Aktor
Politik
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 17 November
2016
Pekan-pekan ke depan diharapkan
terbangun kembali suasana kondusif, melupakan pekan-pekan yang sangat
melelahkan. Rabu (16/11) kemarin, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang
diduga melakukan penistaan agama, diumumkan sebagai tersangka oleh Kepala
Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto. Basuki pun
meminta pendukungnya menerima dan mengikuti peradilan.
Basuki memang aktor politik
yang kerap mengundang kontroversi sejak menjadi Gubernur DKI menggantikan
Joko Widodo yang terpilih menjadi presiden pada 2014. Puncaknya adalah aksi
unjuk rasa besar-besaran pada 4 November lalu saat umat Islam menuntut
pengusutan Basuki yang diduga menista agama terkait ucapannya di Kepulauan
Seribu, September lalu. Presiden Jokowi diminta tidak melindungi Basuki.
Secepatnya Presiden Jokowi pun
menjamin takkan melindungi Basuki. Presiden berjanji tidak akan
mengintervensi proses hukum. Ketika merespons unjuk rasa yang berujung rusuh
itu, Presiden Jokowi pun menyebutkan, ada aktor politik yang memanfaatkan
aksi unjuk rasa. Kontan saja, banyak orang, maksudnya politikus, kebakaran
jenggot. Ada yang menilai pernyataan itu sebagai reaksi kepanikan presiden.
"Aktor politik"
rasanya istilah baru yang dikaitkan dengan aksi unjuk rasa. Biasanya istilah
yang muncul seiring unjuk rasa atau kerusuhan adalah "auktor
intelektualis". Secara leksikal, auktor intelektualis bermakna
"otak berbagai tindakan yang menyimpang (seperti kerusuhan, pembakaran,
pembunuhan)". Kira-kira mastermind
di balik suatu peristiwa. Apakah aktor politik sama dengan auktor
intelektualis, entahlah.
Agak jelas saat Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, di Istana, Jakarta, Selasa (8/11),
bilang, "Kita lihat memang ada tokoh-tokoh politik yang masuk ke dalam
arena demonstrasi. Ya, itu sudah terjawab."
Sederhananya bisa dipilah
begini: di arena demonstrasi itu ada "massa", "aktor
non-politik", dan "aktor politik". Aktor politik pastilah
orang-orang yang aktif di panggung politik. Mereka punya kendaraan partai
politik (parpol).
Kalau demikian, Basuki itu
jelas aktor politik. Sebab, lama aktif di tiga parpol (PIB, Golkar,
Gerindra), pernah menjadi bupati, pernah menjadi anggota parlemen. Dua Wakil
Ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, yang terlihat berdemonstrasi, juga
aktor politik. Fahri politikus PKS dan Fadli politikus Gerindra. Keduanya
kini memimpin DPR, parlemen resmi dalam sistem demokrasi (legislatif).
Menarik juga jika mereka turun di "parlemen jalanan". Mungkinkah
arena DPR kurang menarik lagi?
Ternyata, ini fakta lain,
anggota DPR makin malas menghadiri rapat-rapat termasuk rapat paripurna
(Kompas, 11/11). Pada rapat paripurna masa sidang I antara 16 Agustus dan 28
Oktober, rata-rata kehadiran anggota DPR cuma 41,79 persen. Jadi hanya 234
yang hadir dari 560 anggota DPR.
Jadi, jelas bahwa aktor politik
itu, ya, politikus. Namun, jika maksud Presiden Jokowi adalah pelaku yang
memanfaatkan aksi unjuk rasa tentu perlu penyelidikan lebih lanjut. Apalagi
sekarang ini banyak aksi saling lapor ke polisi yang membuat suasana makin
gaduh. Biarlah hukum bekerja. Mari membangun suasana yang adem dan rukun.
Karena proses hukum sedang
bekerja, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian pun mengingatkan untuk tidak
berdemonstrasi lagi. "Kalau ada yang ngajak turun ke jalan lagi, apalagi
membuat keresahan dan keributan, cuma satu saja jawabannya, agendanya bukan
masalah Ahok. Agendanya adalah inkonstitusional dan kita harus melawan itu karena
negara ada langkah-langkah
inkonstitusional," kata Tito.
Kalau pada zaman Orde Baru
mungkin beda lagi ceritanya. Tahun 1989 sepulang dari kunjungan ke
Yugoslavia, saat menanggapi isu-isu suksesi, Presiden Soeharto menegaskan,
"Biar jenderal atau menteri yang inkonstitusional akan saya gebuk."
Untunglah sekarang kita hidup
pada zaman demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar