Mata
Rantai Lemah Nawacita Hukum
Rohman Budijanto ; Senior
editor Jawa Pos
|
JAWA POS, 29 November
2016
KETIKA M. Prasetyo dilantik
menjadi jaksa agung dua tahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut
ini kabar duka dari Jokowi. ”Ini berpotensi rawan intervensi dan ini
mengecewakan,” kata Emerson Yuntho, pentolan organisasi antikorupsi itu,
Kamis (20/11/2014) seperti dilansir JPNN. Prasetyo dikenal sebagai tokoh
Nasdem, bahkan mundur mendadak dari anggota DPR untuk menduduki kursi
pemuncak korps Adhyaksa.
Pada awal Jokowi menjabat,
memang timbul syak bahwa wong Solo ini serius merealiasikan janjinya dalam
Nawacita di bidang hukum (cita nomor 4). Yakni, menolak negara lemah dengan
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum. Namun, ketika keraguan
merebak pada Prasetyo, pengkritiknya diminta bersabar. Beri dia kesempatan
membuktikan diri. Begitu pro-Prasetyo menyarankan.
Kini setelah dua tahun memimpin
kejaksaan, malah makin menebal. ICW pun memberikan rapor merah. Termasuk soal
dugaan intervensi politis itu. ICW mencontohkan penghentian perkara dugaan
korupsi Bupati Bone Bolango Hamim Pou. Awalnya, Hamim menjadi bupati lewat
jalur independen. Setelah perkaranya dihentikan, Hamim bergabung dengan
Partai Nasdem, bahkan menjabat ketua DPW Gorontalo. Sulit dibuktikan, tapi
kaitan dengan penghentian dugaan korupsi layak dipertanyakan.
Kasus penangkapan jaksa Kejati
Jatim Ahmad Fauzi (AF) dalam kasus suap menunjukkan indikator buruk itu.
Diragukan, Kejagung akan menuntaskan siapa saja yang terlibat dalam suap itu.
Belum-belum, M. Prasetyo dan Kajati Jatim Maruli Hutagalung mengatakan AF
pemain tunggal. Dia pun ditahan dalam satu sel dengan orang yang diduga
memberinya uang (Jawa Pos, 27/11). Padahal, lazimnya, orang yang saling berkomplot
dipisah agar lebih mudah menguak kebenaran.
Selain itu, evaluasi negatif
ICW atas kepemimpinan Prasetyo sudah diberitakan meluas. Intinya, tak ada
prestasi besar yang bisa sejalan dengan tekad Jokowi-Jusuf Kalla (JK) lewat
Nawacita hukum itu. Mirip komentar awal ICW ketika Prasetyo dilantik. Tak ada
reformasi sistem yang bisa dirasakan publik.
Ketidakjelasan arah kerja
kejaksaan di bawah Prasetyo menjadikan Kejagung sebagai mata rantai lemah,
kalau bukan terlemah, dalam perwujudan janji-janji Jokowi-JK di bidang hukum.
Selain rapornya merah, Kejagung kadang menyasar orang yang dikenal bersih dan
penuh inovasi yang banyak menyumbangkan tenaga, uang, serta pikirannya untuk
negeri. Sama sekali tak ada bukti aliran uang untuk pribadi, tapi malah
dengan kekuatan penuh diringkus lebih dulu dengan pasal-pasal korupsi.
Kondisi penegakan hukum ini
makin muram karena KPK juga sedang melemah. KPK seperti bermain dan menikmati
zona nyaman. Yakni, seperti menghindari penangkapan yang bisa menimbulkan
serangan balik.
Terkait dengan kejaksaan, KPK
pernah melakukan penangkapan terhadap Marudut, yang diduga memerantarai suap
bos-bos PT Abipraya kepada Kajati DKI Sudung Situmorang dan Aspidsus-nya,
Tomo Sitepu. Marudut sudah divonis 3 tahun penjara. Namun, meski dua nama itu
disebut dalam vonis Marudut, KPK belum juga menetapkannya sebagai tersangka.
Kejaksaan Agung juga tak mengutak-atik posisi orang yang dicurigai
integritasnya tersebut.
Entah kenapa pula KPK seperti
ini. Mungkin para komisionernya belajar bersiasat. Sebab, pada awal
pemerintahannya, Jokowi terkesan tak terlalu antusias membela para komisioner
KPK yang dikuyo-kuyo aparat lain. Karena itu, KPK memilih menghindari
menyentuh institusi yang punya kewenangan menersangkakan orang, yakni Polri
dan kejaksaan. KPK juga terkesan tak bertindak maksimal dalam kecurigaan
korupsi dalam reklamasi Jakarta dan Sumber Waras yang menyangkut Basuki
Tjahaja Purnama.
Situasi penyelenggaraan hukum
yang tanpa arah reformatif ini terlihat tak terlalu diurus oleh pemerintahan
Jokowi. Kurang kredibel apa kritik lembaga sekelas ICW, tempat dulu Kepala
Staf Presiden Teten Masduki ”dibesarkan”? Toh, presiden seperti membiarkan.
Mungkin anggapannya yang penting pembangunan ekonomi. Ini betul juga. Tetapi,
bukankah ekonomi juga sedang lesu? Ketidakjelasan arah hukum ini bisa juga
turut membentuk situasi tak kondusif.
Memang ada upaya instan seperti
pembentukan Satgas Sapu Bersih (Saber) Pungli. Upaya itu patut diapresiasi.
Namun, tanpa reormasi yang lebih sistematis serta dikemudikan tokoh-tokoh
berintegritas tinggi, rasanya akan jadi sinisme. Sangat banyak kasus pungli,
tapi yang ditangkap satu dua. Bahkan, mulai muncul keluhan adanya perlawanan
dari sebagian birokrat yang bekerja melambatkan diri karena terbiasa menerima
pungli.
Sudah dua tahun kita kehilangan
momentum memperkuat hukum. Kalau boleh dibilang, ini kemerosotan jika
dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Saat itu KPK dibiarkan kuat,
disokong presiden, dengan segala risikonya demi menyemangati pemberantasan
korupsi. Beberapa kali KPK diserang, namun diamankan oleh presiden. Untuk
kejaksaan, saat itu tak terdengar kritik bahwa perkara diusut karena pesanan
bersifat dendam atau politis.
Waktu itu oposisi juga bebas
bersuara keras kepada pemerintahan. Banyak suara penyeimbang yang bisa
meredam kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan. Kini oposisi terdengar
sayup-sayup. Pemerintahan seperti dikemudikan dengan transaksi politik, yang
minim suara kritis akal sehat. Parpol terpecah-pecah dan pemerintah seperti
memanfaatkan kewenangannya untuk menguntungkan posisinya, minus keadilan.
Sudah dua tahun, kita banyak
kehilangan momentum hukum. Untuk menghidupkan kembali Nawacita hukum, perlu
keyakinan bahwa orang yang menjadi pucuk pimpinan institusi hukum benar-benar
bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya (bebas intervensi politik).
Kecuali, memang pembuatan Nawacita itu hanya untuk lucu-lucuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar