Ada
Duri Dalam Daging NKRI
Bambang Soesatyo ; Ketua
Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN SINDO, 21 November
2016
Kita tidak tahu harus
menyalahkan siapa. Tapi sejak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dituding
melakukan penistaan agama, kehidupan berbangsa dan bernegara sontak
gonjang-ganjing.
Masing-masing pihak merasa
benar dan unjuk kekuatan. Presiden Jokowi pun dibuat pusing tujuh keliling.
Tanpa disadari, terasa ada duri dalam daging NKRI kita. Hoax tentang
instruksi Kapolri, hoax tentang hasil rapat BIN hingga hoax tentang rush
money besar-besaran yang ditebar hingga pekan kedua November 2016 merupakan
upaya pihak tertentu mengeskalasi ketidak pastian dan merusak kondusivitas.
Negara memang tidak boleh lagi
menoleransi penebar semua informasi sesat itu, karena jelas-jelas sudah
mengarah pada upaya merusak stabilitas keamanan, ketertiban umum dan merusak
kondusivitas. Sebagaimana dicatat bersama, ragam hoax itu di munculkan
diruang publik, dengan menunggangi aksi damai sejumlah elemen masyarakat yang
mengecam kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan gubernur DKI Jakarta
nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Semua hoax itu tak hanya
diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi terkini,
tetapi juga merupakan upaya untuk mengeskalasi atau memperlebar persoalan.
Persoalannya harus diseriusi oleh negara, karena pelaku penyebaran informasi sesat
itu sudah berani coba-coba merangsek ke institusi Kapolri dengan tujuan
mengacaukan pola dan sistem komando; memanipulasi informasi BIN (Badan
Intelijen Negara), hingga upaya menimbulkan kecemasan, kepanikan dan
mendorong masyarakat atau nasabah bank menarik dana besar-besaran (rush).
Dalam konteks keamanan,
kredibilitas dan urgensi rahasia negara, beberapa hoax itu mestinya
dikategorikan sebagai masalah yang sensitif, karena bertujuan merusak
kredibilitas Kapolri, institusi BIN hingga upaya membuat panik nasabah bank.
Para pelakunya harus diganjar
dengan sanksi keras, karena penyebaran informasi sesat berpotensi menimbulkan
kekacauan serta kerugian bagi negara dan masyarakat. Dalam situasi pascademo
4.11, masyarakat mungkin bisa memilah-milah informasi, serta menyimpulkan
sendiri mana informasi yang benar dan mana info yang menyesatkan. Akan
tetapi, hoax serupa bisa dimunculkan lagi ketika suasana sedang kondusif.
Dalam situasi yang kondusif,
publik bisa dengan mudah terperangkap oleh informasi sesat. Maka agar kasus
serupa tak berulang di kemudian hari, para pelaku yang menebarkan hoax
tentang instruksi Kapolri, hoax tentang hasil rapat BIN hingga hoax tentang
rush money besar-besaran itu patut diganjar dengan sanksi yang keras. Seperti
diketahui, pascademo 14 Oktober 2016, Mabes Polri harus membuat bantahan atas
beredarnya hoax tentang instruksi Kapolri.
Hoax itu menginformasikan bahwa
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menginstruksikan Bareskrim Polri memeriksa
mantan Ketua MPR Amien Rais. Selain itu, diedarkan slide berisi instruksi
Kapolri untuk meredam gejolak menjelang pilkada. Disebutkan bahwa instruksi
Kapolri itu antara lain mengerahkan imam Masjid Istiqlal, tokoh NU, tokoh
Muhammadiyah, serta menggalang tokoh-tokoh pro Ahok untuk membela dan
menyuarakan dukungannya.
Pasca demo 4.11, giliran BIN
yang diganggu. Melalui media sosial (medsos), pelaku hoax menebar informasi
tentang hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Komite Intelijen Pusat (Kominpus) di
Jakarta, terkait perkembangan situasi dan kondisi nasional. BIN pun buru-buru
membuat bantahan. “Setiap informasi dari BIN harus melalui satu pintu, yakni
dari Deputi VI BIN selaku penanggung jawab bidang komunikasi dan informasi
BIN. Berita atau informasi di luar mekanisme tersebut bukan berasal dari
BIN,” demikian rilis resmi BIN pada Kamis (17/11).
Setelah itu, baik Kapolri,
Menteri Keuangan, maupun Gubernur Bank Indonesia harus membuat pernyataan
resmi untuk menenangkan masyarakat, sekaligus membantah informasi tentang
rush besar-besaran. Isu tentang bakal adanya rush dikaitkan dengan rencana
demonstrasi pada 25 November atau 2 Desember 2016, oleh sejumlah elemen
masyarakat yang menyuarakan aspirasinya mengenai kelanjutan proses hukum
terhadap Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.
Karena sangat provokatif dan
berpotensi mengganggu stabilitas negara, Kapolri minta masyarakat tidak
terpengaruh oleh informasi gerakan penarikan uang secara besar-besaran atau
rush money yang diedarkan melalui medsos itu. Tidak tinggal diam, Menteri
Keuangan Sri Mulyani pun mengingatkan bahwa informasi gerakan penarikan uang
secara besarbesaran itu akan merusak pasar uang.
Adapun Gubernur Bank Indonesia
Agus DW Martowardojo berpendapat rush yang diisukan terjadi pada 25 November
2016 tidak akan terjadi karena tidak berdasar, sebab sistem keuangan
Indonesia saat ini sangat baik. Dia mengaku telah menggelar rapat komite stabilisasi
sistem keuangan.
Mengacu pada tiga hoax itu
saja, setiap orang bisa menduga adanya pihak yang ingin membuat kerusakan,
dengan menunggangi gerakan damai dan aspirasi masyarakat yang ingin agar
proses hukum kasus Ahok segera dituntaskan. Skala kerusakan yang ditargetkan
pun bisa dikalkulasi; dari sebaran kebencian, adu domba antarelemen
masyarakat hingga kerusakan di sektor ekonomi.
Mencegah Kerusakan
Bisa dipastikan bahwa semua
elemen masyarakat tidak menginginkan kerusakankerusakan itu terjadi. Maka,
kini, menjadi kewajiban semua elemen masyarakat untuk memulihkan kembali
kondusivitas dan kepastian. Wujudkan kenyamanan pada semua ruang publik agar
masyarakat tidak ragu ketika melaksanakan kegiatannya.
Tidak lagi menebar hoax yang
dapat menimbulkan kekacauan, kepanikan, apalagi ketakutan. Terkait dengan
proses hukum terhadap Ahok, masyarakat hendaknya memberi kepercayaankepada
Polri. Semuapihak perlu bersabar dan menahan diri, sebab proses hukum itu
harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku. Polri telah memberi
tanggapan atas rencana demo pada 2 Desember 2016.
Polri pada dasarnya hanya ingin
mengimbau agar demo di jalan-jalan tidak lagi dilakukan. Tanggapan Polri itu
tentunya tidak terpisah dari informasi intelijen, maupun konsolidasi yang
dilakukan Presiden Joko Widodo ketika melakukan pertemuan dengan prajurit TNI
dari ketiga angkatan dan juga prajurit Polri. Tanggapan Polri atas rencana demo
2 Desember plus Informasi intelijen dan konsolidasi Presiden dengan TNI dan
Polri merupakan pesan kepada semua elemen masyarakat bahwa negara sedang
berusaha mencegah terjadinya hal-hal buruk yang bisa menimbulkan kerusakan
besar.
Pesan lainnya adalah bahwa
Presiden, Polri dan TNI terus berusaha untuk mewujudkan kembali kondusivitas
dan kepastian. D u a pesan penting yang sangat strategis itu tampaknya telah
dikomunikasikan oleh Presiden kepada semua elemen besar di dalam masyarakat,
khususnya kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP Muhammadiyah.
Kapolri Jenderal Tito pun telah bersilaturahmi dengan pimpinan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Sementara Panglima TNI juga
telah memberi pesan sejuk kepada ribuan mahasiswa. Dari rangkaian pertemuan itu,
sudah muncul semacam kesepakatan bahwa demo besarbesaran pada 2 Desember 2016
tidak diperlukan. Imbauan untuk tidak menggelar demo lanjutan sudah
disuarakan PBNU. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj telah menyerukan kepada
seluruh warga Nahdlatul Ulama agar tidak melakukan aksi unjuk rasa terkait
persoalan Ahok.
Imbauan senada juga disuarakan
Ketua Umum PP Muhammadiyah KH Haedar Nashir. PP Muhammadiyah meminta
masyarakat untuk berlapang hati menerima hasil proses hukum kasus Ahok.
Sementara itu, MUI sendiri tidak mau terlibat dengan rencana demo itu.
Bahkan, Polda Metro Jaya telah menggelar apel besar “Kebhinekaan Cinta Damai”
di Lapangan Ditlantas Polda Metro Jaya pada Sabtu (19/11).
Apel besar yang dipimpin
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Mochamad Iriawan itu diikuti Pangdam Jaya Mayjen
Tedy Lhaksamana, Plt Gubernur DKI Jakarta Soemarsono, para tokoh agama,
organisasi masyarakat, dan elemen masyarakat lainnya. Dalam apel itu, juga
ditandatangani deklarasi kebinekaan oleh para tokoh, kiai, pendeta, romo,
biksu, tokoh organisasi masyarakat, pengamanan swakarsa, Polri, TNI, dan
perwakilan dari Pramuka.
Untuk memastikan proses hukum
terhadap Ahok berjalan dengan benar, semua elemen masyarakat memang wajib
mengawal dan memantau. Akan tetapi, proses pengawalan dan pemantauan itu
hendaknya tidak merusak kondusivitas dan kepastian. Menjadi kewajiban semua
pihak untuk menjaga ketertiban umum, termasuk membuang duri yang kini ada
dalam daging NKRI kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar