Mekarnya
Makar & Majunya Mundur
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM;
Visiting Professor pada Melbourne
Law School dan Faculty of Arts,
University of Melbourne
|
KORAN SINDO, 24 November
2016
Mengawali tulisan ini, saya ingin menjelaskan kenapa Catatan
Kamisan kali ini berjudul "Mekarnya Makar & Majunya Mundur".
Ada dua kejadian seakan terpisah, namun saling berhubungan —meski tidak
langsung— yang menarik perhatian saya dalam seminggu ini.
Pertama adalah langkah Presiden Joko Widodo yang melakukan
politik naik kuda di Hambalang dan politik makan siang di Istana dengan
beberapa Ketua Umum Partai, termasuk dengan Ketum Golkar, yang kabarnya akan
maju lagi menjadi Ketua DPR, setelah sebelumnya sempat mengundurkan diri.
Kedua, menjelang aksi demonstrasi 2 Desember, Kapolri Jenderal Tito Karnavian
memekarkan adanya potensi makar yang sedang digalang beberapa kelompok, untuk
menggulingkan pemerintahan Presiden Jokowi yang sah.
Soal mekarnya makar saya hanya akan membahas secara umum, karena
bukan kompetensi saya menganalisa lebih jauh persoalan hukum pidana demikian.
Menurut KUHP, ada beberapa pasal yang menyebut kata "makar", yaitu
Pasal 87 (yang mensyaratkan makar dengan adanya perbuatan permulaan pelaksanaan);
Pasal 104 (membunuh, merampas kemerdekaan, meniadakan kemampuan presiden dan
wapres memerintah); Pasal 106 (memisahkan diri dari wilayah negara
Indonesia); dan Pasal 107 (menggulingkan pemerintah).
Dalam Bahasa belanda, makar disebut aanslag yang dimaknai
gewelddadige aanval atau violent attack, yang bagi sebagian ahli pidana
mensyaratkan adanya serangan yang bersifat kuat atau nyata. Maka, kalau hanya
mengibarkan bendera separatis atau menyatakan pendapat memisahkan diri
semata, bagi beberapa ahli pidana, belum dapat dikategorikan sebagai tindakan
makar. Meskipun, cukup banyak putusan Mahkamah Agung yang tetap menghukum
bersalah pernyataan pendapat atau sikap yang demikian.
Terkait rencana demo 2 Desember, dan ancaman makar, saya menduga
yang sedang dikhawatirkan adalah terjadinya upaya penggulingan pemerintahan
yang sah menurut Pasal 107 KUHP—misalnya dengan upaya menduduki Gedung DPR,
dan mendesak diadakannya Sidang Istimewa MPR untuk memberhentikan Presiden.
Saya tidak akan membahas apakah demo 2 Desember dan rencana yang dikawatirkan
aparat kepolisian itu sudah memenuhi unsur delik tindak pidana makar,
biarkanlah itu menjadi lahan ahli pidana untuk membahasnya.
Izinkan saya memberikan perspektif hukum tata negara terkait
"menggulingkan pemerintah" yang diatur dalam Pasal 107 KUHP
tersebut. Penggulingan di sini harus dimaknai sebagai upaya untuk
memberhentikan pemerintahan yang sah secara melawan hukum, dan karenanya
menjadi tindak pidana makar.
Karena pemerintahan yang sah —dalam hal ini presiden dan wakil
presiden— hanya dapat diberhentikan melalui proses pemakzulan (impeachment) yang telah diatur secara
lebih detail dalam UUD 1945. Tidak sebagaimana dulu sebelum perubahan
konstitusi, MPR dapat bersidang untuk memberhentikan presiden; setelah
perubahan UUD 1945 harus ada sidang DPR dulu yang mengusulkan pemberhentian
karena presiden dianggap melanggar pasal pemakzulan. Usulan DPR demikian,
jikalaupun disetujui mayoritas anggota dewan, harus diputuskan dulu oleh
Mahkamah Konstitusi, sebelum akhirnya diputuskan pemberhentian presiden dalam
sidang MPR.
Sehingga, jikalaupun memang ada kelompok yang ingin mendorong
pemberhentian presiden di luar jalur yang diatur oleh UUD 1945 tersebut
—apalagi upaya itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan- maka langkah hukum
yang tegas memang harus ditegakkan oleh aparat kepolisian. Namun, sebaliknya,
jika tidak terbukti adanya upaya yang demikian, maka tindak pidana makar
sebaiknya tidak diterapkan, dan aksi unjuk rasa yang akan dijalankan cukup
dikawal dan dipastikan berjalan damai tanpa kekerasan sesuai aturan
perundangan yang berlaku.
Soal pergantian kepemimpinan nasional ini, marilah kita
sama-sama memastikan bahwa suksesi kepresidenan berjalan sesuai aturan
konstitusi. Artinya, jika tidak ada pelanggaran atau pasal pemakzulan, maka
presiden dan wakil presidennya harus diberikan kesempatan untuk memimpin
sampai akhir masa jabatannya.
Perbedaan pandangan politik ataupun ketidakpuasan kinerja
presiden ataupun wapresnya, tidak boleh dijadikan dasar untuk mendorong
proses impeachment. Soal-soal perbedaan dan ketidakpuasan demikian hanya bisa
disalurkan melalui pilpres setiap lima tahun. Kita sudah menunjukkan bahwa
Indonesia bisa melakukan pergantian presiden secara demokratis, tanpa harus
memberhentikan presiden sebelumnya. Kali pertama kita melakukannya adalah
ketika Presiden SBY mengakhiri 10 tahun masa tugasnya dan memberikan estafet
pemerintahan kepada Presiden Jokowi dengan damai. Mari kita jaga prestasi
itu, dan kembali berkompetisi pada pilpres 2019 yang akan datang.
Demikianlah, saya sudahi pembahasan terkait soal pertama tentang
"mekarnya makar" dan bagaimana kita sebaiknya tidak mendorong maju
ataupun mendesak mundur proses penggantian presiden. Biarkan semuanya
berjalan sesuai aturan konstitusi dan kehidupan demokrasi yang bermoral. Soal
moralitas demokrasi inilah yang ingin saya garis bawahi pada bagian kedua
tulisan Catatan Kamisan ini.
Bagaimanapun, saya membaca hiruk-pikuknya politik di Tanah Air
kita sekarang, sedikit banyak dipengaruhi oleh tensi persaingan Pilgub
Jakarta 2017, yang sebenarnya juga berwarna kompetisi Pilpres 2019. Saya
khawatir bahwa siklus panasnya suhu politik ini akan berulang per lima tahun,
selanjutnya di Pilgub Jakarta 2022, yang berasa Pilpres 2024, dan begitu
seterusnya.
Walaupun, Pilgub Jakarta kali ini terasa lebih hangat dan
menantang karena hadirnya sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang
sayangnya membawa nuansa SARA etnis dan agama ke dalam politik Pilgub
Jakarta. Kita semua paham, bahwa persaingan politik —termasuk pilgub Jakarta
harusnya mengedepankan moralitas berdemokrasi, dan tidak terjebak dengan isu
SARA yang berbahaya. Moralitas demokrasi juga tidak hanya mendorong kapan
negawaran tahu untuk maju bersaing, tapi juga bila saatnya mundur bertanding.
Soal maju dan mundur dalam perpolitikan negara ini, memang tidak
semuanya soal aturan hukum, tetapi juga soal derajat kenegarawanan seorang
pemimpin. Yang terkait soal aturan hukum, tetap ada. Misalnya, Ahok yang
sekarang menjadi tersangka tindak pidana penodaan agama, tetap tidak bisa
mengundurkan diri karena telah ditetapkan KPUD Jakarta sebagai calon
gubernur.
Kalau memaksakan mengundurkan diri, Ahok justru bisa dijerat
tindak pidana dan dihukum penjara serta denda menurut UU pemilihan kepala
daerah. Namun, tidak semua aturan bernegara itu, harus diatur hukum. Justru
di atas hukum itu ada moralitas, meskipun tidak tertulis dalam hukum positif.
Saya sering mengutip pernyataan Profesor Hukum Yale University
Ronald Dworkin yang mengatakan, "Moral principle is the foundation of
law". Karena itu saya menaruh hormat pada Presiden Habibie, yang tidak
maju menjadi calon presiden di tahun 1999, karena pidato
pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR—meskipun tidak ada aturan hukum
tertulis yang melarangnya untuk maju lagi sebagai capres. Soal mundur dari
jabatan kepresidenan, saya juga menaruh hormat kepada Moh. Hatta yang di
tahun 1956 memilih mundur dari kursi wapres ketimbang berbeda pendapat dengan
Presiden Soekarno.
Hormat yang sama bagaimanapun perlu kita sematkan kepada
Presiden Soeharto yang memilih berhenti alias mundur dari kursi presiden di
tahun 1998. Sebagian kalangan mungkin berpandangan mundurnya itu karena
tekanan massa saat itu. Namun, Presiden Soeharto bisa saja memilih tetap
bertahan dan menggunakan kekuatan TNI yang saat itu masih cukup solid di
belakangnya untuk berhadapan dengan gerakan reformasi. Hal yang tidak dipilih
oleh Pak Harto.
Soal budaya mundur karena moralitas kepemimpinan inilah —bukan
semata karena aturan hukum— yang sekarang perlu terus kita dorong dalam
kehidupan berdemokrasi di tanah air. Tidak banyak pejabat negara kita yang
melakukannya. Baru-baru ini, kita mencatat Andi Mallarangeng yang memilih
mundur dari Menpora ketika baru ditetapkan menjadi tersangka korupsi. Di level
Dirjen akhir tahun lalu kita melihat Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito dan
Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengundurkan
diri karena merasa gagal dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
Sebenarnya desakan mundur juga didorong oleh beberapa kalangan
kepada Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Kedua
pimpinan negara itu telah diputus bersalah melanggar etika. Ketua MK karena
mengeluarkan katebelece, Ketua BPK karena keterkaitannya dengan Panama Paper.
Namun, keduanya memilih untuk bertahan, dan memang aturan hukum tertulis
tidak ada yang melarang pilihan sikap keduanya tersebut. Meskipun sebagai
negarawan menurut UU MK, maupun sebagai pimpinan lembaga audit negara,
standar derajat etika dan moralitas keduanya tentu harus di atas rata-rata
pejabat negara lainnya.
Soal pilihan mundur itu pula yang sempat menjadi berita di akhir
tahun lalu, dan sekarang muncul lagi sebagai berita akan majunya kembali
Setya Novanto ke kursi ketua DPR. Secara tegas, tidak ada aturan hukum
tertulis yang dilanggar jika kelak Ketua DPR kembali dijabat yang
bersangkutan. Pun, mayoritas partai politik di DPR akan menerimanya sebagai
keputusan internal Partai Golkar yang harus dihormati. Presiden Jokowi
sendiri —yang pernah berang karena namanya dicatut meminta saham— saya duga
akan menerimanya sebagai realitas politik.
Pada titik inilah isu "mekarnya makar" dan
"majunya mundur" dalam Catatan Kamisan ini bertemu. Akhirnya
nilai-nilai demokrasi kita kembali diuji, sejauh mana kita bisa meletakkan
moralitas antikorupsi untuk maju atau mundur dalam berkoalisi ketika
berhadapan dengan ancaman makar yang tersebar di dunia maya.
Ataukah, semua soal moralitas selesai di meja makan siang
Istana? Tentu tidak mudah untuk menjawabnya. Hitungan politiknya tentu tidak
gampang, dan saya bukan ahlinya. Saya serahkan kepada para ahli politik dan
sidang pembaca untuk menyimpulkannya.
Keep on fighting for the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar