Reinventing
Masa Depan Pendidikan
Susanto ; Wakil
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI);
Alumni Program Doktor Universitas
Negeri Jakarta
|
DETIKNEWS, 25 November
2016
Di Hari Guru Nasional 25 November 2016 ini deretan kasus di
sekolah terus bermunculan, seolah tak ada hentinya. Saat ini publik
dihebohkan oleh dugaan tindakan guru yang menampar dan menendang salah satu
siswa di Grobogan Jawa Tengah.
Sebelumnya, viral foto siswa merokok dan menaikkan kaki di meja
di samping guru, diduga dilakukan salah seorang seorang siswa SMA di
Makassar. Kasus ini turut mengguncang dunia pendidikan. Sebelum viral ini
mencuat, publik masih ingat kasus Dasrul yang diduga mendapatkan kekerasan
dari orangtua siswa dan terjadi di Makassar. Ada apa sesungguhnya dunia
pendidikan kita? Mengapa hal ini terjadi?.
HG Wells dalam bukunya The Catastrophe of Education, (2005)
menegaskan "rusaknya moral dan tumpulnya etika sosial masyarakat karena akibat
semakin suburnya praktek anomali di sekolah, sebagai salah satu sebab
kemungkinan". Mencermati tesis HG Wells tersebut, berarti pudarnya etika
sosial sebagai dampak dari potret pendidikan selama ini. Sekolah tak lagi
menjadi tempat yang nyaman bagi anak, padahal sepantasnya menjadi wadah
persemaian dan rujukan moralitas, bukan justru terjadi anomali.
Perubahan
Pendidikan
Perubahan kurikulum dalam setiap zaman merupakan kelaziman,
sepanjang memiliki basis ilmiah yang kuat. Karena, pendidikan sejatinya untuk
menyiapkan generasi masa depan agar adaptif pada zamannya tanpa harus
kehilangan jati diri dan ciri khas sebagai bangsa. Namun perubahan kurikulum
bukan 'game politic' tetapi berlandaskan 'politik pendidikan' yaitu segala
usaha, kebijakan dan siasat berkaitan dengan pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Membaca politik pendidikan Indonesia, seolah dihadapkan pada
lembaran trial and error sistem pendidikan. Setidaknya 3 (tiga) hal penting
yang perlu dicermati:
Pertama, orientasi pendidikan. Pendidikan kita telah lama
mengalami disorientasi dan cenderung berorientasi memenuhi keinginan politik
ketimbang proses pencerdasan generasi paripurna.
Telah lama Albernethy dan Coombe (1965) mengingatkan bahwa
education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik
terkait tanpa bisa dipisahkan). Akibat relasi politik dan pendidikan yang
tanpa arah, praktik "pendidikan" mengalami defisit menjadi sekadar
"persekolahan".
Padahal hakikat pendidikan adalah pembentukan pribadi anak yang
utuh, tidak sekedar cerdas tetapi bermoral tinggi dan berdaya saing.
Sementara persekolahan sarat dengan transfer pengetahuan, target nilai dan
pada praktiknya cenderung minus kebajikan.
Kedua, manajemen guru. Saat ini pemibitan dan rekrutmen guru
masih lemah. Tak sedikit, menjadi guru sebagai pilihan akhir setelah gagal
mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Belum lagi saat menjadi guru
dihadapkan sejuta "tagihan" beban; tuntutan kompetensi, jumlah
minimal jam mengajar dan tugas administratif.
Guru yang kompeten merupakan prasyarat prinsip, namun sistem
pengelolaan dan peningkatan kompetensi guru perlu perbaikan. Banyak guru
kehilangan fokus dalam melaksanakan tugas mulia. Ia terus mengejar jumlah jam
mengajar bahkan mencari sekolah lain, saat jam mengajar di suatu sekolah
belum mencukupi. Bertumpuknya beban ini, berdampak serius bagi proses
pendidikan. Mengajar cenderung sebagai panggilan kerja, padahal menjadi guru
sejatinya panggilan jiwa.
David Hansen dalam The Call to Teach mencirikan mengajar sebagai
panggilan jiwa bukan sekedar job, work, career, occupation, dan profession.
Akibatnya, praktik pendidikan kering dari nilai, hubungan guru siswa sekadar
relasi formal minus kelekatan, perbedaan pandangan dengan guru bisa menyulut
masalah, perilaku negatif siswa sering dibiarkan, kesabaran menjadi harga
mahal, norma perlindungan anak dipandang sebagai ancaman bukan tantangan
untuk perbaikan. Memang masih banyak guru yang dengan tekun melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik sejati, namun dengan kondisi beban semakin berat,
berpotensi mengalami pelemahan bahkan kehilangan fokus dalam menjalankan
profesinya.
Ketiga, proses pendidikan di sekolah. Sekolah berasal dari
bahasa Latin skhole, scola, scolae atau scholae berarti waktu luang. Hal ini
bermula dari kebiasaan orang Yunani zaman dahulu yang mengunjungi seseorang
yang dinilai pandai sebagai tempat bertanya. Kegiatan tersebut kemudian
berubah menjadi schola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak di waktu
senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu) dimulai.
Itulah mengapa lembaga semacam ini kemudian disebut ibu yang
memberi pengasuhan dan ilmu pengetahuan (almamater). Seiring berputarnya
waktu, semakin banyak lembaga seperti ini, bahkan dewasa ini layanan
pendidikan semakin bertumbuhan.
Melihat kesejarahannya, hakikatnya pendidikan di sekolah sarat
dengan paradigma pengasuhan. Kelekatan, kasih sayang dan kesabaran menjiwani
dalam proses pengasuhan agar fisik, mental, spiritual dan sosial siswa dapat
tumbuh optimal. Meski demikian, faktanya sekolah masih dihadapkan ragam
masalah; kekerasan atas nama pendisiplinan dan bullying merupakan isu terkini
yang masih sulit dicegah.
Cukup banyak guru yang belum bisa membedakan antara wilayah
pendidikan dan wilayah kekerasan. Mencubit untuk tujuan pendisiplinan,
dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang dilazimkan, padahal hal
tersebut termasuk kategori kekerasan. Masih banyak guru memandang bullying
sebagai hal wajar untuk dunia anak, padahal bertentangan dengan kaidah
pendidikan.
Di pihak lain, pendisiplinan seringkali dimaknai sama dengan
hukuman, padahal filosofinya berbeda. Hukuman merupakan pengendalian
perilaku, sementara pendisiplinan adalah pengembangan perilaku.
Reinventing
Pendidikan
Melihat praktik pendidikan dewasa ini, rasanya menemukan kembali
konsep penyelenggaraan pendidikan yang mampu menyiapkan generasi emas pada
zamannya merupakan keharusan. Inilah reinventing masa depan pendidikan untuk
menjawab fakta kondisi terkini.
Diakui, banyak perubahan yang telah dilakukan negara dalam
pendidikan, namun masih ditemukan pula sisi-sisi lain yang perlu pembenahan
dan penyempurnaan. Paradigma Kurikulum 2013 cukup positif, namun penguatan
sekolah dalam penerapannya masih terus perlu ditingkatkan.
Memang, setiap perubahan pendidikan memerlukan proses, sehingga
membutuhkan desainer handal sekaligus change maker(s). Tantangannya, tak
semua orang bisa diajak berubah. Seringkali perubahan dipandang sebagai
ancaman, bukan peluang. Terutama bagi kelompok the establishment yaitu kelompok
mapan yang sudah cukup lama menikmati kondisi dan keadaan sekarang.
Tampaknya penting merenungkan kembali paradigma pendidikan Ki
Hajar Dewantoro yang dikenal dengan "Konsep Trisakti Jiwa" yaitu
cipta, rasa, dan karsa. Kombinasi sinergis antara hasil olah pikir (cipta),
hasil olah rasa (rasa) serta motivasi yang kuat di dalam dirinya (karsa)
harus mewarnai konsep pendidikan, mulai aspek yuridis, penguatan sistem,
pengelolaan guru hingga proses pendidikan di sekolah, agar kelak tak hanya
adaptif, namun juga bermakna. Konsep Ki Hajar Dewantoro sesungguhnya lebih
kontekstual daripada Unesco yang dikenal learning to know, learning to do,
learning to be dan learning to live together.
Menjadi guru profesional merupakan keharusan. Namun perlu
kebijakan yang memanusiakan, membelajarkan dan memberikan kenyamanan terhadap
semua guru Indonesia dengan berbagai kondisinya. Guru satu sisi harus
mendidik anak abad 21, namun para guru merupakan generasi abad ke-20.
Kesejahteraan guru sebenarnya bukan hakikat reformasi
pendidikan, melainkan hak yang memang harus diberikan oleh negara yang selama
ini dedikasinya terus "dipuja" sedangkan kondisinya "sulit
dikata". Apalagi perbaikan kesejahteraan belum tentu linier dengan
peningkatan kualitas pembelajaran, bahkan bisa jadi dengan banyaknya beban,
justru berpotensi melemahkan kualitas pendidikan di sekolah.
Meski demikian, mengubah kebiasan lama guru merupakan
keniscayaan. Perlindungan profesi guru harus diberikan optimal, namun mesti
senafas dengan semangat perlindungan anak. Mengingat ragam masalah di sekolah
terkadang sebagian dipicu oleh memudarnya olah oknum guru dan lemahnya olah
rasa siswa.
Olah rasa adalah keterampilan mengontrol emosi, perasaan dan
hati agar bisa merasa meskipun dalam kondisi menantang, menyulut kemarahan
bahkan membosankan sekalipun. Bagaimana mungkin siswa mampu learning to live
together (belajar hidup bersama), jika guru tidak memiliki kemampuan olah
rasa.
Bagaimana mungkin sekolah mencegah kekerasan atas nama
pendisiplinan dan bullying jika olah rasa tidak ditumbuhkan. Bagaimana
mungkin negara mencegah pembiaran oknum guru atas perilaku menyimpang siswa,
jika guru tidak memiliki olah rasa.
Paradigma penyelenggara pendidikan masa depan mesti menggerakkan
semua warga sekolah mulai pimpinan, guru, tenaga kependidikan dan peserta
didik agar mampu menumbuhkan olah pikir, olah rasa dan karsa. Inilah yang
akan menghasilakan apa yang disebut civic intelligence yaitu "kemampuan
untuk menyesuaikan diri, memilih dan mengembangkan lingkungannya".
Kultur adaptif, kemampuan menfilter dan menciptakan lingkungan
ramah anak merupakan jawaban atas kebutuhan abad 21. Inilah wahana pembibitan
generasi emas di masa depan. Tentu bukan hanya sekolah, namun orangtua dan
peran masyarakat juga harus berubah jika ingin masa depan anak Indonesia
semakin lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar