Menyelamatkan
Generasi Emas Indonesia
Emil Salim ; Dosen
Pascasarjana Universitas Indonesia;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS, 22 November
2016
Di tengah kelesuan usaha ekonomi sekarang, usaha bisnis rokok
mencatat keuntungan besar. Hasil laporan keuangan perusahaan rokok Djarum
mencatat, kuartal III-2016 pertumbuhan laba sebesar 13,16 persen, sedangkan
perusahaan rokok Gudang Garam meraih laba 12,06 persen. Para pengamat
memperkirakan emiten rokok masih bisa membukukan keuntungan hingga akhir
tahun 2016 sebesar 7 persen.
Besar dugaan bahwa keuntungan serupa bakal diraih perusahaan
rokok lain, seperti HM Sampoerna/Philip Morris dan Bentoel/British American
Tobacco. Kedua perusahaan rokok ini telah memutuskan pada 2015 untuk
investasi baru masing-masing sebesar 1,9 miliar dollar AS (HM
Sampoerna/Philip Morris) dan 1 miliar dollar AS (Bentoel/British American
Tobacco). Keempat perusahaan ini di tahun 2013 saja sudah menguasai 80 persen
dari pangsa pasar rokok Indonesia. Maka kentaralah betapa ”cemerlangnya” masa
depan industri rokok di Indonesia ini.
Menyasar usia
muda
Perkembangan industri rokok semakin dipacu oleh kebijakan mantan
Menteri Perindustrian Saleh Husin pada Agustus 2015 yang menetapkan ”Peta
Jalan Industri Rokok 2015-2020” dari 398,6 miliar batang (2015) menjadi 524,2
miliar batang rokok (2020). Dari jumlah ini, hanya 0,15 persen adalah sigaret
kretek tangan (SKT) yang padat karya.
Selebihnya adalah sigaret mesin. Sebesar 50 persen adalah
sigaret kretek mesin mild yang naik 100 persen menjadi 306,2 miliar di tahun
2020 dengan kadar nikotin ringan (mild) yang digemari perokok usia muda.
Komposisi produksi rokok seperti ini sesuai dengan kebijakan
industri rokok yang mengandalkan pasarannya secara khusus pada perokok usia
muda karena konsumen perokok muda melanggengkan pasar rokok sampai usia tua.
Sementara itu, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat kini
sedang menggodok RUU tentang Pertembakauan yang secara eksplisit menyebut
bahwa tembakau merupakan warisan budaya Indonesia dan hasil dari tanaman
nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies yang mengandung nikotin dan
tar. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah
secara gamblang dinyatakan bahwa nikotin mengandung ciri adiktif yang
membangkitkan ketagihan sehingga pemakai nikotin menjadi budak kecanduannya.
Tampaklah sikap lunak mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin
dan Badan Legislasi DPR dalam mendukung sikap ofensif industri rokok. Namun,
semua ini justru membuka mata masyarakat.
Perlawanan
masyarakat
Yang menjadi sebab utama bangkitnya perlawanan adalah sifat frontal
industri rokok merebut generasi muda dalam pasar rokoknya. Puncak usia
perokok dini adalah 15-19 tahun yang mencapai 57,3 persen perokok laki-laki
dan 29,2 persen perokok perempuan (2013).
Di samping ini sasaran iklan, promosi, sponsorship industri rokok
menyebabkan kelompok usia 10-14 tahun naik jumlah perokok laki-lakinya
menjadi 18,1 persen dan perempuan 9,3 persen. Adapun penduduk usia 5-9 tahun
jumlah perokok dininya adalah 1,6 persen laki-laki dan 1,4 persen perempuan.
Industri rokok berkepentingan merekrut perokok pemula di bawah
20 tahun sebesar 77 persen laki-laki dan 40 persen perempuan untuk
menggantikan perokok dewasa di atas 20 tahun yang jumlah perokoknya tak
sampai 23 persen laki-laki dan 59 persen perempuan. Tanpa perokok dini, industri
rokok tidak bisa berlanjut jika hanya mengandalkan perokok usia dewasa.
Namun, rokok mengandung nikotin yang jika diisap merusak prefrontal cortex, bagian depan otak
manusia yang menurut para ahli berfungsi kognitif dan tumbuh berkembang
terutama menjelang usia dewasa 20 tahun. Kadar intelektualitas, kemampuan
pengambilan keputusan, perkembangan logika, semua ini terletak dalam bagian
depan otak manusia ini. Dengan demikian, usaha merebut pasar di kalangan usia
di bawah 20 tahun oleh industri rokok adalah sama dengan menghancurkan
potensi kreativitas generasi muda kita. Di sinilah terletak inti konflik
antara kepentingan industri rokok dan kepentingan bangsa.
Apalagi jika diingat bahwa Indonesia sedang menghadapi bonus
demografi di tahun-tahun 2015-2040 sehingga berpotensi menghasilkan generasi
emas yang penuh elan dan vitalitas membawa Indonesia ke gerbang lepas landas
selambat-lambatnya di tahun 2045. Generasi emas ini hanya bisa berhasil
memimpin Indonesia lepas landas apabila mutu kualitasnya mencapai puncak
kemampuannya. Karena itu, secara mutlak perlu diusahakan agar generasi muda
kita terlepas dari ancaman nikotin rokok.
Sesungguhnya peta jalan mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin
bertentangan dengan garis kebijakan Presiden Joko Widodo yang menetapkan
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, Januari 2015, mengenai sasaran
pembangunan kesehatan: ”menurunkan prevalensi rokok penduduk usia 18 tahun ke
bawah dari 7,2 (2013) ke sasaran 5,4 (2019), penurunan prevalensi merokok
sebesar 25 persen dalam lima tahun”.
Menteri Pendidikan menyambut kebijakan Presiden dengan
menetapkan peraturan menteri pada Desember 2015 yang mengatur bahwa
lingkungan sekolah harus menjadi kawasan tanpa rokok. Gubernur DKI Jakarta
menetapkan larangan pemasangan iklan di ruang terbuka Jakarta Raya.
Beberapa pemimpin pemerintah daerah, seperti Bupati Kulon Progo
serta Wali Kota Sukabumi dan Bogor, telah menerapkan ”Kawasan Tanpa Rokok” di
wilayah mereka. Sejumlah media juga menolak pemuatan iklan dalam siaran dan
penerbitannya. Sungguhpun ini menggembirakan, lebih banyak usaha perlu
ditumbuhkan untuk menyelamatkan generasi emas bonus demografi kita.
Petani
tembakau
Di samping itu, tak kurang penting adalah usaha menyelamatkan
petani tembakau dari cengkeraman ”bandol” (tengkulak), ”juragan”, ”grader
tembakau di gudang pabrik rokok” yang praktis menarik manfaat dari jerih
payah petani tembakau Indonesia, khususnya petani gurem.
Dalam rangka perkembangan ini sangat penting prakarsa Pimpinan
Pusat Muhammadiyah untuk bersama Komite Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat, Ikatan Dokter Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat
dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, dan
lain-lain mengambil prakarsa menyusun ”Peta Jalan Penyelamatan Masyarakat
Bangsa dari Adiksi Nikotin Rokok”, sebagai ikhtiar nyata mendorong pemerintah
untuk menyelamatkan generasi muda emas Indonesia dari cengkeraman kecanduan
nikotin agar mampu membawa Indonesia lepas landas di tahun 2045. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar