Merapuhnya
Peradaban Kita
Sidharta Susila ; Pendidik
di Muntilan
|
KOMPAS, 28 November
2016
Mengapa kita semakin kepayahan hidup dalam keberagaman?
Keberagaman adalah karya cipta Tuhan. Apakah keberimanan kita kepada Tuhan
juga merapuh? Mengapa kita semakin serasa hidup di zaman jahiliah, barbar,
tak bernalar? Mengapa kita tak lagi terampil mengelola hasrat dan gampang
reaktif serta menghancurkan?
Semua itu tidak menggambarkan kesejatian kita sebagai manusia
Nusantara yang beradab luhur. Peradaban Nusantara lahir dari manusia yang
dididik dalam ragam laku dan tradisi yang mencerdaskan emosional dan
spiritualnya. Sayangnya, ragam laku dan tradisi Nusantara itu telah banyak
ditinggalkan. Gelombang konsumerisme, pragmatisme, hedonisme, dan materialisme
ikut menggulung peradaban Nusantara.
Gotong royong adalah contoh tradisi peradaban Nusantara. Di
daerah Tumbang Titi, Ketapang, Kalimantan Barat, ada tradisi sambeyan. Warga
bergotong royong membuka lahan dan memulai bercocok tanam secara bergantian
antar-keluarga. Di Jawa ada tradisi sambatan. Warga bergotong royong
membangun rumah keluarga lain.
Sambeyan dan sambatan meniscayakan kecerdasan emosional dan
spiritual. Sambatan yang berasal dari kata sambat berarti berseru kepada
liyan karena butuh pertolongan. Orang yang sambat menyadari dan menerima
dengan damai kerapuhannya. Dengan rendah hati, ia mengundang liyan untuk
melibati hidupnya agar dimampukan hidup melampaui kerapuhannya. Liyan niscaya
dibutuhkan demi kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Sambeyan dan sambatan adalah tradisi yang tak hanya memudahkan
kehidupan bersama. Sambeyan dan sambatan merupakan kearifan Nusantara yang
mendidik manusianya untuk senantiasa menyadari hingga menerima kerapuhan diri
dengan damai dan serentak merawat karakter butuh dilibati liyan, serta
membentuk karakter menghargai liyan sebagai pribadi yang bermartabat tak
tergantikan.
Karakter unggul itu dirawat dalam kebiasaan laku olah diri dan
mental. Bentuknya dalam ragam latihan askese, laku tapa, matiraga atau
tirakat. Hampir di semua wilayah Nusantara menghidupi latihan itu.
Pada latihan itu manusia Nusantara dibentuk menjadi pribadi yang
tak hanya kian menyadari kerapuhannya, tetapi sekaligus dikuatkan
kesadarannya akan kebutuhan dilibati dan bergantung pada liyan. Latihan ini
menguatkan kemampuan manusia Nusantara untuk menyadari hingga mengelola
hasrat egoisnya. Inilah kecerdasan nalar intelektual khas Nusantara.
Manusia Nusantara itu unggul dalam karakter rendah hati.
Hidupnya elegan bersahaja. Dalam tradisi Jawa, keutamaan ini dihayati dengan
sikap nrima ing pandum (menerima apa yang dimiliki). Nrima bukanlah menerima
dalam kenestapaan. Nrima ing pandum adalah menerima realitas hidup dengan
rasa cukup, syukur, bermakna, dan bermartabat. Tidakkah ini hanya mungkin
bagi mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual?
Maka, manusia Nusantara itu tidak gragas (loba dan rakus).
Kesadaran akan kerapuhan diri yang berpilin kebutuhan dilibati liyan
menyadarkannya untuk tak sekali-kali melukai liyan dengan tindak koruptif.
Ketidakmampuan hidup dalam karakter nrima ing pandum pada para
pendidik terbukti telah membuat banyak pendidik gragas. Mereka melakukan cara
curang untuk memuaskan hasrat hidup mewah. Beberapa terpaksa menjalani tindak
pemenuhan materi dengan sistem ijon meski tunjangan sertifikasi belum pasti
diperoleh.
Akar masalah
Dalam dokumen Evangelii Gaudium (2013) artikel 2 (EG.2), Paus
Fransiskus menulis, ”Bahaya besar dalam
dunia sekarang ini, yang diliputi oleh konsumerisme, adalah kesedihan dan
kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri, tetapi tamak, pengejaran akan
kesenangan sembrono dan hati nurani yang tumpul.”
”Ketika
kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri,
tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. Suara
Allah tak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tak lagi dirasakan, dan keinginan
untuk berbuat baik pun menghilang. ... ini merupakan bahaya yang sangat nyata
bagi kaum beriman juga. Banyak yang menjadi korban, dan berakhir dengan rasa
benci, marah dan lesu. Itu bukan jalan hidup yang dipenuhi martabat; ini
bukanlah kehendak Allah bagi kita....”
Sinergi kemajuan teknologi dengan bisnis memompa kuat hasrat
mengonsumsi dan membuat manusia makin egois, hedonis, dan pragmatis. Alhasil,
materi dan uang menjadi panglima dalam kehidupan.
Manusia dikeriputkan hakikatnya, kian kerdil dalam tempurung
dirinya. Manusia kian dibuat gelisah, tidak merasa cukup hingga tak
nyaman-tenteram lagi dengan diri serta realitasnya. Fokus hidupnya hanya
berpusat pada diri sendiri. Liyan pun harus ditundukkan.
Dalam pemahaman EG.2 itulah manusia dikerdilkan, hidup kian
reaktif, tak terampil bersyukur, berpusat pada diri hingga tak menyisakan
lagi ruang bagi sesama, bahkan bagi Tuhan. Maka, sesungguhnya kita sedang
dalam gerak menjadi manusia ateis praktis. ”God did not create evil. Just as darkness is the absence of light,
evil is the absence of God,” tutur Albert Einstein.
Pandangan Paus Fransiskus adalah satu dari akar masalah
penghancur peradaban Nusantara. Penghancuran peradaban Nusantara kian masif
ketika ditaburi aneka hal yang membuat manusia semakin gelisah, egois, bahkan
terbangkitkan amarahnya. Kecanggihan sarana komunikasi membuat taburan
penghancur peradaban kian masif.
Rasanya kita perlu kembali menghayati ragam laku dan tradisi
pendidikan karakter asli Nusantara. Telah lama kita salah memuja dan
menentukan kiblat manusia unggul.
Bisa dimengerti jika kini kita gampang marah, cenderung ingin
menguasai dengan cara mengalahkan bahkan menghancurkan liyan, tidak lagi
reflektif, dan pantang menghayati kerapuhan diri dengan kreatif serta
bermartabat. Kita cenderung berambisi menjadi pemenang meski caranya tak
bermartabat dan tak bernalar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar