Pendidikan
Politik Pilkada
Djayadi Hanan ; Direktur
Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas
Paramadina
|
KOMPAS, 23 November
2016
Pertengahan Februari 2017, bangsa kita akan menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah serentak di 101 daerah: tujuh provinsi dan sisanya
kabupaten dan kota. Ini adalah perhelatan kedua setelah pilkada serentak
pertama pada Desember 2015.
Peristiwa politik besar dan terencana seperti pemilihan kepala
daerah (pilkada) serentak semestinya dapat berfungsi sebagai alat pendidikan
politik yang efektif bagi bangsa. Ia bisa efektif karena sifatnya yang masif
dan dapat merangsang perhatian penuh dari semua lapisan masyarakat. Ia dapat
merangsang perhatian penuh masyarakat karena dalam pilkada, hal-hal penting
menyangkut kehidupan masyarakat daerah sering dipertaruhkan.
Kekuasaan paling terlihat sebagai soal yang dipertaruhkan.
Kadang pertaruhannya antarkelompok elite, antarkelompok masyarakat, atau
antarkelompok elite berhadapan dengan kelompok masyarakat. Melalui kekuasaan
sumber daya daerah didistribusikan, untuk pembangunan, atau semata untuk
melanggengkan pemegang kuasa.
Karena terkait dengan distribusi sumber daya, pilkada jelas
menarik perhatian banyak orang. Setiap orang berkeinginan mendapatkan akses
kepada sumber daya karena terkait dengan kualitas hidup. Maka apabila pilkada
dapat menjadi sarana pendidikan politik, niscaya ia akan lebih efektif. Bukan
saja ia dapat menjadi pembelajaran langsung (mengalami), melainkan juga
terkait dengan nasib setiap orang.
Selain itu, proses pilkada berlangsung lama, berbilang bulan,
bahkan tahun. Menurut undang-undang memang proses resmi pilkada, terutama
kampanye, hanya dalam kisaran tiga bulan. Itu pun dapat dikatakan cukup lama.
Di luar jadwal kampanye resmi, proses pilkada sebenarnya sudah berlangsung
bahkan sebelum pendaftaran calon dimulai. Tentu sayang sekali kalau peristiwa
politik yang berlangsung lama dan memakai energi banyak orang ini tidak
memiliki makna positif dari segi pendidikan politik.
Namun, berjalan tidaknya pilkada sebagai pendidikan politik
bergantung pada bagaimana ia dilaksanakan dan apa yang menjadi isi dalam
pelaksanaannya. Apabila ia hanya terjebak pada politik adu kuat perebutan
kekuasaan dan sumber daya, aspek pendidikan politik pilkada akan kalah dengan
menonjolnya sisi negatif dan pragmatis politik saja.
Pendidikan
politik
Konsep dan rincian dari pendidikan politik (political education)
hingga kini masih menjadi perdebatan. Belum ada kesepakatan yang bulat.
Namun, sebagian besar ahli sepakat dengan tujuan-tujuan umum yang bisa
dicapai melalui pendidikan politik (Rothe, 1999).
Menurut Rothe, pendidikan politik bertujuan mengembangkan dan
memperkuat kesadaran akan nilai-nilai demokrasi. Di dalamnya terkandung
prinsip-prinsip kehidupan bersama dan bernegara seperti kedaulatan rakyat,
musyawarah, aturan main, dan penegakan hukum serta pengawasan.
Pendidikan politik juga bertujuan membangun pemahaman dan
kemauan menjalankan tugas mendasar dari politik, yaitu menyelesaikan masalah
dan perbedaan secara damai. Pendidikan politik juga bermaksud mempertontonkan
kepada khalayak bahwa keputusan yang diambil atas masalah-masalah
tersebut—termasuk di dalamnya masalah yang bersifat kontroversial—bersifat
mengikat dan menuntut kepatuhan semua pihak.
Tujuan penting lain dari pendidikan politik adalah memperkuat
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap masalah-masalah atau isu-isu
penting yang terkait dengan kehidupan sehari-hari ataupun masa depan bersama.
Tercakup di sini antara lain soal masa depan demokrasi dan ancamannya,
hubungan antara ekonomi dan lingkungan, apakah kehidupan masyarakat itu harus
didasarkan pada konsumerisme atau tidak, apa saja pengaruh global terhadap
kehidupan sehari-hari, dan sebagainya.
Yang tak kalah penting, pendidikan politik dapat membuat orang
melihat dan mempelajari keterampilan penting dalam politik. Mencari dan
mengolah serta menyebarkan informasi menjadi keterampilan yang wajib dimiliki
setiap orang pada era abad ke-21 sekarang ini. Juga kemampuan berhubungan dengan
dan memperlakukan berbagai media, baik media reguler maupun media sosial,
adalah kebutuhan yang niscaya. Pendidikan politik harus memberikan atau
mencontohkan berbagai keterampilan tersebut agar masyarakat dapat maju
bersama dalam kehidupan politik sehari-hari dan berbangsa.
Jadi, pendidikan politik semestinya berdampak pada penguatan
pemahaman dan keterikatan masyarakat pada nilai-nilai dasar positif yang
telah disepakati bersama. Selanjutnya, ia juga memberikan kesempatan kepada
masyarakat dan semua pihak untuk melihat, mengalami, dan memahami berbagai
pengambilan keputusan politik, siapa saja yang melakukannya, apa saja
kepentingan yang mendasarinya, dan apakah proses dan keputusan tersebut
memiliki keabsahan untuk dilaksanakan dan dipatuhi.
Apabila pilkada kita harapkan sebagai salah satu sarana dan
momentum pendidikan politik, proses dan isi pilkada harus mencerminkan
terakomodasinya berbagai tujuan penting pendidikan politik tersebut.
Masalahnya adalah tidak mudah menjadikan peristiwa politik sebagai pendidikan
politik, apalagi dengan tujuan ideal seperti diuraikan tersebut.
Realitas
pilkada
Adalah naif, misalnya, untuk berharap bahwa peserta pilkada
bertujuan memberikan pendidikan politik melalui keikutsertaannya. Yang logis,
tujuan utama peserta pilkada adalah merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Kadang, atau mungkin sering kali, berbagai jalan akan dianggap sah atau
disahkan untuk mencapai tujuan kekuasaan tersebut. Terlalu mewah untuk
berharap lebih dari mereka.
Peserta pilkada bolehlah disebut sebagai aktor utama pilkada.
Merekalah yang terus menjadi sorotan alias pusat perhatian. Dalam kompetisi
pilkada, biasanya mereka membujuk masyarakat dengan menonjolkan dua hal: adu
program dan adu rekam jejak atau pengalaman.
Maka masyarakat disodori berbagai tema program, seperti sekolah
gratis, pengobatan/kesehatan gratis, pembangunan jalan, pemeliharaan budaya,
pengentasan rakyat miskin, pengurangan pengangguran, pemeliharaan keamanan,
dan janji untuk selalu melayani. Masalahnya, hampir dapat kita pastikan semua
kandidat biasanya menyampaikan hal yang lebih kurang sama. Tentu saja ada
pengecualian di sejumlah tempat dan itu tidak banyak.
Ini wajar saja karena biasanya para kandidat yang muncul tidak
memiliki perbedaan ideologi dan atau platform kebijakan yang jelas. Karena
tidak ada kontras dari segi ideologi dan program, perdebatan substantif sulit
muncul. Padahal pendidikan politik justru biasanya akan terjadi apabila
perdebatan substantif ini ada.
Dari segi rekam jejak demikian pula adanya. Kebanyakan kandidat
berlatar belakang birokrat, pengusaha, politisi, atau militer/polisi. Yang
paling banyak dieksplorasi biasanya jika seorang kandidat adalah petahana
yang cukup sukses. Ini akan memudahkan seorang kandidat berkata bahwa dia
sudah memberi bukti, bukan sekadar janji. Apabila tidak, biasanya belum
banyak yang secara kreatif menunjukkan apa hubungan latar belakangnya dengan
posisi kepala daerah yang sedang diperebutkan.
Memang, biasanya ada debat kandidat. Namun, hampir dapat
dipastikan debat kandidat kepala daerah umumnya tak lebih dari sekadar lomba
pidato. Masih jarang kita temui perdebatan substantif tentang kebijakan dan
atau personalitas para kandidat dalam proses debat kandidat resmi yang
diadakan penyelenggara pilkada. Lagi-lagi, kita harus mengatakan ada sejumlah
pengecualian yang jumlahnya tak banyak soal ini.
Melakukan kampanye negatif sebenarnya bisa menjadi pilihan yang
bisa berdimensi pendidikan politik. Kampanye negatif adalah upaya untuk
menjelaskan kepada publik bahwa kandidat lain memiliki kekurangan, baik dari
segi kebijakan maupun kepemimpinan di daerah yang bersangkutan. Ini hal yang
baik karena akan memberikan informasi yang lebih lengkap kepada publik.
Namun, umumnya kandidat, kecuali di beberapa tempat seperti Jakarta, jarang
melakukan ini. Salah satu penyebabnya mungkin khawatir terpeleset menjadi
kampanye hitam alias fitnah.
Dengan demikian, tidak terlalu banyak yang bisa kita harapkan
dari segi pendidikan politik kalau hanya bertumpu pada kandidat. Orientasi
utama mereka bukan pada pendidikan politik, melainkan bagaimana agar
kekuasaan dapat dipertahankan atau diraih. Meletakkan pilkada dan pendidikan
politik dalam satu kalimat seolah bersifat oxymoron (menyandingkan dua hal
yang secara alamiah bertentangan).
Maka, harapan akan pilkada sebagai pendidikan politik harus
terpulang kepada masyarakat dan penyelenggara pilkada. Kapasitas dan
netralitas penyelenggara pemilu menentukan dalam hal ini. Catatan negatifnya,
kita masih sering mendengar penyelenggara pilkada yang dihukum, terutama
secara etik, akibat tidak menjalankan tugasnya sesuai garis yang sudah
ditetapkan.
Bagi masyarakat, sesungguhnya apa pun proses dan isinya, pilkada
mestinya dapat menjadi sarana pendidikan politik. Namun, ini terpulang kepada
tingkat kedewasaan masyarakat kita. Kalau masyarakatnya terlalu pragmatis,
misalnya lebih mengharapkan pemberian uang dari kandidat untuk menghargai
suara mereka, maka pilkada sebagai pendidikan politik juga tidak akan banyak
berjalan. Kalau melihat indikator pendidikan masyarakat kita yang mayoritas
(lebih dari 50 persen) masih berpendidikan rendah (SLTP ke bawah), peran
aktif masyarakat ini lebih banyak masih berupa harapan daripada kenyataan.
Akhirnya, harapan yang masih ada tinggal di pundak para aktivis
yang tercerahkan, para jurnalis yang independen, dan organisasi masyarakat
sipil yang peduli. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar