Donald Trump dan Timur Tengah
Smith Alhadar ; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
|
TEMPO.CO, 25 November 2016
Mulai Januari mendatang, Donald Trump menduduki Gedung Putih sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru. Dengan Amerika di bawah pemerintahan Trump, Timur Tengah akan mengalami perubahan sekaligus ketegangan baru. Israel, Palestina, Suriah, Iran, dan negara-negara Arab Teluk menghadapi situasi baru beserta dampaknya yang besar. Dukungan pemerintah Trump yang tanpa reserve kepada pemerintah garis keras Israel, termasuk mendukung pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat serta pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, akan mengobarkan pemberontakan Palestina dan memberi pembenaran bagi Hamas untuk mulai angkat senjata lagi.
Korban berikutnya adalah pengungsi Suriah. Tidak seperti Barack Obama, Trump menolak pengungsi Suriah masuk ke AS. Untuk mengatasi soal pengungsi, AS akan mengupayakan "zona aman" di dalam wilayah Suriah. Tapi AS juga akan menekan negara Arab Teluk agar membiayai kebutuhan jutaan pengungsi tersebut. Selanjutnya, dalam rangka rekonsiliasi dengan Rusia, AS berencana memberi kebebasan kepada Moskow untuk mencapai target-targetnya di Suriah. Dan, sebagaimana Rusia, AS juga akan mendukung rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad. Sebaliknya, AS akan menekan negara Arab Teluk agar menghentikan bantuan senjata dan logistik lainnya ke kelompok-kelompok oposisi. Bersama Moskow, Washington akan membentuk pemerintahan persatuan dengan Bashar al-Assad sebagai pemimpin serta menyertakan kelompok oposisi yang mau berdamai dengan Assad. Tentu ini akan menciptakan ketegangan antara AS di satu pihak dan Arab Teluk di pihak lain.
Kebijakan AS lainnya yang akan menimbulkan keruwetan baru di Timur Tengah adalah niat Trump membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran, yang dicapai pada Juni tahun lalu antara Iran dan P5 (anggota permanen Dewan Keamanan PBB, yakni Cina, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS) plus Jerman. Perjanjian ini mengharuskan Iran membatasi program pengayaan uranium hingga batas yang tidak memungkinkan Iran membuat bom nuklir. Bagaimanapun, perjanjian ini telah membuat Israel dan Arab Saudi sekutu AS marah besar. Iran tidak dipercaya dapat memegang janjinya. Terlebih, perjanjian itu membebaskan Iran dari sanksi di bidang ekonomi, sehingga negeri itu dipandang lebih leluasa menjalankan politik regionalnya yang merugikan Arab dan Israel.
Untuk menstabilkan Timur Tengah dalam kaitan isu Iran, AS akan membangun hubungan segitiga Turki-Mesir-Arab Saudi di bawah sokongan AS. Pembatalan perjanjian nuklir dengan Iran akan memuluskan jalan kaum konservatif di Iran kelompok yang menentang perjanjian nuklir memenangi pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada Mei tahun depan.
Kebijakan AS terhadap Iran ini kontradiktif dengan kebijakan terhadap Suriah. AS tidak mungkin memaksa Rusia dan Suriah memutus hubungan dengan Iran, yang ikut terlibat dalam perang Suriah. Iran adalah sekutu Rusia dan Suriah terkait dengan proxy war di Suriah. Selain itu, niat Trump memerangi dengan keras Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak akan mulus tanpa keterlibatan Iran, yang memiliki milisi Syiah di Irak dan pasukan di Suriah. Bila AS membatalkan perjanjian itu, kredibilitas pemerintah Trump sebagai pihak yang berkomitmen pada perjanjian internasional akan tercoreng. Lebih dari itu, AS menciptakan ketegangan dengan Iran yang akan memaksa negara itu terutama bila kaum konservatif menang menghidupkan lagi program nuklirnya.
Memang tidak mudah menjalankan kebijakan yang ideal di Timur Tengah. Tapi kebijakan AS yang agresif, yang memberi keleluasaan kepada Israel, menciptakan permusuhan baru dengan Iran. Adapun membebani negara Arab Teluk dengan biaya besar untuk penanganan pengungsi Suriah saat pendapatan mereka menurun drastis akibat anjloknya harga minyak dunia hanya akan menambah persoalan baru di Timur Tengah. Trump juga harus menilik kebijakan mendukung koalisi Arab dalam perang di Yaman. Tidak ada prospek kemenangan koalisi Arab dalam perang itu, sementara kehancuran infrastruktur dan tragedi kemanusiaan sedang berlangsung di negara Arab termiskin tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar