Siapa
Hendak Makar
Benny K Harman ; Politisi
Senior Partai Demokrat
|
KOMPAS, 24 November
2016
Ada berita besar hari Senin, 21 November 2016. Megawati
Soekarnoputri dalam kapasitasnya sebagai presiden ke-5 RI bertemu Presiden
Joko Widodo di Istana Negara. Agenda pertemuan tentu terkait politik terkini.
Pada hari yang sama di Mabes Polri berlangsung konferensi pers Kapolri
Jenderal (Pol) Tito Karnavian bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Segaris dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut adanya
aktor-aktor politik yang menunggangi aksi demonstrasi, Kapolri juga
menyatakan adanya agenda gelap untuk makar dalam kegiatan unjuk rasa tanggal
2 Desember mendatang. Sementara itu, Panglima TNI mengatakan, jajarannya
bersama Polri siap menghadapi upaya makar yang diduga disusupkan dalam aksi
pada 2 Desember itu nanti.
Isu tentang rencana kudeta atau makar ini memang telah beredar
luas dalam satu-dua minggu terakhir ini. Namun, ketika isu makar ini menarik
perhatian seorang presiden yang tengah menjabat, yang baru saja melakukan
pertemuan dengan seorang mantan presiden, nilai dan gemanya menjadi lain. Ini
ancaman serius untuk stabilitas negara.
Harus
diperjelas
Tampaknya, berita atau barangkali "laporan intelijen"
seolah akan ada rencana makar inilah yang bisa menjawab pertanyaan besar dari
rakyat mengapa Presiden Jokowi secara maraton berkunjung ke satuan-satuan
tempur khusus, baik TNI maupun Polri. Dalam berbagai pernyataan disebutkan,
jika ada keadaan darurat, Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI akan
mengerahkan satuan-satuan khusus untuk menindak "musuh negara".
Tentu berita ini akan memiliki dampak psikologis yang besar dan
luas bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, Presiden perlu memberikan
eksplanasi secara terang benderang kepada publik mengenai siapa yang
dimaksudkan akan melakukan makar ini. Jika tidak, justru akan segera membuat
komponen bangsa terpecah. Saling curiga satu sama lain. Masyarakat akan
menjadi tegang.
Mengikuti perkembangan politik yang terjadi sekarang, saya
teringat pada situasi dan peristiwa yang terjadi di republik ini tahun 1965. Menjelang
dilakukan gerakan kudeta atau makar yang dilancarkan Letkol Untung dkk yang
didukung oleh elemen Partai Komunis Indonesia, telah santer diberitakan bahwa
ada rencana makar terhadap Presiden Soekarno. Yang dicurigai dan dituduh akan
melakukan makar waktu itu adalah yang disebut Dewan Jenderal.
Dengan isu rencana makar Dewan Jenderal itulah akhirnya gabungan
elemen TNI dan elemen politik melancarkan perebutan kekuasaan atau makar dari
tangan pemerintah yang sah. Alasannya adalah untuk mendahului aksi makar yang
bakal dilakukan oleh Dewan Jenderal. Cerita selanjutnya setelah terjadinya
aksi makar pada 30 September 1965 itu telah menjadi bagian dari sejarah kita.
Segera setelah aksi makar itu, Indonesia tercinta mengalami tragedi besar.
Rakyat Indonesia hari-hari ini akan bertanya kepada pemimpin dan
pemerintahnya apakah benar akan ada makar dan siapa yang akan melakukan makar
itu? Dari elemen mana? Karena hampir semua aksi makar di mana pun di dunia
itu dilakukan oleh elemen militer, pertanyaannya apakah ada ambisi dan
rencana dari kalangan TNI untuk melakukan makar? Lantas, kalau tidak ada,
dari siapa? Rakyat akan melakukan makarkah?
Kita semua rakyat Indonesia bertanya-tanya dalam ketakutan,
ketidakpastian, dan mungkin juga saling curiga satu sama lain. Situasi
nasional dikhawatirkan akan menjadi tidak aman karenanya. Dunia pun akan
menyoroti, ada apa dengan Indonesia? Yang dikhawatirkan adalah jangan sampai
justru isu makar ini akan membuat gejolak di dunia perekonomian. Jika merasa
ada ketidakpastian, bahkan kecemasan bakal terjadi krisis politik dan
keamanan, pasar bisa nervous dan bereaksi negatif dan akhirnya menjadi sulit
untuk dikontrol. Kalau ekonomi jatuh, rakyat jugalah yang menjadi korban.
Siapa bermain
Ada lagi pertanyaan penting. Sinyalemen rencana makar ini apakah
benar-benar produk dari lembaga intelijen Indonesia yang resmi atau bukan?
Kalau benar, sejauh mana kebenaran dan akuntabilitas dari laporan intelijen
itu? Ingat, di seluruh dunia, banyak sekali intelijen yang salah. Karena
intelijennya salah, keputusan dan tindakan yang diambil pemerintah juga
salah.
Atau jangan-jangan ada pihak yang memancing di air keruh.
Sengaja mendesain kekacauan atau political
chaos untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Kita jadi ingat cara-cara
intelijen yang klasik. Ciptakan kondisi, timbulkan musuh dan ancaman,
kemudian tumpas. Pihak yang merekayasa dan sekaligus bisa mengatasi itu
akhirnya menjadi pahlawan dan mendapatkan posisi politik yang diharapkan.
Dalam sejarah di banyak negara, cara murah tapi jahat itu sering dilakukan
oleh mereka yang memiliki ambisi politik tinggi, tetapi tak mau melalui jalan
demokrasi. Itulah yang dulu kita kenal sebagai Operasi Intelijen yang Hitam.
Mungkin ada yang mencurigai bahwa ada tangan-tangan asing yang
bermain. Mereka sengaja membuat negara kita porak poranda. Tapi, negara mana
di abad ini yang mau berbuat seperti itu? Adakah indikasi ke arah sana? Kalau
memang benar, mengapa pihak intelijen negara tak mampu mengungkap
"gerakan" ini? Tidakkah organisasi intelijen itu dibentuk, dididik,
dibiayai, dan ditugasi untuk menghadapi musuh negara, bukan menjadi
kepanjangan dari kepentingan politik golongan tertentu?
Pesan
demokrasi
Kembali pada isu rencana makar tadi, menurut saya ada sebuah
pesan yang sangat penting, yaitu pesan demokrasi. Janganlah ada pihak mana
pun di negeri ini yang memimpikan untuk mendapatkan kekuasaan politik dengan
cara merebutnya dari tangan yang sah. Tidakkah kita bersepakat untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan politik melalui cara-cara yang
demokratis? Ada pemilihan umum yang secara reguler diselenggarakan setiap
lima tahun. Itulah amanah konstitusi yang harus kita junjung tinggi dan
lakukan.
Kalau ingin menjadi presiden dan wakil presiden, ikutilah proses
pemilihan umum. Jangan menjegal dan merebut dari pemilik sahnya di tengah
jalan. Apalagi jika melalui makar. Terlebih lagi jika makar itu menggunakan
senjata. Senjata itu milik rakyat yang
dipinjamkan kepada tentara untuk menghadapi musuh negara, terutama yang
berkaitan dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Bukan untuk
kepentingan politik. Kalau itu terjadi, menangis Ibu Pertiwi dan robek
demokrasi kita.
Saat ini, rakyat yang tidak selalu berdaya sungguh memerlukan
perlindungan, kejelasan, dan kepastian. Rakyat telah
memberikan mandatnya kepada para pemimpin dan wakil-wakilnya melalui Pemilu
2014 dan pilkada-pilkada yang telah diselenggarakan. Saatnya para pemimpin membalas jasa rakyat dengan cara
memberikan ketenangan, dan bukan sebaliknya, menaburkan ketakutan dan
kebencian sesama warga.
Mungkin ada pertanyaan orang-orang yang pasrah, jika pemerintah,
TNI, dan Polri telah memiliki posisi untuk memberikan ultimatum kepada mereka
yang diendus akan melakukan makar, yang belum tentu rakyat bisa memahaminya,
lantas siapa lagi yang bisa menenangkan hati rakyat kita? Mestinya Presiden
Jokowilah yang secara moral dan politik wajib melakukannya. Presidenlah yang paling bertanggung jawab atas apa yang
terjadi dan tidak terjadi di negara ini. Pak Jokowi harus membuat rakyat
tenang. Juga dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya.
Semoga negeri tercinta ini selalu dilindungi oleh Allah Swt,
Tuhan Yang Maha Esa. Semoga tidak terulang pula sejarah kelam tahun 1965
dulu. Sakitnya di sini, di hati kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar