami untuk
apa hakikat kekuasaan itu. Karena itu, mereka biasanya jadi anggota parpol
yang fanatik dan kekuasaan kemudian mereka jadikan bahan rebutan dan konflik.
Di mana ada celah untuk merebutnya akan dimasuki, apa pun risikonya. Padahal,
kekuasaan hanyalah tools dan instrumen, bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya
adalah penciptaan kondisi yang lebih baik bagi bangsa dan negara. Tujuan
akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Maka, penting sesungguhnya parpol diisi oleh orang-orang yang
berkualitas, baik secara intelektual maupun moral-spiritual. Kualitas
intelektual penting agar ia mengerti manajemen kekuasaan dan bagaimana cara
mengelolanya demi kemaslahatan bersama. Kualitas moral-spiritual juga penting
agar ia dapat menahan diri dari hasrat-hasrat serta godaan-godaan politik
yang semata-mata berorientasi pada kekuasaan dan uang. Akan sangat berbahaya
jika jiwanya kosong meski daya intelektualitasnya tinggi. Ia akan dengan
mudah terseret dan tercebur arus, lalu terlibat dalam kasus korupsi,
misalnya, atau suap-menyuap karena kekuasaan memang penuh dengan uang nan
menggoda.
Agen sosial
Parpol bukan tempat untuk mencari uang dan materi. Bukan pula
jadi tunggangan atau batu loncatan untuk mencari uang dan materi di
pusat-pusat kekuasaan (eksekutif dan legislatif). Parpol adalah entitas
politik yang memiliki peran besar dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan
negara. Ini perlu dipahami betul oleh para anggota parpol.
Parpol adalah agen sosial yang diharapkan memiliki kemampuan
untuk merealisasikan terobosan ide dan gagasan mereka dalam masyarakat.
Dengan kata lain, parpol adalah rumah pengabdian bagi masyarakat. Sebuah
tugas yang sesungguhnya mulia karena melayani untuk kebaikan masyarakat.
Maka, mau tidak mau parpol dengan kader-kader terbaiknya perlu
hadir di tengah-tengah rakyat, bukan sekadar datang dan menunjukkan
keberadaannya, melainkan untuk melayani mereka. Sebab, pada hakikatnya parpol
itu muncul dari rakyat. Rakyat adalah jiwa dan roh parpol.
Menjadi pelayan publik berarti bahwa keberadaan parpol
dimaksudkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara luas, bangsa dan
negara. Hal-hal yang dilakukan parpol seyogianya berorientasi pada perbaikan
kondisi masyarakat dan tidak hanya berfokus pada apa yang dirasakan benar
oleh parpol tersebut. Menjadi pelayan publik berarti bahwa parpol adalah
rumah bagi semua orang yang ingin mendapatkan pelayanan.
Jika kehadiran parpol di tengah-tengah masyarakat begitu
bermakna, akan tercipta hubungan dua arah yang efektif, efisien, dan kuat.
Menggunakan pendekatan Gioia dan Chittipeddi (1991), hubungan antara parpol
dan masyarakat adalah hubungan iterasi.
Kedua pihak terlibat dalam membangun pemahaman bersama. Pada
akhirnya, masyarakat akan merasakan betul manfaat dari kehadiran dan
keberadaan parpol sebagai salah satu pilar utama demokrasi. Apatisme
masyarakat terhadap parpol secara perlahan pun akan terkikis dengan
sendirinya dan masyarakat akan bisa berharap banyak akan lahirnya perubahan
kondisi ke arah yang lebih baik.
Parpol memang menjadi kunci utamanya. Jangan sampai yang selalu
ditampilkan parpol di ruang publik dan disaksikan masyarakat luas adalah
sisi-sisi negatifnya, yakni seni berpolitik yang membosankan dan cenderung
memuakkan karena penuh akrobat politik yang tidak bermutu atau penuh lelucon
yang tidak lucu layaknya badut. Parpol harus menunjukkan diri betul-betul
sebagai penyambung lidah rakyat yang meyakinkan, berwibawa, karismatik, serta
dapat diandalkan dan dipercaya.
Seperti dikatakan teolog John Calvin, yang dikutip Sabam Sirait
dalam bukunya, Politik Itu Suci (2013), politisi adalah posisi yang suci dan
sakral. Politisi dalam berbagai tindakannya sebagai figur publik menyandang
tugas penting untuk memancarkan terang di tengah kegelapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar