Nasionalisme,
Trisakti, dan Globalisasi
Eko Sulistyo ; Deputi
Komunikasi Politik dan Desiminasi Informasi
Kantor Staf Presiden
|
KORAN SINDO, 23 November
2016
Nasionalisme mempunyai sejarah panjang dalam proses pembentukan
bangsa Indonesia. Akar nasionalisme Indonesia lahir sebagai ideologi
perlawanan terhadap kolonialisme.
Dengan demikian, sejak kelahiran nasionalisme Indonesia sudah
berwatak progresif karena melawan tatanan kolonial yang menindas rakyat dan
bangsa Indonesia. Seorang pendiri bangsa yang sepanjang hidupnya tidak kenal
lelah menggelorakan nasionalisme adalah Soekarno, presiden pertama RI.
Nasionalisme Soekarno bukanlah nasionalisme ala Barat yang dia anggap telah
menciptakan imperialisme dan menjajah bangsa lain untuk motif politik dan
ekonomi. Nasionalisme bagi Soekarno adalah nasionalisme yang menyelamatkan
kemanusiaan, ”Nasionalismeku adalah perikemanusiaan.”
Sebagai antitesis dari nasionalisme Barat yang kolonialis dan
imperialistik, Soekarno mengembangkan apa yang ia sebut ”sosio-nasionalisme”
dan ”sosio-demokrasi.” Keduanya merupakan paham nasionalisme politik dan
nasionalisme ekonomi sekaligus. Sosio-nasionalisme adalah sebuah nasionalisme
yang bertujuan memperbaiki situasi dalam masyarakat sehingga tidak ada lagi
kaum tertindas seperti yang terjadi dalam kapitalisme.
Sosio-nasionalisme adalah sebuah paham nasionalisme kerakyatan,
sebagai antitesis nasionalisme borjuis yang hanya mengabdi pada kepentingan
elitis. Jadi, sosio-nasionalisme adalah sebuah bangunan nasionalisme
kerakyatan yang tumbuh dan berkembang di luar sistem kapitalisme yang
menindas. Sementara sosio-demokrasi menjabarkan bahwa demokrasi politik harus
sejalan dengan demokrasi ekonomi. Dengan konsep ini, jalan demokrasi bisa
dianggap sukses bila demokrasi ekonomi juga dijalankan secara bersamaan.
Demokrasi politik akan dianggap gagal bila tetap terjadi kesenjangan sosial,
keadilan, dan kemiskinan yang luas. Tidak ada demokrasi politik tanpa
demokrasi ekonomi.
Globalisasi
Bermuka Dua
Gagasan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi Soekarno masih
relevan dalam konteks menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Globalisasi
di sini harus dipahami secara kritis karena mempunyai dua muka. Pertama,
globalisasi dapat dipahami secara positif sebagai runtuhnya batas-batas
negara akibat perkembangan teknologi dan informasi, dan paling maju adalah
perkembangan pesat dalam dunia interaksi digital dan internet melalui media
sosial.
Informasi dan pengetahuan memiliki dimensi sosial yang kuat
karena tidak lagi berwajah tunggal dan dimonopoli, tapi menyebar dan dapat
diakses semua orang. Kedua, globalisasi menyembunyikan fakta terjadi tataran
ekonomi-politik yang timpang di antara berbagai negara. Sekarang ini
negara-negara maju yang disebut dengan ”Kelompok Utara” mendominasi kekuasaan
ekonomi dan politik atas apa yang disebut dengan negara-negara ”Kelompok
Selatan” di Asia- Afrika dan Amerika Latin.
Akibat itu, slogan globalisasi yang seolah bermakna setara dalam
kenyataannya tidak terjadi. Negara- negara utara mengatur negara- negara
selatan melalui berbagai institusi keuangan, perdagangan, hingga Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Wajah globalisasi yang ”tidak setara dan timpang” ini
dikenal juga dengan istilah neoliberalisme, yaitu suatu bentuk imperialisme
maju di mana kepentingan modal dan keuntungan berada di atas kepentingan umat
manusia.
Perbedaan dengan imperialisme sebelumnya bahwa neoliberalisme
sangat progresif menghancurkan semua batas-batas yang mengganggu ekspansi
modal dan akumulasi keuntungan. Secara umum ciri-ciri utama dari system
neoliberalisme adalah sebagai berikut. Melakukan
privatisasiatasseluruhstrukturekonomi, tidak ada lagi ekonomi
koperasidannegara, semuadiserahkan pada swasta. Komoditifikasi atas semua
barang dan jasa, segala hal adalah komoditas yang dapat diperjualbelikan,
tidak ada lagi nilai social dan kultural.
Penghapusan segala macam subsidi oleh negara ini berarti
tanggung jawab negara pada hak-hak kebutuhan dasar rakyat harus dicabut.
Menyerahkan seluruh mekanisme ekonomi kepada mekanisme pasar, seolah pasar
netral dan mengatur dirinya sendiri, tidak diatur oleh kepentingan korporasi,
sehingga ekonomi kerakyatan dan koperasi menjadi haram karena tidak sesuai
dengan mekanisme pasar. Memperlemah peran negara seminimal mungkin. Negara
hanya menyiapkan regulasi dan keamanan lalu lintas modal, sementara fungsi
sosial negara dihapuskan.
Semua ciri-ciri dari neoliberalisme ini berujung pada
kediktatoran korporasi secara global atas umat manusia dan menghancurkan
lingkungan hidup secara masif. Neoliberalisme jelas sangat berseberangan
dengan konsepsi Soekarno tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Neoliberalisme menghancurkan batas-batas nasional demi melicinkan jalan
ekspansi korporasi. Neoliberalisme juga sangat bertentangan dengan konsepsi
Soekarno tentang Trisakti: berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi,
dan berkarakter secara budaya.
Karena Trisakti Soekarno adalah antitesis dari neoliberalisme,
pencarian ideologi perlawanan atas neoliberalis medapat dikembalikan kepada
gagasangagasan dasar dari Trisakti. Sebuah ideologi perlawanan atas
neoliberalisme yang diciptakan oleh Soekarno sesuai dengan kondisi historis,
sosiologis, dan budaya bangsa Indonesia.
Visi Trisakti
Jokowi
Upaya implementasi ideologi perlawananinisekarangmenjadi
ideologi pemerintahan Presiden Jokowi. Visi-misi dan program yang didasari
pemikiran Trisakti Soekarno kini menjadi landasan penyusunan program
pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019. Untuk pertama kalinya sejak
pemerintahan Soekarno berakhir pada 1965, Trisakti kembali menjadi landasan
kebijakan negara.
Presiden Jokowi menggunakan landasan Trisakti untuk membangun
rakyat dan bangsa Indonesia menuju janji kesejahteraan. Gagasan Trisakti
diambil dari konsepsi Soekarno yang ingin rakyat dan bangsanya sejahtera
dengan cara; berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter
dalam budaya.
Dalam dokumen kampanye Jokowi-JK ”Jalan Perubahan” dinyatakan
bahwa Trisakti menjadi basis sekaligus arah perubahan yang berdasarkan pada
mandat konstitusi dan menjadi pilihan sadar dalam pengembangan daya hidup
kebangsaan Indonesia, menolak ketergantungan dan diskriminasi, serta terbuka
dan sederajat dalam membangun kerja sama yang produktif dalam tataran
pergaulan internasional. Trisakti juga mewadahi semangat perjuangan nasional
yang diterjemahkan dalam tiga aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedaulatan dalam politik akan diwujudkan dalam pembangunan
demokrasi politik yang berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Kedaulatan rakyat menjadi karakter, nilai, dan semangat yang
dibangun melalui gotong-royong dan persatuan bangsa. Mandiri dalam ekonomi
akan diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat
sebagai pemegang kedaulatan di dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaku
utama dalam pembentukan produksi dan distribusi nasional.
Negara memiliki karakter kebijakan dan kewibawaan pemimpin yang
kuat dan berdaulat dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi rakyat melalui
penggunaan sumber daya ekonomi nasional dan anggaran negara untuk memenuhi
hak dasar warga negara. Berkarakter dalam kebudayaan diwujudkan melalui
pembangunan karakter dan kegotong- royongan yang berdasar pada realitas
kebinekaan dan kemaritiman sebagai kekuatan potensi bangsa dalam mewujudkan
implementasi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi Indonesia masa depan.
Tentu tidak mudah untuk memperbaiki berbagai kerusakan politik,
ekonomi, dan budaya yang sudah terjadi sejak Orde Baru berkuasa. Namun,
keberanian harus dilakukan untuk memulainya, sebelum republik yang dibangun
para pendiri bangsa dan rakyat Indonesia ini kehilangan jati diri oleh
gempuran neoliberalisme. Akhirnya, kembali kepada Trisakti adalah cara untuk
mengembalikan dan membentuk jati diri bangsa di tengah gelombang ekspansi
globalisasi yang deras dan tanpa batas.
Bila Trisakti secara konsisten bisa dijalankan dan dipraktikkan
oleh pemerintah dengan melibatkan partisipasi publik, dengan cara itu jati
diri bangsa Indonesia akan kembali tegak dan dihargai di tengah percaturan
bangsa-bangsa di dunia. Hanya dengan konsisten pada jalan Trisakti, globalisasi
bukan lagi menjadi ancaman, tapi menjadi peluang bagi bangsa dan rakyat
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar