Membagi
Kekuasaan Kehakiman
Binsar M Gultom ; Dosen
Pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta
|
TEMPO.CO, 29 November
2016
Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Jabatan Hakim dan kini memasuki tahap pembahasan oleh DPR serta
pemerintah. Rancangan ini akan mengubah kekuasaan kehakiman sekarang karena
membagikan tanggung jawab kekuasaan kehakiman kepada lembaga lain.
Yang pertama-tama harus digarisbawahi adalah independensi
kekuasaan kehakiman harus dijaga. Mengapa? Pertama, Pasal 24 ayat 1 UUD 1945
mengatakan "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan", sehingga
lembaga ini perlu dijaga sedemikian rupa, jangan sampai ada pihak lain yang
mengintervensi sesuai dengan ajaran Trias Politica-Montesqueu (sistem pembagian kekuasaan negara). Untuk
menjaga martabat dan wibawa kekuasaan kehakiman itu, pemerintah telah
membentuk sebuah lembaga Komisi Yudisial (KY) sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22/2004 tentang KY.
Kedua, Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan "Kekuasaan
kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan
Mahkamah Konstitusi (MK)". Dengan dasar ini, tidak ada landasan hukum
sedikit pun bagi pemerintah dan DPR untuk membagikan tanggung jawab kepada
lembaga yudikatif (MA) di luar kekuasaan kehakiman. Jika pemerintah
berkehendak membagikan tanggung jawab kekuasaan kehakiman selain kepada MA
dan MK, menurut penulis, ubah dulu Pasal 24 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Diadakannya sistem satu atap lembaga kekuasaan kehakiman di
bawah Mahkamah Agung merupakan kesepakatan reformasi untuk mengembalikan
kemurnian sifat independensi kekuasaan kehakiman yang mandiri, yang selama
ini terabaikan oleh pemerintah. Jika masih ada produk undang-undang lain yang
bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang di bawahnya dengan sendirinya
akan batal demi hukum atau setidaknya bisa dibatalkan lewat pengajuan
materiil ke MK.
Buktinya, untuk memurnikan independensi kekuasaan kehakiman
tersebut dari segala campur tangan pemerintah dan legislatif, termasuk pihak
lain, presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2004
tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan peradilan
umum, tata usaha negara dan agama ke MA. Yang selama ini dipegang oleh
Kementerian Kehakiman (Kementerian Hukum dan HAM), kini telah dipegang
seutuhnya oleh lembaga yudikatif, yakni MA.
Ada alasan bahwa kekuasaan kehakiman yang ditumpuk pada satu
titik di MA membuat beban berat bagi MA dalam manajemen hakim dan perkara.
Sehingga, idealnya aspek manajemen hakim dibagi dengan lembaga independen
lain untuk mencegah kekuasaan absolut di satu lembaga. Alasan ini haruslah
ditolak karena pembagian kekuasaan kehakiman tidak menjamin tidak akan ada
lagi masalah di lembaga yudikatif (MA).
Jika kekuasaan kehakiman yang dipegang MA akan dibagi-bagikan
kepada lembaga independen lain, apakah lembaga yudikatif, seperti MK, atau
lembaga legislatif dan eksekutif akan dibagi-bagikan juga tanggung jawabnya
kepada lembaga independen lain? Lembaga mana di Indonesia ini yang
administrasi dan manajemennya sempurna 100 persen? Hemat penulis, jika ada
kekurangan di MA, bukan berarti lembaganya yang diobok-obok, tapi mari kita
berpikir jernih untuk mencari solusi tanpa harus merombak Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dan turunannya yang masih berlaku.
Kewenangan kekuasaan kehakiman, baik secara teknis peradilan
maupun administrasi peradilan, dipegang MA yang memiliki dasar hukum.
Pertama, konstitusi dan UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004. Kedua, putusan MK tertanggal 7
Oktober 2015, yang telah mencabut kewenangan KY di bidang perekrutan hakim
pada tingkat pertama.
Jika pemerintah dan DPR berinisiatif mengadopsi semangat
pembagian kekuasaan kehakiman, seperti dalam hal perekrutan dan promosi serta
mutasi hakim, hemat penulis, campur tangan dan intervensi terhadap kekuasaan
kehakiman tersebut justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 24 ayat 1 dan 2
UUD 1945. Dengan demikian, menyangkut pembagian kekuasaan kehakiman dan usia
para hakim yang rencananya akan diturunkan dan dilakukan periodisasi
sebaiknya tidak perlu dimasukkan ke RUU Jabatan Hakim. Selain perubahan itu
akan bertentangan dengan UUD 1945, hal tersebut akan kontradiktif dengan
putusan MK terkait dengan dikabulkannya usia hakim pajak, tanpa periodisasi
yang telah disetarakan dengan usia hakim tinggi pada pengadilan tinggi tata
usaha negara yang maksimal 67 tahun. Dengan diturunkannya usia para hakim
hingga hakim agung akan berdampak bagi perubahan terhadap Undang-Undang
Mahkamah Agung, Undang-Undang Peradilan Umum, Agama, Tata Usaha Negara, dan
Militer, yang masih menetapkan usia pensiun para hakim tingkat pertama pada
65 tahun, hakim tingkat banding 67 tahun dan hakim agung 70 tahun.
Penurunan usia hakim dan periodisasi setiap lima tahun tidak
akan menyentuh persoalan terhadap peningkatan kinerja para hakim. Hal ini
justru akan merosotkan kualitas putusan hakim karena keahlian para hakim yang
bertugas nantinya mayoritas kurang memiliki kemampuan di bidang teknis
perkara. Hemat penulis, yang menjadi fokus pada RUU Jabatan Hakim ini
sebaiknya menyangkut kesejahteraan dan keamanan para hakim dan status
jabatannya sebagai pejabat negara yang selama ini terabaikan oleh pemerintah.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar